Langsung ke konten utama

Euforia Pilkada DKI

Euforia pilkada kembali menyelimuti persada nusantara. Meski pilkada ini tidak dilaksanakan di seluruh pelosok, tetapi euforianya terasa. Dengan perkembangan teknologi, makin mudah mengakses informasi tentang pilkada. Juga berarti makin mudah orang mengemukakan setiap pendapat dan kritisnya. Salah satu pilkada yang disoroti oleh seantero negeri adalah pilkada DKI. Ada apa dengan DKI?. Sederhananya, mengapa DKI itu istimewa 1) DKI adalah ibukota negara kita. Siapa sih yang tidak peka dengan kondisi ibukota?. Tempat paling sentral di negara ini. Pusat kenegaraan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat hukum, dan pusat yang lainnya. 2). DKI menjadi istimewa dengan kesadaran religiusitas ummat. Hal ini terjadi setelah kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Sebab ahok menjadi salah satu kandidat DKI 1, maka wajarlah DKI menjadi plus sorotan.

Setelah prosesi kampanye tiap paslon dan juga debat, saatnyalah masyarakat Jakarta memilih pemimpin mereka. Bahkan yang bukan warga DKI pun deg-degan menunggu hasil pilkada. Secara status DKI merupakan daerah yang masuk dalam kategori rawan pilkada. Rawannya lagi banyak. Rawan kecurangan, rawan keamanan, dan rawan issu SARA. Apalagi sejak kasus Ahok bergulir, issu SARA makin kencang menggelinding. Mau tidak mau, karena ini menyangkut idealisme, mulai banyak yang tertarik untuk mengawal pilkada. Masih ada yang no comment dengan kondisi yang ada, tetapi tidak sedikit pula yang mulai mengambil sikap memilah dan memilih paslon. (Mungkin) salah satu diantaranya adalah saya. DI awal, belum banyak berkomentar, hanya memantau issue melalui sosmed. Merasa prihatin dengan kondisi negara yang carut marut. Baku hantam, saling serang, saling tuding, dan saling ini itu. Awalnya, hanya menganggap ini adalah gurauan politik. Namun, semakin lama issu semakinmenggiring ke ranah agama. Siapa sih yang akhirnya tak berkicau ketika masalah agama makin dicecar?. Bahkan seolah para pemuka agama di negeri ini makin dikotakkan sebagai ulama pro dan kontra. Bahkan lembaga ulama terbesar di negara ini, dinyatakan kehilangan kepercayaan karena keberpihakan kasus penistaan agama. Ulama kok dicecar? Dan yang lebih membuat prihatin, bukan karena banyak ummat tetangga yang mencela, tetapi ummat serumahlah yang mencerca begitu pedas. Lah, mereka kenapa?. Tak ayal pun, keberpihakan mulai merasuki. Yang tersisa adalah paslon 1 atau paslon 3. Pemimpin yang muslim. Ini issu SARA, tetapi bagi saya issu ini baik untuk dibawah ke permukaan untuk memberitahukan bahwa kita serumah itu solid. Sekalian untuk mengetahui, siapa anggota keluarga yang mangkir ke rumah tetangga.

Lalu siapa yang dipilih?. Tentu tiap orang berhak menentukan pilihannya. Bahkan memilih dengan alasan agama, atau keyakinan pun itu lumrah menurutku. Agama kan memang ada untuk mengatur kehdupan manusia?. Kalau pada akhirnya memilih karena agama, ya silahkan. Namun yang terjadi, justru memilih dengan agama malah dijadikan sebagai issu SARA. Padahal, agama itu adlah pedoman. Silahkan memilih karena keyakin. Yang salah kalau membujuk ummat agama lain, mengingkari keyakinannya untuk memilih. Kalau diperhatikan, dari ketiga paslon, tidak ada yang luput dari isu ini. Meski paslon 1 lebih terkesan demokratis-nasionalis, namun tetp saja paslon ini menjadi referensi bagi ummat islam dalam memilih. Paslon 2 dengan gabungan 2 keyakinan, tentu dipilih oleh masyarakat dari 2 keyakinan. Namun, Tak bisa dipungkiri kalau yang sekeyakinan dengan Ahok ramai-ramai memilih paslon ini. Alasannya apa? Tentu paling utama karena alasan keyakinan. Sedangkan paslon 3 sudah tentu jadi representasi masyarakat jakarta yang religius-nasional. Salah satu indikatornya adalah, didukung oleh salah satu partai islam. Masihkah mengatakan memilih karena agama adalah SARA?

Pada akhirnya, pilkada adalah akhir dari seru-seruan euforia politik pilkada. Tentu saja hal yang perlu dipahami bahwa ada pilkada, tentu akan memuat kata menang dan kalah. Tidak ada pilihan lain. Berani bertarung, berarti berani menerima apapun hasilnya. Selaku orang yang pada akhrnya memilih dan merapat pada salah satu paslon dengan beberpa pertimbangan, meski bukan warga jakarta, juga harus siap sedia menerima hasil. Sejak awal, dalam perpolitikan tak bisa diprediksi apa yang akan terjadi. Boleh saja lembaga survey menemukan ini itu, tetapi sepersekian menit sebelum pencoblosan, hati seseorang bisa berubah. Pilihan seseorang bisa jadi berbelok. Tergantung pertimbangan akhir, entah itu pertimbangan rasional, religiusitas, ataupun hedonistis. Ketiga paslon sama-sama punya kelebihan dan kekurangan. Siapa yang tahu keajaiban yang bisa terjadi.

Awal setelah pencoblosan, ramai-ramai lembaga survey mengumumkan dan mencari-cari paslon 3 untuk diwawancarai, karena katanya persentasenya paling tinggi dan disinyalir menang. Diserang awak media dan kjuga lembaga survey begitu, ya tentu adalah ucapan ini itu, termasuk ungkin perkaaan harapan, terimakasih, dan juga bahagia. Namun, semakin banyak data yang masuk dalam perhitungan quick count, kejar-kejar nilaipun terjadi, dan akhirnya paslon nomor 2 yang unggul. Tanpa pikir macam-macam, mengapresiasi keberhasilan mereka. Hingga bermunculan status di mdsos lengkap dengan gambar dan video dari proses pencoblosan yang aneh. Termasuk diantaranya dapat siluman yang tiba-tiba muncul. Awalnya tak ingin nyinyir, namun semakin lama, dari hasil persaksian yang ada di lokasi TPS, bikin gregetan juga. Apa iya? Masa sih sampai ada proses seperti itu? . Kalau dia menang dengan proses yang bermartabat sih, tidak apa-apa. Lha wong memang mereka berpengalaman dan getol berkampanye. Tetapi kalau dilalui dengan proses yang mengerikan, siapa yang bisa menerima?. Tak boleh menutup mata atas kasus-asus itu, harus diusut dan dibersihkan. Harus dihargai proses yang susah payah ini. Pilkada DKI telah menguras banyak. Kantong, dompet, ATM, tenaga, pikiran, janji, konsentrasi, waktu. Jangan sia-siakan semua yang telah terkuras itu dengan menghasilkan pemimpin yang tak bisa menghargai proses itu dengan sebuah perubahan.

Hasil pilkada pada akhirnya memberikan sinyal bahwa paslon 2 dengan urutan tertinggi kemudian paslon 3 lalu paslon 1. Lalu kenapa?. apa yang bisa diindikasikan dari hasil ini?. Tergantung dari sudut pandang mana. Banyak yang beranggapan bahwa paslon 2 meski berkasus calonnya, tetapi terlanjur dipercaya oleh masyarakat mempunyai integritas kerja yang tinggi. Namun adapula yang mengatakan bahwa dibaliknya ada U dibalik B. Seperti bahasan sebelumnya. Sedangkan paslon 1 memiliki suara paling rendah, disinyalir karena masyarakat jakarta pada akhirnya akan berpikir secara rasional. Dan Paslon 1 masih dianggap prematur jika ingin memerintah DKI. sedangkan paslon 3 yang sempat diawal dinyatakan sebagai pemenang, mendapat apresiasi karena mampu mendulang suara meski hanya dibackup oleh 2 partai. Apalagi selanjutnya?. AHY telah begitu gagah mengakui kekalahannya dalam pilkada. Bak seorang kesatria, begitulah yang diharapkan. sifat sportifitas seorang Agus yang banyak menuai pujian. Meski pujian itupun bisa jadi "terselubung". Pikiran negatif, tetapi begitulah adanya, AHY meski kalah tetap menjadi bintang, dikejar dan "dirayu". Mengapa?. Pilkada ini akhirnya menjadi 2 putaran. antara paslon 2 dan paslon 3. Jadilah suara paslon 1 menjadi rebutan. kemana suara paslon 1 akan bergerak? ini masih menjadi tanda tanya besar.

Dengan rentang waktu 2 bulan menuju putaran 2, partai pendukung AHY mulai melakukan penjajakan atau dijajaki. tentu mereka akan memberikan pilihan tidak serta-merta. pertimbangannya pun tergantung kepentingan dan pandangan politik mereka. bisa jadi, kalau mencari mana yang akan berpeluang menang, maka partai-partai tersebut akan merapat kesitu. ujung-ujungnya adalah kolaborasi dan bagi-bagi jabatan. atau alasannya adalah lebih dekat dengan siapa. Tentu saja partai itu akan mencari dimana teman akrabnya kembali. Atau jika alasan keberpihakan karena alasan ideologis, maka yang mengedepankan tegas-realistis akan memihak pada paslon 2 dan yang religius-partisipatoris akan merapat ke paslon 3.

begitulah dunia politik. Tak ada yang abadi dalam kebersamaan yang dibalut dengan kata koalisi. Hari ini mereka berkoalisi, besok belum tentu. lagi-lagi tergantung kepentingan dan pandangan politiknya. Tak ada teman yang abadi dalam dunia politik, yang ada adalah kepentingan abadi. Bahkan yang dibungkus kata religius pun bisa keciprat kepentingan. nanti akan berbeda tipis kepentingan pribadi atau kepentingan ummat. karenanya usahlah terlalu memaksa dan membela mereka yang kau dukung. Hari ini mereka menawarkan sensasi yang membuatmu terpikat, esok setelah mereka naik ke singgasana, tujuan bisa memuai bersama kesenangan yang terhidangkan. Mereka yang bermuka manis ketika kampanye, jangan percaya dulu. Simpan kata manisnya lalu sodorkan ketika mereka telah jalan-jalan di taman yang indah. Ketika kau temui di taman, Tujuan dan kenyataan sesungguhnya akan kau dapatkan. apakah kepercayaan yang diberikan kepada mereka adalah kebenaran atau kepura-puraan?.

Bangsa ini telah krisis kepemimpinan. Banyak yang berbondong-bondong ingin duduk di pemerintahan, membual janji sana-sini, dan berperilaku manis. Bukan karena memang mereka ingin menjadi pemimpin yang baik, atau paling tidak ingin melakukan perubahan, atau seperti itulah mereka. tetapi, mereka tampil seperti itu karena ada maunya. berlindung di balik topeng manis. Menjajakan kesederhanaan, namun pada akhirnya kesederhanaannya menjadi sangat lebay. Menawarkan kerakyatan, namun sayang secara terselubung sebenarnya tidak pro rakyat, malah menjadi intimidatif terhadap rakyat. menjual kepentingan rakyat di panggung kampanye. Dan jangan sampai menjual religiusitas juga di panggung kampanye.

Ahhh... benarlah kata pak Haedar Nasir, bahwa kita ini butuh pemimpin bangsa yang tidak pura-pura. Tidak pura-pura baik, pura-pura sederhana, pura-pura merakyat, pura-pura religius, dan pura-pura memihak. Kita butuh mereka yang apa adanya. Tak bertopeng dan tak ber-makeup. Rakyat butuh pengayom, bukan pembantai. Butuh diarahkan bukan dipatahkan. Butuh didengar bukan dihardik. Butuh bergandengan bukan berseberangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap