Langsung ke konten utama

Ahhh... Jogja...

2 tahun lalu. Akhirnya Allah mengizinkan kembali akan menginjakkan kaki ke tempat itu. Kota yang banyak disukai orang. Sebuah kota kecil, namun kaya akan nilai. Mulai dari nilai sejarah, pendidikan, sosial, bahkan nilai perasaan. Tak sedikit yang selalu saja bernostalgia. Selalu mengeja setiap kenangan yang pernah terekam dalam memorinya. Bahkan (mungkin) masih banyak yang terpenjara dengan kenangan nya. Apakah anda termasuk salah satu nya? 
Jogja memang masih menjadi candu. Setiap frame yang pernah terjadi diistimewakan sebagai hal yang indah. Wajar saja. Nuansa juga memang beda. Kota kecil yang menawarkan rasa nyaman dan bersahabat. Meski dituju oleh aneka ras dan asal, tetap saja mendamaikan. Keramahan dan toleransi sangat terasa. Meski budaya makin modern, tetap saja nilai unik sebuah kota kecil jogja masih terasa. Khas makanannya, khas suasananya, khas aktivitasnya.

Dan kalau anda memimpikan sebuah kota pelajari di Indonesia, Tak salah lagi kalau memilih jogja. Katanya, nuansa pendidikan sangat terasa. Wajar kalau jutaan orang bercita2 study di sana.

Lalu apa nilai perasaannya? Bukan hal yang langka ketika ada yang perasaannya masih saja terpaut dengan kota itu. Ada banyak feel, yang katanya bisa terangkai. Perasaan tentang katanya, tentang nuansanya, atau bahkan orang2nya. Lalu bagaimana denganmu?

Iya, akhirnya saya akan menginjakkan kaki di kota itu lagi. Kota yang bagiku menimbun 1001 ekspresi. Bahagia, harap, kecewa, marah, cinta, benci, sesal, khawatir, rindu, dendam, sakit, tawa, Canda, persahabatan, kebersamaan, silaturrahim, permulaan, petualangan. Banyak bukan? Itulah mengapa jogja istimewa. Namun, Kali Ini, saya pergi seolah tak punya satupun ekspresi itu. Datar dan tawar. Mungkin kuota ekspresi telah full. Atau mungkin saya yang berusaha menolak bahwa jogja memang istimewa. Atau mungkin, saya khawatir dengan kekhawatiranku kalau saja, saya masih tetap saja melanjutkan mimpi yang telah kubuyarkan dengan terbangun. Entahlah....

Lebih tepatnya saya ingin mengingkari bahwa kota itu pernah menawarkan rasa. Rasa yang berubah menjadi tawar dan datar. Smpai Kapan? Wallahu'alam.

Makassar, 24 Augustus 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap