Langsung ke konten utama

Mengapa Harus Perempuan Sulsel?

Sebelumnya, maaf, tulisan ini bukanlah tulisan rasis atau tulisan provokatif. Ini hanyalah pendapat penulis yang disari dari beberapa sumber. Namun Pada akhirnya, kembali ke pilihan masing-masing. Yang jelas, ini tidak bermaksud memprovokasi atau memperhadap-hadapkan. Tulisan ini sifatnya opini. Nilai kebenarannya tergantung dari "angle" masing-masing. ^_^

Ada apa dengan perempuan-perempuan sulsel? Kenapa?. Kalau selama ini membahas perempuan sulsel langsung terbetik kata “mahal”, dalam hal ini mahal dalam arrti “uang panaik” ketika ingin menikahinya. Pernahkah berpikir Kenapa harus mahal?. Sesuatu yang mahal biasanya adalah sesuatu yang unik, antic, terpercaya, handal, dan berkualitas. Intan, permata, emas semuanya mahal bukan? Tetapi manusia tetap saja membelinya jika mempunyai kesanggupan, karena tahu harganya mahal sesuai dengan kualitas dan keindahan yang dimiliki. Apakah sama dengan perempuan-perempuan sulsel yang selalu dikonotasikan dengan kata “mahal” itu?

Pernah suatu ksempatan bertanya kepada teman yang kuliah di luar pulau. Ke tempat yang orang-ang tahu disana gadis-gadisnya lebih berparas menarik, ayu dan ramah. Saat itu kami sedang berbincang lepas hingga tiba pada pembahasan menikah (lagi..lagi). saya pun bertanya, kenapa tidak mencari orang sana saja, selain cantik-cantik, ayu, lembut, juga tidak ada uang panaiknya yang memberatkan seperti di sulsel. Dengan tersenyum, temanku berkata bahwa dia tidak mau mencari jodoh jauh-jauh ke daerah orang, tetap cinta produk local. Lah, kenapa…?. Kesempatan lain di grup WA kemudian heboh pemhasan erjodohan, dan sasaran serangan tertuju pada para lelaki yang lanjut kuliah di pulau seberang. Mereka ditodong dengan pertanyaan, kapan membawakan ipar dari sana ke kami untuk diperkenalkan. Mereka malah pada tertawa dan mengatakan “tenaang… tunggu kami pulang baru cari orang situ. Meski disini banyak yang cantik, tetapi lebih suka yang se-daerah sendiri”. Nah, why lagi..?. lain lagi dengan teman yang kerja di pulau ujung barat Indonesia. Apalagi alasan untuk tidak menyegerakan menikah? Toh, pekerjaan sudah tetap, sudah matang, kuliah sudah kelar dua kali. Kenapa tidak segera mencari cut disana tuk diperkenalkn ke kami, teman-temannya. Apa katanya?, “saya tidak mau mencari cut, lebih baik cari orang situ (sulsel) tuk dibawa kesana dijadikan cut”. Nah loh…? Kesempatan yang baru-baru ini, via line nge-chat dengan salah satu teman yang sekarang kerja di salah satu daerah di pulau seberang. Dengan enteng dia mengatakan “saya tidak mau cari jodoh orang sini, saya akan tetap mau orang dari qt saja (sulsel). Alasannya apalagi coba?

Dari beberapa kesempatan bertanya ke beberapa sumber, banyak pendapat mereka sama. Padahal mereka tak pernah diskusi, dan saling kenal. Tapi kok alasan dan pikiran mereka sama?. Apakah alasan-alasan mereka bisa menjadi justifikasi mengapa perempuan sulsel itu mahal?. 

Pertama: Perempuan Sulsel adalah orang-orang yang setia. Dengan kesetiaan yang dimiliki, mereka tidak mudah berpikir untuk mencari pengganti pasangan hidupnya, atau berselingkuh dengan orang lain. Makanya, banyak diantara mereka tetap saja mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka dengan segenap kekuatan mereka walaupun kondisi konimi yang menghimpit, atau penghasilan pasangan yang kurang, atau karena sering terjadi pertengkaran dalam rumah tangga, atau rumah tangga yang broken, atau ketegangan-ketegangan dalam rumah tangga, bahkan saat mereka terjepit sekalipun, menderita tetap saja berusaha menjaga keutuhan rumah tangga dan menjalaninya hingga akhir. Dan saya telah melihat satu bukti nyata sosok perempuan yang tetap saja bersikukuh menjaga keutuhan rumah tangganya di tengah badai besar yang menghantam. Tangis, airmata, kemarahan, kesedihan, penyesalan, kecewa tidak lantas membuatnya memutuskan untuk pergi. Intinya, perempuan sulsel tidak mudah berpikir kata cerai. 

Kedua: perempuan sulsel itu tinggi “sirina”. Apaah siri’ itu? Secara sederhana siri itu dapat diartikan sebagai malu. Menurut mereka (para pemuda sulsel), gadis sulsel itu masih sangat menjungjung tinggi rasa malu. Malu jika berbuat maksiat, malu jika ketahuan melanggar norma agama maupun norma adat istiadat. Mereka masih banyak yang malu ketika dijemput oleh teman lelaki di rumahnya, malu keluar malam dengan lelaki, malu jika pulang larut malam, malu jika ketahuan berduaan, malu bergandengan tangan dengan pasangan tidak halalnya (bahasa kerennya sekarang adalah pacarnya), malu jika kelakuannya dapat merusak nama baik keluarganya. Masih sangat menjaga nama baik keluarga. Itulah siri’ yang masih melekat dan selalu diingatkan oleh para orang tua kepada anak gadisnya. Memang iya, sekarang sudah sangat banyak yang main pacar-pacaran, namun masih banyak pula yang masih menjaga eika itu, dan berusaha menjaga agar kelakuannya tidak mencoreng nama baik keluarganya. Paling tidak mereka pacaran tidak mengumbar di depan umum untuk bergandengan tangan, pelukan, ciuman, apalagi yang lebih dari itu. Karena kapan itu mereka lakukan, orang sekitar akan menghakimi mereka dan keluarga mereka, tentu setelahnya nama baik keluarga akan tercoreng, bukankah itu berarti mereka telah menginjak-injak siri’ keluarga. Dan lebih bahaya lagi, orang tua mereka bisa naik pitam. Mauuu…? Jangan coba-coba menjatuhkan siri’ keluarga kalau masih mau aman jadi anak :D. Saya bukan penyuka aktivitas pacaran dan membolehkan aktivitas itu. Namun, hal positif yang masih coba saya temukan bahwa gaya pacaran ana-anak sulsel belum separah di luar sana. Ini tidak lain besar pengaruh dari budaya siri’ yang masih banyak diajarkan. Siri’ yang lain lagi yaitu, ketika telah menjadi seorang istri, akan menjadi siri’ bagi dia, suaminya, dan keluarga barunya kalau berbuat yang macam-macam. Segala tindakan akan dipikir baik-baik, karena ini menyangkut siri’ suaminya juga. 

Ketiga: perempuan sulsel ketika dinikahi dimiliki “seutuhnya” oleh suaminya. Terserah suaminya mau dibawa kemana, mau tinggal dimana. Benar-benar orang tua si gadis memberikan kepercayaan anak gadisnya kepada suaminya. Tidak lagi dicekoki dengan alasan-alasan, atau ditahan-tahan untuk sepenuhnya bersama suaminya. Pokoknya, setelah menikah, seorang perempuan diberikan kepercayaan penuh kepada suaminya. Kan ribet kalau sudah menikahi seorang gadis, tetapi masih enggan hijrah bersama suaminya. Enggan beranjak dari rumah orang tuanya. Sedikit-sedikit orang tuanya ikut campur dalam urusan rumah tangganya. Diatur sana-sini, bahkan dalam urusan keungan yang sangat sensitive masih juga dicampuri. Bener nggak…???. wallahu'alam.

Benar bahwa tidak semua perempuan sulsel seperti digambarkan diatas, namun setidaknya bisa gambaran umum seperti apa gadis sulsel yang sering digantungkan label “mahal” itu. Nah, benar atau salah? Itu terserah dari pembaca dan kaca mata pembaca. Sekali lagi ini bukan tulisan provokatiif atau promitif, apalagi rasis. Hehehe…. Apakah uraian diatas telah pantas menjadi alasan kenapa perempuan sulsel itu “mahal”? silahkan dipikirkan sendiri. Diteliti pun juga tidak apa-apa hehehehe….. #peace

#banggajadiperempuansulsel #umbaisirimu #sulselbisatonji

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap