Langsung ke konten utama

Cinta Itu Bukan Matematika

Pernah merasakan cinta? tentulah pernah bukan? selama masih jadi manusia normal. Salahkah?. Ya nggaklah. Cinta adalah anugerah, nggak ada yang bisa menampik ketika rasa itu hadir dan menyentil pelan. Rasa nggak pernah salah dan bohong, penyampai rasalah yang terkadang salah. Salah dalam menjadikannya alasan untuk berbuat jahat atasnya. Dan caranya pulalah yang membuat rasa itu menjadi candu dan racun. Tak lagi indah seindah dugaannya. Tak lagi menentramkan seperti hayalannya. Tetapi itulah cinta. Cinta itu bukan Matematika. Tak butuh logika. Tak butuh aksioma. Dan juga terkadang ada yang tak bisa dibuktikan. (pun) ada yang tak terdefenisi. (Pula) ada yang tak terhingga.

Karena ia bukanlah matematika, maka cinta akan ada saja keluar dari koridor logika manusia. Idealnya, cinta akan selalu bisa menerima dan bertahan. Tetapi nyatanya tak selalu begitu. Kali ini akan berucap "menerima apa adanya", kelak akan berkata "apa yang kau punya". Sekarang berkata "mari sama-sama setia", "tunggu aku", "aku akan bertahan", tetapi nyatanya esok akan ada ungakapan "maaf aku sudah nggak bisa". Logikanya dimana ya?. Harusnya kan apa yang dikatakan bisa terus saja seperti itu. Seperti angka 1 yang tetap saja menjadi simbol identitas bagi perkalian. Logikanya juga, kalau berani datang harus berani bertanggungjawab atas kedatangannya. Kalau pun juga pada akhirnya berani tuk menyakiti dan mengecewakan, maka harus juga berani menerima konsekuensi tuk didiamkan, tak disapa, tak diindahkan, bahkan mungkin dibenci. Logikanya mestinya begitu tetapi faktanya tak selalu begitu. 

Yang namanya cinta, ibarat sebuah roda. Mudah datang menggelinding kemana saja. Tak butuh aturan khusus dan logika masuk akal versi manusia. Roda akan berputar tak perlu alas tuk bergerak, dimana pun bisa. tak harus alas yang datar, beraspal. Begitupun cinta, bisa bergerak dan timbul dimana saja. Asalkan ada yang bisa menggerakkannya. Tak butuh logika harus milik mereka yang berada. Atau harus bagi mereka yang sama dan sederajat. Meski banyak yang mengejar status sosial dengan memilih dia yang berkasta. Tetapi tetap saja ada yang keluar dari logika menabrak dan menubruk kebiasaan.

Namun hal yang perlu diingat bahwa dalam hal cinta, manusia adalah sesuatu yang siap untuk menerima, tetapi hanya untuk sesuatu yang bisa diterima. Memaksakan kehendak bukanlah tipe dari mencintai. Cinta tak butuh nekad, tapi membutuhkan tekad. Tekad bahwa feel itu benar adanya, tak dikungkung oleh logika orang lain dan aksioma kebiasaan. 

Kontemplasi buku "Menjadi Baik itu baik"
Jogja, 31 Agustus 2018. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap