Langsung ke konten utama

Tentang Janji

Siapa sih yang tidak pernah berjanji dalam hidupnya?. Tiap kita pastilah pernah berjanji, entah janji kepada sesame manusia atau janji kepada Allah. Dan entah janji dengan mengatasnamakan Tuhan-nya atau janji tanpa mengingat Tuhan-nya. Lalu bagaimana sikap dengan janji?. Berjanji sih boleh-boleh saja. Tetapi ada kaidah yang harus diingat kaitannya dengan janji. Pertama bahwa janji bukanlah sekedar kata yang keluar dari mulut. Tetapi lebih dari itu, janji itu berupa kata yang harus dipertanggungjawabkan dan mesti ditunaikan. Jika tanpa mengatasnamakan Tuhan saja mesti ditunaikan sebagai hak kepada sesame manusia, apalagi jika mengikutsertakan nama Tuhan. Janji berarti membuat sebuah harapan hadir pada yang diberi janji. Jika dia adalah manusia, maka tentu ia akan menganyam sebuah harapan. Karena yang kita sepakati bahwa janji itu berarti menitipkan percaya. 

Artinya apa?. Jika kita telah berjanji maka berusahalah menepatinya. Hal yang membuat janji tak tertepati kecuali jika telah berusaha dan memperjuangkan tetapi ujung dari usaha tidak bisa sampai pada takdir sesuai dengan janji. Barulah janji itu bisa dikatakan tidak tertepati dengan ketidaksengajaan. Misalnya nih, kalau kita telah berjanji dengan teman akan datang menemani mencari stelan baju, itu artinya teman telah percaya pada kita akan datang dan dia pasti berharap. Jika sudah berusaha memenuhi janji, telah siap, namun tiba-tiba ada kejadian yang membuat harus tercancel missal ada anggota keluarganya yang sakit, nah itu berarti tidak menepati janji karena memang unsur ketidaksengajaan. Bukan karena memang tidak punya niatan memenuhi janji dengan tidak berusaha pergi. Begitulah mestinya bersikap pada janji. Tidak dengan belum berusaha berbuat apapun langsung mundur teratur tidak memenuhi janji. Dengan alasan tidak bisa. Itu bukan nggak bisa namanya, tapi nggak usaha. Makanan aja nggak bisa datang sendiri dari langit langsung turun tanpa usaha. Apalagi datang memenuhi janji tanpa usaha. Itu namanya mustahil alias kagak mungkin. Yang jadi aneh ketika ada seseorang yang telah menanam janji, namun tiba-tiba berkata maaf tak bisa memenuhi janji. Padahal belum usaha apa-apa. Belum memperjuangkan apa-apa. Belum melewati rintangan apa-apa. 

Kaidah kedua yang perlu diingat adalah pesan Ali bin Abi Thalib : jangan membuat keputusan ketika sedang marah dan jangan berjanji ketika sedang bahagia. Apa makna dari pesan tersebut?. Keadaan marah dan senang adalah saat dimana kondisi kita tidak begitu memperhatikan logika dan realita. Marah dan bahagia adalah emosi yang membuat manusia sejenak lupa tentang hal lain akibat dari feel yang sedang dialami. Sehingga saat berada dalam kondisi ini sering manusia melakukan sesuatu yang diluar dari control dirinya. Lebih memperuturutkan apa yang dirasakan. Dalam keadaan marah, ego yang sedang menyetir kepala, saat begini acapkali manusia membuat keputusan secara spontan. Mengeluarkan kalimat sebagai keputusannya. Dalam keadaan gembira, seseorang saking bahagianya dia pun mengucapkan janji. Namun ketahuilah saat amarah dan kesenangan itu berlalu, barulah kesadaran akan keputusan dan janji yang sudah dibuat. Penyesalan barulah datang. Mengapa bisa membuat keputusan begini dan mengapa berjanji begitu. Jadi, jika ingin membuat janji… please jangan membuat janji kalau lagi happy-happy-nya. Cobalah berjanji saat sulit dan rintangan itu hadir. Dengan begitu keinginan untuk berjuang itulah yang akan menggerakkan dan menguatkan. 

Dan hal yang paling penting lagi dari kaidah sebuah janji adalah peringatan Allah dalam Al-Qur’an mengenai janji. Setidaknya ada 2 ayat yang bisa dijadikan rujukan mengenai janji ini. 

Qur’an surah An-Nahl ayat 91: 

وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا 

Dan tepatilah penjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu setelah meneguhkannya. 

Ketika kita berjanji meski dengan manusia tetapi Allah telah kita ikut sertakan di dalamnya, itu artinya perjanjian kita adalah dengan dengan Allah. Kalau sudah seperti itu maka Allah sendiri mengatakan janganlah membatalkan setelah menegaskannya atau memaniskannya. Ayat lain dalam surah Al-Isra ayat 34 Allah berkata: 

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا 

Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya. 

Nah loh. Serem kan?. Yang namanya janji sekecila apapun tetaplah janji. Tidak boleh dibatalkan setelah meneguhkannya dan tak boleh mengingkarinya. Karena pemenuhannya, keinginan mewujudkannya semua akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah. Dan disitulah tiap orang akan saling mempertanggungjawabkan perkataannya masing-masing. Dan bisa saja disitulah transferan amal dan dosa bisa saja terjadi. Jika yang dijanji merasa terdzalimi. Bener nggak?. Serem kan…?. Makanya jangan mudah berjanji tetapi mudah pula mengingkari. Mudah lagi membatalkan. Terkadang pula mudah amnesia. Padahal jelas, kita mau lari kemana di hari pertanggungjawaban coba? Sekecil dzarrah pun suatu janji, semua akan tetap dipertanggungjawabkan. Dan ingat ketika sebuah perkara hubungannya dengan Allah maka kita bisa langsung meminta ampunan kepada Allah. Tetapi jika itu kaitannya dengan manusia, maka ada hak manusia disitu, harus ditunaikan dulu, hharus mendapat ridho dari manusianya. Ini kaitannya dengan hak manusia dengan manusia lainnya. 

Jadi heran ketika ada manusia yang berjanji, tetapi dengan mudahnya amnesia dengan yang diucapkan. Tetapi ada lebih aneh lagi, jika ada yang telah berjanji namun dengan gampangnya membatalkan. Padahal belum melakukan apa-apa, belum berjuang apa-apa. Dan seolah janji yang pernah diucapkan tak berarti apa-apa. Cukup hanya dengan membatalkan dan kata maaf semua bisa kelar dan clear. 

Terakhir, ingatlah kembali hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim. Rasulullah bersabda: 

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ  وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ

Tanda-tanda orang munafik ada tiga; apabila berbicara ia dusta. Apabila berjanji ia mengingkari. Dan apabila dipercaya dia khianat. (HR. Muslim, Kitabul Iman, Bab Khishalul Munafiq no. 107 dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu). 

Bukankah janji melalui semua tahapan ini?. Pertama di berbicara. Perkataannya pun berwujud sebuah janji. Dan ketika telah berjanji, orang lain tentu telah menitip percaya padanya. Namun saat yang diucapkan tak dipenuhi, artinya perkataannya adalah dusta, janjinya telah diingkari, dan berujung pada khianat. Karena orang lain telah menitip percaya tetapi ia mengkhianati kepercayaan itu. Maukah kita disebut orang munafik teman?. Sudikah kita kelak dihadapan Allah kita dipanggil dengan panggilan “yaa ayyuhal munafiqun…”. Seorang mukmin tampil beda dengan munafik. Apabila dia berbicara, jujur ucapannya. Bila telah berjanji ia menepatinya, dan jika dipercaya untuk menjaga ucapan, harta, dan hak, maka ia menjaganya. Sesungguhnya menepati janji adalah barometer yang dengannya diketahui orang yang baik dari yang jelek, dan orang yang mulia dari yang rendahan. (Lihat Khuthab Maka janganlah menanam janji jika tak mau menepati. Jangan mengumbar janji jika tak bisa memperjuangkan. Jangan mudah berkata tetapi tak punya aksi. Intinya, Jangan NATO. 

Terlebih sekarang dalam kondisi lagi banyak-banyaknya yang caper karena pilkada atau pilpres. Janji ada dimana-mana. Bahkan diobral dmana-mana. Jadi, Jika punya janji pada teman, berusahalah menepati. Jika punya janji pada orang tua, penuhilah. Jika punya janji pada wanita/pria perjuangkanlah. Jika punya janji pada masyarakat/rakyat maka laksanakanlah. Jika punya janji langsung kepada Allah terlebih tunaikanlah. Tahukah bahwa janji itu ngeri kawan…?

Palopo, 7 Agustus 2018. 23.04 p.m.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap