Langsung ke konten utama

(Juga) Tanggapan untuk Afi Nihaya

Ini tanggapan saya tentang kehebohan karena akun fb Afi Nihaya yang ditangguhkan oleh facebook efek dari banyak yang melaporkannya dengan satusnya yang banyak membahas tentang kebinekaan, dan yang terakhir tentang mempertentangkan agama yang hanya meruapakan warisan.

Pada dasarnya tiap manusia lahir dengan fitrahnya, suci. Orang tuanyalah yang kemudian menjadikannya islam, kristen, yahudi, majusi dll. Tetapi bukan berarti itu sudah paten. Tiap manusia punya peluang yang sama berpindah dr keyakinan awal. Tergantung bagaimana proses hidup dan berpikirnya. Maka selanjutnya, agama bisa berubah. Klw mnurutku memang ilmu pertama diperoleh dari pengalaman (apa yang didapat dr ortu/keluarga), tetapi selanjutnya ilmu akan bergerak terbuka seiring sumber lain datang dari pengetahuan, baik dari lingkungan sekitar, atw dari kontemplasi individu, atw dari bacaan. Disitulah pd akhirnya pengalaman dan pengetahuan akan tarik menarik. Hasilnya bisa membuat orang tetap pada keyakinan awal atw berpindah.

Meski agama pada awalnya adalah diferensial dari orang tua, tetapi tiap individu tetap punya akal dan nurani masing2 untuk berpikir pada akhirnya. Bukan dengan apa yang diterima justru hanya menerima. Tetapi mesti mengkaji untuk lebih meyakinkan diri. Dengan begitu, agama yang dianut kemudian bukan lagi berstatus "warisan". Tetapi hasil dari perjalanan intelektual dan ruhiyah kita. Dan selanjutnya seseorang bisa tetap mempertahankan n berpegangteguh pada apa yang diyakini. Dan mempertahankan apa yang diyakini bukan lagi sebagai sesuatu yang keliru dilakukan. Tetapi sesuatu yang mesti dilakukan. Itulah wujud nyata dari keyakinan. Dan keyakinan sudah tentu tidak mudah untuk dipelintir dan digoyahkan oleh orang lain. .
.
Kalau dalam perjalanannya ada yang berbeda dari yang diyakini, itu wajar saja. Toh, itulah proses kehidupan dan keyakinan. Wajar jika berwarna. Wajar jika beraneka ragam. Hidup memang penuh warna. Tak bisa kita tak memilih warna. Warna ku warnaku. Warnamu adalah warnamu. Warnaku dan warnamu bisa sama. Tetapi juga bisa berbeda. Kalau berbeda haruskah disamakan? Tidak bisa. itulah identitas tiap warna.#agamakuadalahkeyakinanku#agamakuprosesku

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap