Sore itu, sebuah video disodorkan padaku. Awalnya tak mau melihatnya. Khawatir videonya tentang kekerasan atau tentang berdarah-darah. Soalnya pernah sekali seorang mahasiswa dengan tanpa bersalahnya mengirim foto singkat orang yang dipenggal kepalanya. Kupikir video apaan, ehh, nyatanya… tahu tidak setelahnya pengen rasanya nangis dan menjerit. Antara marah, takut, dan meringis lihat. Sampai saya rasanya pengen muntah. Ini video sadis amat men. Masih mending video penembakan daripada yang beginian. Terlihat jelas kepala manusia dipenggal tanpa ada rasa kasihan. Sejak itu jadi takut membuka kalau dikirimkan video sama seseorang. Tapi video kali ini bukan tentang kesadisan, tapi video tentang kehidupan. Tentang garis hidup. Awalnya pengen sok tegar. Pengen sok ahh.. nggak deh pasti kuat lihatnya. Tapi dasar diriku yang emang cengeng kalau bahas tentang begituan, Cuma berselang beberapa waktu air mata sudah mulai nongol dengan mesra di pelupuk mata.
Seorang istri yang menuangkan tentang ungkapan hatinya ditinggal oleh suami tercintanya. Bukan sementara waktu tapi untuk selama-lamanya di dunia. Tentang bagaimana mereka memulai hidup bersama saling menguatkan. Saling melengkapi. Saling menutupi kekurangan masing-masing. Saling mengetahui masalah. Saling berbagi. Saling memadu kasih. Saling mencintai. Saling mendorong. Saling marah. Saling sindir. Sama berjuang menghadapi ombak kehidupan. Namun dengan takdir-Nya semua harus berubah. Semua harus berakhir. Ia harus berjuang sendiri berdiri sendiri melangkah sendiri melanjutkan kehidupan. Membesarkan anak-anak mereka yang masih belia. Meninggalkan banyak kisah, banyak cerita, dan banyak cinta. Cinta mereka harus dipisahkan. Kisah mereka harus terhenti. Dan kisah mereka yang dulu disebut bersama kini harus disebut terpisah.
Melihatnya bagaimana bisa airmata ini tidak menganak suangai? Tiap potong kalimatnya seolah adalah nyanyian sendu dengan sejuta rindu. Tiap kalimat seolah sayatan ngilu menceritakan betapa rasa setelah ketiadaan itu benar-benar sakit. Dan betapa juga tak menganak sungai airmata ini, ketika sesosok bayangan kembali hadir mengenang beberapa bulan yang lalu ia pergi. Dialah ayahku. Iya, mungkin beliau pergi saat kami telah dewasa semuanya, tetapi yang namanya kehilangan, adakah yang tidak sakit?. Yang kupikirkan kemudian adalah, apakah begitu halnya yang dirasakan oleh ibuku dengan kepergian bapak?. Saya seorang anak, tapi pilu saat kehilangan. Pilu ibuku tak kutahu. Sakit ibuku tak kurasa. Tapi katanya “kehilangan pasangan itu jauh lebih pilu”. Benarkah?. Wallahu’alam.
Saya belum merasakan itu, namun mungkin itu benar. Sejak kepergian ayah, seperti malam itu, saya sering mendengar dan mendapatkan ibu menangis sendirian. Sering saat selesai shalat, atau setelah mengaji, atau setelah menyanyi lagu kenangan. Dia sering terisak, sendu, pilu. Dan saya sama sekali tak sanggup bertanya kenapa. Tapi saya bisa menduga bahwa itu karena ayah. Ibu sedang merindukan ayah. Jadi mungkin benar bahwa kehilangan pasangan itu jauh lebih menyakitkan. Pun saat pagi hari, belakangan ini ibu begitu rajin menyapau pekarangan. Pekerjaan yang lebih sering dilakukan oleh ayah semasa hidupnya. Rutinitas tiap pagi setelah bangun shalat subuh adalah mebersihkan pekarangan, bahkan sampai usianya yang sudah tidak muda lagi, tetap saja pekarangan akrab dengannya. Jarang pekarangan kotor penuh sampah dan rumput. Namun semenjak beliau pergi, halaman seolah ikut menangis. Dan ibulah yang pada akhirnya menggantikan kebiasaannya. Menurutku, mengapa ibu begitu rajin dan semangat melakukannya?. Bagiku, itu sebagai bentuk ekspresi kerinduannya. Bagiku itu sebagai cara mengingatnya. Bagiku itu adalah rindu. Rindu pada kekasih hidupnya.
Ahh.. ibu, pilu tak kurasakan. Sakitmu tak kuketahui. Tetapi satu yang pasti, kehilanganmu lebih pilu dari kehilangan yang kami rasa. Semoga Allah mengumpulkan kita kelak di syurga-Nya. Kembali berkumpul sebagai keluarga. Melanjutkan kehidupan disana. Dan menganyam kembali rindu disana.
Tepi laut, 22 Juli 2018. 17.35 p.m.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar