Sekarang adalah masa hangatnya panggung politik. Bukan hanya pilkada tetapi juga pemilihan dalam organisasi. Baru saja kembali panggung politik terlewatkan dengan segala euforianya. Sebagaimana panggung politik, hasilnya akan menimbulkan banyak penerimaan, penafsiran dan juga rasa. Menelisik sejenak dari semua panggung poliik yang sudah kulewati dan kusaksikan, ada hal yang menggelitik dan sekaligus membuat miris. Rasanya, panggung politik kita mestinya berbeda dengan panggung politik lain yang ada kaitannya dengan pemerintah atau yang ada kaitannya dengan profit. Karena panggung ini sebenarnya bukan memperjuangkan profit, tetapi lebih memperjuangkan dakwah dan keberlangsungan organisasi. Bukankah seharusnya seperti itu?. Namun pada kenyataanny, panggung itu pun telah bergeser ke ranah politik serba mubah. Apa saja boleh dilakukan, yang penting sesuai dengan kepentingan. Apa bedanya dengan panggung politik lain di negara ini?
Kita diajarkan untuk santun berpolitik. Mengingat bahwa yang kita perjuangkan adalah dakwah, bukan kepentingan pribadi, apalagi mengenyangkan ego semata. Kita mstinya mementingkan kepentingan ummat, menekan ego, mengesampingkan iming-iming. Saling merangkul, menguatkan dan juga saling percaya. Pada kenyataannya, tetap saja ada dinding pemisah yang terlalu tinggi. Ada sekat yang begitu kokoh membatasi. Dan ada pengklasifikasian, yang sejenak membuat patriotosme nama baik dipertahankan. Katanya satu. Katanya melebur. Katanya menanggalkan jubah masing-masing. Katanya untuk kepentingan bersama. Katanya semua kita sama punya potensi. Katanya harus saling percaya . Katanya apapun itu, jangan bawa perasaan. Nyatanya? tetap saja bagai air dan minyak. Tak bisa melebur, tak ingin berdampingan. Selalu ada curiga. Berusaha ingin menguasai. dan klaim lebih baik.
Bukankah lebih indah jika kita saling percaya dan merangkul?. Ego akan selalu ada, namun sebarapa lama bisa bertahan dengan ego?. Menang ataupun kalah, ayolah... saling menerima dan saling percaya. Menang bukan berarti telah diatas angin dan lebih dari yang lain. Kalah bukan berarti tidak lebih baik dan tak bisa dipercaya. Menang dan kalah hanyalah status takdir. Hanya saja, kata menang-kalah menjadi kata pamungkas yang bisa mengubah banyak hal. Yang dekat menjadi jauh. Yang akrab menjadi asing. Yang ramah menjadi jutek. yang bijak menjadi egois. yang rukun menjadi retak. yang dipercaya menjadi boomerang. yang tunduk menjadi liar. yang biasanya penuh tawa, menjadi penuh cibiran. yang dulunya saling mendukung, malah saling dorong. Yang awalnya bahagia bersama, menjadi bahagia berpisah. Inikah yang katanya berjuang untuk dakwah?
Setidaknya, menurutku ada beberapa alasan mengapa seseorang bergelut dalam dunia politik yang semakin menjanjikan. Hal ini berlaku untuk semua jenis perpolitikan, yang pure atau yang semi.
Setidaknya, menurutku ada beberapa alasan mengapa seseorang bergelut dalam dunia politik yang semakin menjanjikan. Hal ini berlaku untuk semua jenis perpolitikan, yang pure atau yang semi.
Memperbaiki Keadaan. Inilah niat yang sering menggebu-gebu sesaat tatkala berjuang masuk dalam kancah perpolitikan. Niat ini dianggap sebagai niat suci. Menerjunkan diri dan menghibahkan diri dengan maksud keadaan yang timpang sebelumnya bisa diperbaiki. Kesalahan di masa sebelumnya bisa diluruskan. Konsep jelas, Sasaran jelas. Namun terkadang, seiring waktu niat ini tergerus bersama keadaan dan kenyataan. idealisme pada akhirnya harus berkonfrontasi bersama tarikan kesenangan. Banyak yang tetap saja idealis, mempertahankan apa yang sejak awal diperjuangkan. namun tak sdikit yang akhirnya angkat tangan lalu mengikuti arus. Karena bertahan dengan idealisme, sama artinya berjuang digempur. Orang yang idealislah yang paling merasakan kesakitan. Banyak dipersalahkan, banyak digiring, dan banyak tak bisa berbuat dengan keterasingannya.
Menguasai. Ini mungkin yang paling radikal diantara semuanya. Ini tujuan yang banyak dituju, sasaran utama, namun terdang malu untuk diakui. Siapa sih yang tidak ingin menguasai? Zaman sekarang ini, politik adalah jalan mulus untuk menguasai. Menguasai pemerintahan, aturan, batasan, kekayaan, kesempatan, bahkan masyarakat. Apalagi yang kurang jika semua itu bisa dikuasai?. Wajarlah ketika semakin banyak yang berbondong-bondong masuk kancah politik. meski tak punya ilmu yang banyak, tak punya skil managemen yang baik, tak pandai mengkoordinir dengan bijak, asal bisa menguasai, yang laian akan menjadi mudah. Menguasai sama halnya menjadikan hal lain menjadi tunduk dan patuh. peraturan yang tak sesuai bisa diubah. mereka yang tak serute bisa dijinakkan. Kekayaan yang membinarkan mata bisa diprivasi. Masyarakat yang selalu mengelukkan perhatian, cukup diberi sedikit sanjungan, perhatian, dan umpan kecil. betapa enaknya menguasai bukan?.
Popularitas/Ketenaran. Inilah Sisi lain dari perpolitikan. Tak mencari kekuasaan dan kekayaan, akan tetapi haus akan ketenaran dan polularitas. Ada juga yang tergila-gila dengan ini. Butuh sanjungan, butuh elukan, dan butuh diperbincangkan. Meski tak memperoleh profit yang berlebih atau sama sekali tak ada, tak jadi masalah. Karena terpening dari semua itu bisa dikenal oleh banyak orang dengan menjadi wah. itu luar biasa. Biasanya yang seperti ini ada di perpolitikan non profit.
Memperluas Jaringan. Sebenarnya, ini adalah tahapan awal poin yang lain. Karena memperluas jaringan, pada akhirnya agar bisa terkenal dan bisa menguasai. Motivasi ini juga sering terjadi pada perpolitikan non profit. Dengan masuk ke kancah perpolitikan, menjadi leader atau masuk struktural, dengan sendirinya akan menuai akses mudah bertemu banyak orang. Bertemu bnyak orang tentu akan memanen link sana-sini. Kalau link sudah banyak, mau ngapain sudah mudah. Urusan A ada si nganu. urusan B ada si nganu. urusan Z ada si nganu, link lancar, urusan lancar, kucuran lancar, dan jalan lain juga akan mulus. Enak kan?
*Jum'at Mubarak 030217*
* Jangan Lupa Waras*
*Jangan Lupa Bahagia*
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar