Karena ia bukanlah matematika, maka cinta akan ada saja keluar dari koridor logika manusia. Idealnya, cinta akan selalu bisa menerima dan bertahan. Tetapi nyatanya tak selalu begitu. Kali ini akan berucap "menerima apa adanya", kelak akan berkata "apa yang kau punya". Sekarang berkata "mari sama-sama setia", "tunggu aku", "aku akan bertahan", tetapi nyatanya esok akan ada ungakapan "maaf aku sudah nggak bisa". Logikanya dimana ya?. Harusnya kan apa yang dikatakan bisa terus saja seperti itu. Seperti angka 1 yang tetap saja menjadi simbol identitas bagi perkalian. Logikanya juga, kalau berani datang harus berani bertanggungjawab atas kedatangannya. Kalau pun juga pada akhirnya berani tuk menyakiti dan mengecewakan, maka harus juga berani menerima konsekuensi tuk didiamkan, tak disapa, tak diindahkan, bahkan mungkin dibenci. Logikanya mestinya begitu tetapi faktanya tak selalu begitu.
Yang namanya cinta, ibarat sebuah roda. Mudah datang menggelinding kemana saja. Tak butuh aturan khusus dan logika masuk akal versi manusia. Roda akan berputar tak perlu alas tuk bergerak, dimana pun bisa. tak harus alas yang datar, beraspal. Begitupun cinta, bisa bergerak dan timbul dimana saja. Asalkan ada yang bisa menggerakkannya. Tak butuh logika harus milik mereka yang berada. Atau harus bagi mereka yang sama dan sederajat. Meski banyak yang mengejar status sosial dengan memilih dia yang berkasta. Tetapi tetap saja ada yang keluar dari logika menabrak dan menubruk kebiasaan.
Namun hal yang perlu diingat bahwa dalam hal cinta, manusia adalah sesuatu yang siap untuk menerima, tetapi hanya untuk sesuatu yang bisa diterima. Memaksakan kehendak bukanlah tipe dari mencintai. Cinta tak butuh nekad, tapi membutuhkan tekad. Tekad bahwa feel itu benar adanya, tak dikungkung oleh logika orang lain dan aksioma kebiasaan.
Kontemplasi buku "Menjadi Baik itu baik"
Jogja, 31 Agustus 2018.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar