Menjadi seorang perempuan, apa sih yang membanggakan?. Ini bukan pertanyaan mengandung kesinisan loh ya. Karena saya pun seorang perempuan. Mungkin kita akan berkata bahwa yang membanggakan adalah fisik yang dianugrahi oleh Allah dalam keadaan sebaik-baik fisik. Perempuanlah yang dianugrahi kecantikan, paras yang menarik, tubuh yang gemulai, suara yang merdu, serta perasaan yang lebih dominan yang dimilikinya. Atau mungkin yang membanggakan adalah ketika hidup dengan layak, dengan kelebihan dunia yang dimiliki, berupa harta, pasangan yang setia, berkecukupan, handsome, dll. Apalagi dilengkapi dengan buah hati yang lucu, cerdas, membanggakan, sehat, dan sholeh/sholehah. Apalagi yang perlu dicari dan dikejar?.
Lalu apa yang membuat seorang perempuan terjatuh dan terpuruk?. Jawabannya adalah kebalikan dari yang membanggakan di atas. bisa karena merasa fisik kurang dibanding perempuan sekitarnya, merasa jelek sendiri, atau merasa dihina oleh setiap pandangan yang melihatnya. Atau karena tidak memiliki penghidupan seperti yang diimpikan, keluarga yang berantakan, keluarga yang kekurangan, pasangan yang tempramen atau tak setia, anak yang super duper nakalnya. Atau karena mereka yang belum mendapatkan pekerjaan yang lebih menjamin, belum mendapatkan pasangan hidup, belum mendapatkan keturunan, atau belum bayar cicilan utang :D.
Dengan segala kepelikan hidup, terkadang kita lupa untuk bersyukur, karena kita sibuk menekur. Sibuk menggerutui diri, menangisi keadaan. kadang kita saat diuji kita merasa menjadi manusia paling sedih, kita merasa mendapatkan lebih banyak kesusahan dari pada kemudahan. Kita lupa bahwa Allah hanya mengambil satu hal saja. Allah hanya mengambil satu tangkai saja dari nikmat yang kita punya. Allah tidak mencabut akarnya. Allah tidak mengambil nikmat lain. Misal kita hanya diberi satu ujian, dengan kehidupan ekonomi yang masih kurang, membuat kita jadi lupa atas nikmat lainnya. Padahal nikmat Allah yang lain masih banyak, Ada nikmat sehat, nikmat berjalan, nikmat ekonomi, nikmat berbicara, nikmat pendengaran, dan nikmat-nikmat lainnya. Lalu mengapa masih merasa tidak adil? padahal Allah masih menurunkan nikmat lainnya. Lalu mengapa menggalau setiap hari, padahal kebahagiaan lain masih juga berpihak pada kita. lalu mengapa bangkit, move on setelah terpuruk itu begitu sulit, sedangkan Allah masih memberi kenikmatan lain, mengganti yang apapun yang hilang, dan selalu ada untuk jadi tempat kembali dan mengadu ketika merasa segalanya jadi gelap?.
Lalu bagaimana jika Allah meminta lebih dari kita?. Bagaimana jika hidup yang dijalani malah lebih butuh lebih dari sekedar sabar dan penerimaan kita?. Bagaimana jika yang dibutuhkan adalah hidup kita? Yang dipertaruhkan adalah nyawa kita? sanggupkah kita?. Kalau soal hidup yang meminta kesabaran kita saja membuat kita seolah telah hidup penuh dengan kesusahan, bagaimana bisa menerima jika kehidupan itu sendiri yang perlu kita relakan?. Hidup penuh dengan himpitan ekonomi? Fisik yang biasa saja? Pekerjaan yang belum memuaskan? keluarga yang belum tercipta? anak yang belum dikaruniakan?. Tak apa... bukankah kita masih bisa hidup? masih bisa berjalan, masih bisa memandang dunia? masih bisa berusaha?. tetapi jika kehidupan itu sendiri yang telah lenyap, apalagi yang bisa dilakukan? bisakah kita?
Pertanyaan ini hadir ketika maraknya pemberitaan seorang dokter Palestina yang meninggal dunia akibat tertembak oleh tentara Israel di perbatasan Jalur Gaza, Razan Al-Najar. Kalau dipikir, apa yang kurang darinya? wajah cantik, pekerjaan mumpuni, keluarga yang bahagia, pendidikan yang membanggakan. Mungkin jika kita yang dalam posisi memiliki itu semua, kita akan sulit melepasnya dan menukarnya dengan hidup kita. Tetapi tidak dengannya. Dengan segala kelebihan yang dimilikinya justru dia tak gentar kehilangan, bahkan hidupnya sekalipun. jika kita ada di posisinya, bisakah kita merelakan hidup nyaman yang dipunyai?. Dengan hidup yang meminta perelaan yang lebih, maukah kita menukarnya dengan hidup aman dengan beberapa kekurangan yang kita miliki?. Kondisi yang meminta barteran nyawa, apalagi yang lebih menakutkan?. Apakah mereka mengeluh, menangis, meraung, mencak, menyerah, lemah, dan mengebiri hidup?. Tidak....!!!. Lalu mengapa kita diberi ujian yang tidak meminta hidup kita, tidak meminta nyawa kita, aman, masih bisa berusaha, masih bisa tersenyum, masih bisa tidur enak, tetapi merasa hidup ini tidak adil dan menyedihkan?. Pikiran kitalah yang menyedihkan. hati kitalah yang menyedihkan.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar