Tiap hari, hidup ini makin keras. tak sedikitpun punya rasa empati dan kasihan pada jiwa-jiwa yang telah lelah melalui hari dengan penuh perjuangan. karena tak semua bisa merasakan hari itu indah. betapa tidak, tiap hari harus berkutat dengan tagihan hidup dan mesti memperjuangkan diri tuk terus hidup.
Di persimpangan jalan, sudah tak asing lagi wajah-wajah mereka. mungkin mentari pun sudah mngenal mereka, dengan terik sinarnya sama sekali tidak membuat mereka tergubris untuk pergi. semua karena hidup. tiap mobil yang singgah di bawah lampu merah itu, menjadi satu harapan tuk mendapatkan sereceh atau selembar uang. walaupun dengan suara yang pas-pasan tetap saja berburu waktu, berharap setiap yang singgah memberikan sedikit rezekinya. apakah mereka sekolah? atau kerasnya hidup telah membuat mereka alfa dari tuntutan pendidikan?. argh... anak seusia mereka selayaknya tidak berada di situ, mereka harusnya berada di rumah, belajar, berpikir untuk masa depan diri mereka, keluarga mereka dan bangsa ini. lalu siapa yang salah? apakah hidup ini betul-betul tak memberi ruang sedikitpun untuk mengenyam indahnya pendidikan?
Kali lain, di tengah teriakan perut yang mengiris-iris. langkah-langkah kami lincah menyusuri gedung kampus, berharap segera sampai ke lantai bawah dan bisa menikmati semangkok bakso. Beginilah jika lapar sudah mengadu.
Menikmati semangkok bakso di parkiran, rasanya begitu sedap, berburu bersama rasa lapar yang membahana. nampak di depan kami, seorang nenek dengan tubuh yang kurus, legam dimakan terik mentari begitu santainya memungut botol dan gelas aqua sisa minuman orang-orang di kampus ini. botol demi botol ia dapatkan dan ia masukkan ke dalam karung yang ia bawah. terbesit rasa iba melihatnya. "inilah kerasnya hidup". dia pun tetap saja memungut botol-botol itu, sejenak kami beradu pandang dan kuberikan senyum kepadanya. entah mengapa aku kembali mengingat ibuku di kampung. bagaimana perasaanku jika yang ada di depanku saat ini adalah ibuku???. masa tua yang mestinya iya nikmati dengan lebih banyak istirahat, harus ia gadaikan dengan keluar rumah mengadu nasib dengan seperti ini. huuuuwwaaah....... ingat pada ibu........ rindu pada ibu.............
Aku melihat diriku yang begitu santainya duduk menikmati semangkok bakso, sedang nenek itu memunguti bekas minuman orang, mungkin letih sudah tidak ia kenali, karena hidup begitu sadis untuk dimengerti, bahkan entah saat ini ia sudah makan atau belum. rasanya teriris melihatnya. kupanggil ia dan kutawarkan semangkok bakso, alhamdulillah ia menerima dan aku pun memesankan semangkok bakso padanya. ku tawarkan tempat duduk di dekatku sekalian aku ingin belajar hidup darinya. sekilas kulihat ia begitu lahap makan, walau masih terasa panas, namun mungkin rasa lapar mengalahkan semuanya. sambil makan aku pun mulai bertanya pada dia. Ternyata tiap hari ia melakukan pekerjaan itu, setiap jam 8 pagi ia sudah keluar dari rumah menelusuri jalan dan gedung hanya untuk menemukan botol bekas minuman orang, mengumpulkannya dan membawanya pulang ketika sore telah menyapa sekitar jam 5 dan semua itu ia lakukan dengan jalan kaki. jarak dari rumahnya ke kampus ini saja entah sudah berapa kilo, tapi ia tempuh dengan berjalan kaki, sendirian, setiap hari.
Oh.. hidup... rasanya bakso ini serasa pahit masuk ke mulut mendengar kisahnya. bukan hanya itu, ia tiap harinya hanya mendapat upah seberapa pun yang bisa ia dapatkan terkdang 10 ribu, 20 ribu. dengan perjuangan sekeras itu, hanya mendapatkan hasil sebesar itu. semuanya juga bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk cucu-cucunya. katanya anaknya ada beberapa orang, tapi tak satupun yang tinggal dengannya. mereka sudah berpencar bersama keluarga mereka, namun diantara anak-anaknya ada yang menitipkan anak mereka pada ibunya (nenek tersebut, red). Ya Rabb... sudah tidak tinggal bersama anaknya, tidak dirawat oleh anaknya, memberkan beban lagi padanya untuk merawat dan membiayai cucunya... mending jika anaknya itu memberikan uang saku untuk kehidupannya, jika tidak??
Oh.. hidup... rasanya bakso ini serasa pahit masuk ke mulut mendengar kisahnya. bukan hanya itu, ia tiap harinya hanya mendapat upah seberapa pun yang bisa ia dapatkan terkdang 10 ribu, 20 ribu. dengan perjuangan sekeras itu, hanya mendapatkan hasil sebesar itu. semuanya juga bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk cucu-cucunya. katanya anaknya ada beberapa orang, tapi tak satupun yang tinggal dengannya. mereka sudah berpencar bersama keluarga mereka, namun diantara anak-anaknya ada yang menitipkan anak mereka pada ibunya (nenek tersebut, red). Ya Rabb... sudah tidak tinggal bersama anaknya, tidak dirawat oleh anaknya, memberkan beban lagi padanya untuk merawat dan membiayai cucunya... mending jika anaknya itu memberikan uang saku untuk kehidupannya, jika tidak??
Sedih rasanya mendengar kisahnya. kisah seorang ibu, yang sekaligus seorang nenek yang begitu kuat menghadapu kerasnya hidup. namun, tak tampak sedikitpun rasa lelah di wajahnya. senyum tetap saja tersungging. ahhh........... malu rasanya pada diriku sendiri. aku masih saja mengeluh dengan hidup yang kujalani, masih saja merasa terbebani dengan apa yang kulakukan. Rabb.... hari ini aku belajar akan hidup, belajar bersyukur, belajar berbagi. dan juga kali ini aku belajar untuk terus bersyukur atas apa yang aku miliki, bersyukur atas kasih sayang orang tua-ku, dan lebih utama yaitu bersyukur kepada-MU ya Rabb...
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar