Memilih masuk dalam kancah dakwah atau organisasi adalah pilihan terbaik dari ribuan pilihan, karena di sekitar kita banyak yang butuh sentuhan tangan dakwah kita, tidak hanya terpaku dan puas dengan dengan diri sendiri, ingin orang lain juga merasakan manisnya iman, islam dan hidayah atau pendeknya jangan sholeh sendiri. Kitalah oarang-orang pilihan Allah, seperti yang dinukilkan dalam Al-Qur’an Surah Ali-Imaran : “hendaklah ada di antara golongan ummat-Ku, yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada yang mungkar.........”. Namun memilih ikut di dalamnya berarti siap atas segala konsekuensi yang bakal terjadi.
Organisasi merupakan tempat kita bernaung, tempat kita menguatkan diri. Di sana akan ditemui banyak karakter, sifat, suku, ras, dsb. Bukan lagi lingkup keluarga yang mudah bagi kita beradaptasi atau mengatur gerak langkah orang yang ada di dalamnya. Kalem, agresif, aktif, perhatian, bahkan ada yang cuek adalah tipikal yang akan kita temui. Disinilah kita akan dilatih bagaimana berkomunikasi, bersosialisasi, dan bekerja sama. Kita tak bisa mengedepankan ego, pendapat dan perasaan. Dibutuhkan rasa saling memahami yang tinggi. Kesalahpahaman dan ketersinggungan bukanlah hal yang langka terjadi. Wajar! Itu artinya di dalamnya ada dialektika. Tapi bukan berarti, karenanya kita akan “runtuh”.
Suatu kewajaran jika dalam dunia ini terjadi perbedaan
Namun.....
Jangan tanyakan kepada orang lain
Kenapa itu bisa terjadi?
Dan jangan tanyakan siapa yang menyebabkan perbedaan itu.
Tapi....
Tanyakan pada dirimu
Apakah engkau mampu menyikapi perbedaan itu dengan benar dan bijak
Dan tanyakan pada dirimu
Apakah engkau ridho menerima perbedaan itu?
Aktifis pun manusia biasa. Tak luput dari salah dan khilaf. Itulah gunanya ukhuwah untuk saling menasehati dalam kebenaran. Mendapatkan saudara kita berbuat kesalahan, tidak lantas membuat kita “jatuh”. Apalagi yang kita dapati berbuat salah adalah orang yang di mata kita “sempurnah”. Inilah sebenarnya kesalahan yang banyak terjadi tidak melihat sesuatu dari apa yang dikatakan tetapi dari siapa yang mengatakan. Memang, jika yang kita lihat adalah orangnya, maka kita akan cepat down/futur. Karena kita menganggap dia idealis, tanpa cacat. Sehingga suatu saat kita temukan ia melakukan kesalahan, runtuhlah bangunan kepercayaan di mata kita.satu kesalahan akan menghapus banyak kebaikannya. Kita kemudian menghindar bahkan lari, tak percaya lagi , pergi dengan ungkapan terpatri
“dia saja yang sudah seperti itu, ternyata........”
Inilah dilema dalam rantai dakwah, antara “senior-yunior”, “murabbi-mutharabbi”, pembina-adik binaan”. Di satu sisi dikatakan “ janganlah melihat siapa yang mengatakan tapi lihatlah apa yang dikatakan”. Namun di lain sisi, kita tak bisa menutup mata bahwa adik-adik kita selalu menatap kita ,tak jarang mereka menganggap kita ideal, Kita jadi sampel mereka. Oleh karenanya, patutlah kita hayati Firman Allah dalam Qur’an surah As-Shaff:3: “ Amat berat kebencian Allah atas apa yang kamu katakan tapi tidak kamu lakukan”. Jangan sampai kita yang melarang adik binaan kita, tapi kita sendiri yang melakukannya.
Belum lagi apabila banyak ketimpangan yang kita lihat dalam “payung” kita bernaung. Boleh jadi banyak saudara kita yang sedang khilaf dan kita yakin dia faham atas kekhilafan yang ia lakukan atau bahkan menurut kita dia sudah tahu / lebih tahu dari kita, namun tidak jua kunjung tersadar dari tidur khilafnya. Mestikah kita menarik diri, memilih untuk keluar atau bahkan mencari alternatif lain?. Seseorang pernah bertanya pada temannya
“apakah aku pengecut, kalu sekiranya aku tidak mau masuk kepengurusan lagi. Karena aku rasa tak bisa berbuat banyak.tak ada gunanya tinggal, jangan-jangan bukan kita yang mewarnai tapi kita yang terwarnai”.
Sang teman pun menjawab dengan bijak
“aku katakan tidak. Tapi menurutku termasuk orang yang rugi karena Allah telah memberi kita ladang dakwah, tapi kita mundur. Pertanyaanku: kalau kamu sayang kenapa tidak berkorban perasaan dan kalau bukan kita yang sadar, siapa lagi yang akan memperbaikinya walaupun kita juga butuh perbaikan diri. Apa cukup kita hanya melihatnya hancur tanpa ikut memperbaikinya! Apa kita akan masuk yang berguguran di jalan dakwah?”
Jawaban itu penuh dengan makna, mengena, seakan kita tertohok olehnya, membuat kita berfikir kembali. Yakinlah organisasi/ halaqah kita itu mengajarkan pada kebenaran selama Al-Quran dan As-Sunnah jadi pegangan. Apapun namanya. Yang mungkin terjadi adalah kitalah penggerak-penggerak, orang yang ada di dalamnya yang memutar haluan itu mengikuti kehendak kita, bukan kehendakorganisasi/halaqah kita.kitalah yang kadang berbuat dan memberikan pencitraan buruk. Sedang orang di sekitar kita akan selalu menggunakan bahasa Pars pro toto “sebagian untuk keseluruhan”.
Yang perlu diingat adalah memegang amanah sebagai aktifis berarti di belakang kita mengikut identitas organisasi kita. Jika kita berbuat maka bukan hanya diri kita yang terbawa-bawa, tapi juga organisasi yang kita geluti.
Merenungi ikatanku.