Langsung ke konten utama

Pada Akhirnya...

Duka negeri ini terus saja silih berganti. Belum hilang dari ingatan satu peristiwa, muncul peristiwa lain. Dan mau tidak mau yang mesti dilakukan adalah muhasabah. Ada apa dengan negeri ini?. Tak ada yang menginginkan musibah terjadi. Tak ada yang mendo’akan musibah akan mendatangi. Tetapi tak ada yang bisa mengelak dari musibah. Apakah musibah ini hanya sekedar bencana alam? Atau hanya sekedar kelalaian manusia?. Kalau hanya sekedar berfikir secara teoritis keduniaan, mungkin kita pun akan berargumen seperti itu. Beda halnya jika kita mencoba melihat dari kaca mata iman. Bahwa kejadian itu tidak lepas dari peringatan, ujian, atau bala’. Yang amnakah yang sedang menimpa? Wallahu’alam. Kita hanya diminta tuk mengoreksi diri. 

Dengan banyaknya peristiwa yang tak segan-segan menelan banyak korban jiwa. Musibah danau Toba. Gempa di Lombok, Gempa dan tsunami sulteng, dan kini jatuhnya pesawat Lion Air. Manakah yang lebih mengerikan?. Kita yang di luar dari peristiwa ini mungkin bisa memilah ini ngeri dan ini tidak begitu ngeri. Tetapi beda dengan mereka yang mengalami. Saat kejadian, mereka harus berjuang antara hidup dan mati. Mereka harus meregang nyawa. Atau mereka serasa dalam sakaratul maut. Kita yang di luar dari peristiwa itu, pada akhirnya banyak yang berfikir parno. Takut ke Palu. Takut ke danau Toba. Takut tinggal di lombok dan sulteng. Dan takut naik pesawat. 

Kalau semua menjadikan kita parno, kemana kita akan pergi?. Bukankah dalam perjalanan manapun kita tetap berpeluang terkena musibah? Entah itu via laut, entah itu via darat, entah itu via udara, bahkan tidak kemana-mana pun musibah bisa menghinggapi. Jika semua hal membuat kita parno, apa yang akan kita lakukan?. Saat ini banyak yang was-was naik pesawat, khawatir mengalami hal yang sama dengan penumpang Lion Air. Banyak juga yang takut menggunakan transportasi laut, karena ngeri terjebak di tengah laut terombang-ambing. Pun banyak yang menghindari mendatangi suatu tempat karena rawan bencana. Bukankah dibanding kecelakaan udara dan laut, kecelakaan darat lebih banyak?. Bukankah dibanding musibah di sebuah tempat tertentu, musibah di sekitar kita lebih banyak?. Bukankah musibah ketika dalam perjalanan tak sebanding dengan musibah dan kematian yang menimpa orang yang hanya bepergian di tempat yang sama setiap hari, di sekitar tempat tinggalnya? 

Pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa kemana pun kita pergi. Menggunakan apapun kita pergi. Di tanah mana pun kita tinggal. Saat kapan pun kita berada. Dengan alasan apapun, kita tak bisa menghindari sebuah musibah dan maut. Kita tak pernah bisa memilah dan memilih akan dijemput maut dimana, kapan, apa alasannya, atau saat usia berapa. Ketika waktunya telah tiba, siap atau tidak siap, masa itu pasti akan menghampiri. Hanya saja kita tak pernah bisa tahu apa alasan maut menghampiri. Apakah karena kecelakaan? Apakah karena penyakit? Apakah karena makan? Apakah saat ibadah? Apakah saat bermaksiat? Apakah saat sudah taubat? Apakah nanti ketika tua?. Itu adalah rahasia. Tetapi kita bisa berdo’a semoga bisa dijemput maut dengan alasan yang tidak mengerikan dan juga dijemput dengan husnul khatimah. 

Ketika jatah usia telah habis. Ketika jatah rezeki telah habis. Ketika jatah oksigen telah habis. Dan Allah telah berkata your time is over, dunia kita benar-benar akan berakhir dengan alasan apapun. Meski dengan kejadian yang sangat mengerikan sekali pun, jika jatah hidup kita belum habis, kita pasti masih selamat. Begitulah bagi mereka yang selamat dari bencana Lombok, Palu, Donggala, bahkan jatuhnya pesawat Lion air karena kemacetan. Itulah jalan Allah menjauhkan dia dari maut, karena jatah hidupnya belumlah habis. Khawatir itu biasa. Takut itu sudah lumrah. Ngeri itu manusiawi. Hanya saja, ingat maut akan datang dengan alasan apapun dan kapan pun. Siap atau tidak siap. Suka atau tidak suka. Pada akhirnya kita akan paham maut sebenarnya selalu mengintai setiap harinya. Hanya menunggu waktu, alasannya akan menghampiri. Se-ngeri-ngerinya dijemput mau lewat bencana mengenaskan, lebih ngeri jika dijemput maut tanpa amalan memuaskan. 

Mari jadi lebih baik. Mari berfastabiqul khairat. Karena dunia ini hanya alasan mengumpulkan amal kebaikan. 

Balandai, 30 Oktober 2018. 21.53 p.m.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap