Langsung ke konten utama

pak kyai...

Kenyataannya tidak selamanya,setidak-tidaknya yang terjadi pada dirikusekali ini.

Cinta malah membuatku menjadi gusar, marah, sedih .. ah,
yang pahit-pahit, lah ! Segala sesuatu
yang seharusnya tampak berbunga-bunga,
kini malahan menjadi kelabu.

Ini terjadi semenjak aku mengenal seorang gadis teman SMA-ku dulu.
Orangnya sederhana saja. Hanya saja,
dari pengamatanku selama ini, aku
melihat ia memiliki keistimewaan dan
nilai lebih dibandingkan wanita lain
yang pernah kutemui. Wajahnya yang
teduh, cara berbicara yang lembut dan
berwibawa, serta kepribadiannya yang
menawan membuat aku terpana. Aku benar-
benar mengaguminya dan kurasa aku
telah jatuh cinta padanya.

Pernah sekali kucoba untuk berbicara
serius dengan wanita idamanku itu.
Tapi, setiap kali aku ingin menyusun
kata-kata, di situ pula pikiranku
menjadi buntu. Dan tampaknya ia
memahami kesulitanku tadi. Akh ...
entahlah, aku tak tahu apa yang harus
kuperbuat.

Terkadang kucoba untuk melupakannya,
namun semakin kucoba melupakannya aku
malah semakin mengingatnya.

Sebenarnya bukan jatuh cinta yang
membuatku jadi begitu. Sudah
berulangkali aku mengalaminya dan tak
satu pun yang membuatku gelisah. Tapi
semuanya disebabkan oleh prinsip-
prinsip yang selama ini aku pegang.
Cinta tak selamanya harus memiliki.
Cinta itu memberi tanpa harap
menerima. Cinta itu hanya dapat
dirasakan dan tak dapat dinyatakan.
Semua itu adalah sebagian prinsip yang
selama ini aku tegakkan setiap kali
orang frustasi bertanya kepadakutentang cinta.

Tapi, ketika aku frustasi kini, tak
satupun prinsip-prinsip itu dapat aku
terima untuk mengobati hatiku yang
malang ini. Aku ingin menyatakancintaku.
Aku ingin memilihnya sebagai orang
yang selalu mendampingiku di setiap suka dan duka.

"Pacaran itu dosa, lho!" ujar seorang teman yang kupercayai kredibilitas keagamaannya. Ucapan itu membuatku semakin gundah. Di satu sisi aku ingin
memprotesnya, tapi di sisi lain aku
sangat cinta kepada Islam yang selama
ini aku perjuangkan, "Bukankah Allah-lah yang sepatutnya kita cintai ?"

ujar temanku itu mengulangi perkataan
yang dulu pernah aku lontarkan di
setiap diskusi tentang iman.

Itumembuatku malu pada diriku sendiri danbenci pada cinta ini.

Tak ada pilihan lain. Aku harus
menemui Pak Kiai untuk menemukan
jawaban yang tak kunjung kudapat.
Masalah ini tak boleh dibiarkanberlarut-larut.

Kulangkahkan kakiku melintasi jalan
setapak yang telah dua tahun tak
pernah kuinjak. Sunyinya jalan itu
membuat aku terus memikirkan yang
telah terjadi. Setiap belokan
membuatku mendesah seraya menyesali
diri. Tak adakah hal lain yang dapat
kupikirkan selain cinta dan cinta ?

Sebenarnya aku sangat ngeri meminta
nasihat dari Pak Kiai yang setiap
perkataannya selalu membuat telingaku memerah.

Kata-katanya tak pernah lembut, seringkali kasar dan tidak sopan.

Tak peduli apakah yang datang kepadanya seorang pejabat, bandit,
atau orang yang sedang susah.

Ia selalu memuntahkan kata-kata dengan intonasi, kosakata, volume suara, dan
koefisien kekasaran yang tak berbeda.
Baginya semua manusia sama.

Dia pun tak sungkan untuk diprotes meski oleh
orang bergelimang dosa sekalipun.
Mungkin hal itulah yang menyebabkan
aku selalu menaruh kepercayaan yang
besar akan keikhlasannya membimbing
umat. Apalagi setiap kali aku
berbicara kepadanya, selalu ada saja
hal-hal baru yang dapat aku bawa pulang.

"Mau apa kau ke sini ?" tanya Pak Kiai
memulai kebiasaanya: kasar.

"Aku sedang jatuh cinta, Pak Kiai!"
jawabku langsung ke pokok permasalahan
sebab aku tahu Pak Kiai tak suka basa-basi.

"Baguslah kalau begitu. Itu tandanyakau masih manusia."

"Tapi, Pak Kiai, aku jatuh cinta padaseorang wanita.

Bagaimana itu Pak? Apa yang haruskulakukan?"

"Bayangkanlah kalau kau jatuh cintapada seorang pria.

Kenapa kau merasa gelisah sekalidengan mencintai seorang wanita?
Apakah ia wanita yang nggak beres?"

"Oh, tidak! Dia wanita baik-baik.Baiiik sekali. Dia menjalankan
agamanya dengan sepenuh hati.

Dia cukup membatasi pergaulannya dengan setiap lelaki.

Yah, itulah yangmungkin menjadi masalah padaku. Coba
kalau dia itu wanita yang nggak beres,
tentu masalahnya tak serumit ini."

"Kau bodoh. Seharusnya kau bahagia mencintai wanita seperti itu.

Cobabayangkan kalau kau mencintai wanita slebor.

Hatimu akan terus sibukmemikirkan setiap tingkah lakunya.

Kau akan merasakan cemburu, sakit hati,
membenci, dendam, bisa-bisa kau gila.
Pikiranmu akan terus tersita dengan
wanita seperti itu. Kapan lagi kau mau
ingat Allah? Bukankah mencintai wanita
yang sholeh membuatmu sadar untuk
bertindak seperti orang yang kau cintai?"

"Benar, Pak! Lalu, apakah aku boleh
berpacaran dengannya? Aku merasa tidak
puas hanya dengan berteman dengannya.
Perlu Pak Kiai ketahui bahwa banyak
orang mengatakan bahwa pacaran itu
haram karena dengan pacaran hati kita
akan sibuk mengingat kekasih kita
sehingga kita lalai dari mengingat
Allah. Bagaimana pula kalau dengan
pacaran malah mebuat kita semakiningat dengan Allah?"

Pak Kiai diam sejenak. Dahinya yang
hitam mengkerut seolah memikirkan
sesuatu yang sangat berat. Matanya
sesekali memandang ke arahku dengantajam.

"Maaf Nak! Aku sudah tua. Banyak
sekali hal-hal yang sudah aku lupakan.
Tolong kau jelaskan kepadaku apa yang
kau maksud dengan pacaran. Setahuku,
kata itu belum pernah aku jumpai di
kitab fikih manapun sehingga dapat
ditentukan halal haramnya. Sudah
kuingat-ingat pula segala ilmu
tasawuf, juga kata itu tak kutemukan
di sana. Berikanlah gambaran kepadaku
tentang pacaran agar aku dapat
menentukan hukumnya!"

"Begini, Pak! Pacaran itu diawali
dengan suatu perjanjian untuk saling
mengenal satu sama lainnya, terus dari
kenalan tadi diharapkan masing-masing
pihak dapat saling memahami
pasangannya, terus ...", tiba-tiba
saja aku merasa buntu. Aku coba
mencari penjelasan yang tepat tentang
pacaran, tapi aku tak tahu. Ternyata,
pacaran yang selama ini aku inginkan
tak pernah kutahu apa maknanya.

Melihat yang ditanya kebingungan, Pak
Kiai coba membantu, "Apa saja yang
dilakukan orang ketika pacaran?"

"Banyak, Pak! Ada yang ngobrol-ngobrol
kadang tak tentu arah, sering-sering
menelpon pacarnya, ada yang suka pergi
berdua-duaan dan ... yah begitulah.
Pak Kiai saya kira juga tahu. Tapi,
tunggu dulu Pak Kiai, yang akan
kulakukan bukan seperti itu. Aku akan
membicarakan dengannya masalah agama,
saling menjaga diri dengan saling
mengingatkan bila berbuat khilaf,
pokoknya yang Islami-lah Pak," sahutku.

"Ooh, begitu. Lalu apa bedanya dengan
berteman? Kau kira kau tidak punya
kewajiban seperti itu terhadap seorang
teman? Kau kira kepada teman kau boleh
berlaku tak Islami?"

"Coba aku tanyakan kepadamu, apakah
kekuatan perjanjian itu sehingga tak
dapat memisahkan pemilikan satu dengan
lainnya? Apakah kau mengatasnamakan
Allah dalam perjanjian tadi? Mengapa
tak sekalian nikah saja? Khan dengan
nikah kau bahkan lebih leluasa lagi.

Tak seorang laki-laki pun berhak
memiliki seorang wanita tanpa melalui
nikah. Bahkan ayahnya sendiri yang
membesarkan dan memberi makan serta
pendidikan kepadanya. Sampai-sampai si
ayah pun tak berhak memaksa anak
wanitanya menikahi pria yang bukan
pilihan sang anak. Itulah yang
Islami!" ucap Pak Kiai dengan cepat
bagai rentetan peluru.

"Lalu apa yang sudah kau berikan
padanya sampai-sampai kau ingin
memilikinya? Lebih baik kau tunjukkan
rasa cintamu dengan tanggung jawab
sebagai seorang sahabat yang Islami.
Biarkan cinta bersemi dalam hatimu
karena itu anugerah Allah yang harus
kau syukuri, bukan ingkari. Cinta itu
amanat Allah, maka jangan kau
khianati. Pacaran yang kau maksud
sebenarnya hanya kata tanpa makna yang
akan menjerumuskan orang pada
penghalalan zina dalam dirinya. Kau
mungkin sakit hati mendengar
perkataanku ini, tapi apa artinya
menyenangkan hatimu kalau yang
kusampaikan itu akan menjerumuskanmudan membuatmu menyesal kelak."

Aku terdiam tak tahu harus berkata
apa. Kurasakan lidahku kelu untuk mengucapkan sesuatu.

"Sudahlah, kalau kau ingin pacaranjuga, silakan saja, aku tak berhak
memaksa. Aku hanya ingin kau berpikiran dewasa dan tidak
menghabiskan waktumu untuk sesuatu
yang kau sendiri tak tahu manfaatnya."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap