Kisahnya bercerita tentang beberapa keluarga "elit" yang saling bersaing menjadi terbaik dan terhebat diantara semuanya. Salah satu hal terhebat yang dimiliki oleh orang tua selain rumah yang mewah dan keluarga terhormat adalah "anak yang sukses masuk sekolah kedokteran terkenal" yang nantinya akan menjadi seorang dokter. Hmmm... ternyata bukan cuma di Indo ya, profesi dokter itu menjadi profesi yang menggiurkan. Secara umum, cerita ini memperlihatkan sekumpulan keluarga yang tergabung dalam komunitas "Sky Castle" dengan kebiasaan dan kebanggan yang telah turun-temurun dilakukan. Meski telah berada di lingkungan yang super mewah dengan rumah yang besar dan halaman yang luas, juga pekerjaan masing-masing yang semuanya mapan, masih belum cukup membuat mereka berhenti saling iri, saling membanggakan, dan saling menjatuhkan. Yang selanjutnya menjadi korban adalah anak. Karena setiap keluarga berlomba-lomba menjadikan anaknya yang paling hebat, paling pintar, dan masuk ke sekolah kedokteran. Les diberikan, sekolah tambahan diberikan, istirahat direnggut, bermain tidak ada, bahkan tertawa dan bercengkrama bersama keluarga pun menjadi kondisi yang langka. Anak mereka harus pintar, harus juara, dan harus jadi dokter. Para orang tua tidak pernah melihat dan mendengar, apa tanggapan anaknya. sukakah dengan jalan yang dipilih oleh orang tuanya. Disinilah banyak kperistiwa yang menyentuh sensitivitas kita. Sekaligus mengoreksi diri, jika yang telah menjadi orang tua, jangan-jangan kita pun telah melakukan hal yang sama.
Sebenarnya melihat drama ini, saya teringat film Korea "Jungle Fish". Temanya sama, hanya saja Jungle fish fokus mengkritik kebiasaan nyontek, sedangkan sedangkan Sky Castle lebih mengkritik ke perilaku dan mindset orang tua.
Beberapa hal yang kusimpulkan dari drama ini:
1. Terkadang orang tua begitu keras membuat anak mereka sukses dalam pendidikan, tapi lupa membuatnya sukses dalam etika. Karena mereka lebih sibuk membuat anaknya menjadi juara diantara teman-temannya, akhirnya anak mereka pun ikut menjadikan diri mereka hidup dengan mengejar prestasi dan sibuk bersaing. teman baginya adalah saingan. Terbentuklah anak dengan karakter mau menang sendiri, cuek, dan tidak peduli pada orang lain, memandang rendah orang lain, tidak mendengarkan orang lain, dan tentu menjadi manusia yang selalu mau menang sendiri. Buat apa berintelektual tetapi tidak bermoral. Bukankah manusia itu bukan hanya makhluk indivudual tapi juga makhluk sosial?
2. Terkadang pula orang tua berusaha sangat keras agar anaknya bisa menduduki puncak tertinggi piramida untuk membuat kesombongan. Saat anak-anak mereka berhasil menjadi pemenang, menjadi juara, atau mendapatkan pekerjaan yang baik Dan akhirnya anak pun akan berusaha mengejar puncak itu dengan segala cara, menafikan kepedulian, menyingkirkan kebersamaan. Karena mindset sudah diprovokasi mengejar dengan melabrak aturan dan kebiasaan. Ah, iya bukankah Allah memang telah mewanti-wanti sebelumnya bahwa anak pun bisa menjadi sesuatu yang membuat sombong?
3. Pertarungan idealisme. Benar, terkadang kita idealis di suatu masa, tetapi akan pudar seiring waktu dengan todongan "kemewahan". Hingga apa yang idealis diawalnya akan menjadi apatis setelahnya. Karena memang dalam hidup ada dua jalan. Jalan lurus dan jalan berbelok. Di jalan lurus akan ditemukan air yang keruh dan di jalan berkelok akan penuh genangan air jernih. Tetapi kembali lagi bahwa "Memang melalui jalan yang lurus akan menemukan air yang jernih, tetapi pada air jernih tidak ada ikan yang besar"
4. Terkadang kita begitu terbahak melihat kekurangan dan kesalahan orang lain. Lalu sibuk berbangga dengan yang dipunya. Padahal sebenarnya kesalahan sendiri lebih banyak dan lebih terpuruk. Hanya saja kita terlalu terlena mengkritiki kesalahan orang lain dan larut dalam tawa yang membahana. Mungkin inilah yang sejak dulu dimaksud dalam pribahasa "Semut di dasar laut nampak, sedangkan gajah di pelupuk mata tidak nampak".
5. Ketika kita membangun mindset ke anak bahwa sekolah adalah tempat "pertarungan" dan teman adalah saingan. Maka mereka akan menganggap teman-teman mereka adalah musuh yang harus mereka jatuhkan dan kalahkan. Mereka akan merasa puas sampai musuh benar-benar takluk, dan mereka menjadi pemenang. Saat pemikiran seperti ini dibangun dan tinggal di kepala mereka, bukan hanya pemikiran mereka yang benar-benar menganggap sekolah sebagai ajang unjuk kehebatan dan pertarungan, tetapi juga akan berimbas pada perilaku keseharian mereka yang bisa jadi memandang rendah orang lain, merasa paling benar, dan tidak mau berinteraksi. inilah yang dirasakan dan dikemukakan oleh Cha Ki Joon "Jika teman dianggap pesaing dan sekolah dianggap perang, lalu bagaimana kami beritikad baik?"
Whatever.. drama ini menurutku daebaaaakkkk... bukan drama receh yang menjual romantisme. Recommanded pokok na mah. Mungkin siapa yang melihat akan punya persepsi sendiri tentang drama ini. Tergantung sudut pandang kita masing-masing. Namun, paling tidak drama ini bisa mengetuk nurani siapa saja untuk mengoreksi bagaimana kita selama ini mendidik, apa yang selama ini kita bangun dalam mindset, dan apa tujuan kita memastikan keberlanjutan studi mereka. Benarkan semua untuk mereka?. Trima kasih writernim atas sajiannya yang apik. Gomawo......
Yaya Afifatunnisa
Palopo, Maret 2019
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar