Langsung ke konten utama

Alone in Idul Adha 1433 H

Jum'at 26 Oktober 2012 menjadi hari yang begitu menyenangkan bagi ummat muslim di belahan bumi manapun. Kali ini, kembali bulan Dzulhijjah menyapa, bulan dimana ummat islam berbondong-bondong menunaikan haji dan berqurban bagi yang telah mampu melaksanakannya. 10 Dzulhijjah menyapa, jutaan wajah berseri, bertakbir menyeru keagungan dan ke-Esa-an Allah. 

Allahu akbar.. Allahu Akbar... Allahu Akbar.. Laa Ilaha Illallah huwallahu Akbar.. Allahu Akbar Walillahil Hamd.... 

Deru suara takbir memecah kesunyian malam. Tubuh-tubuh yang lelap terbangun dan bersegera menyambut seruan kemenangan. Sepi pun berganti dengan riuh manusia yang mulai beraktivitas, berkemas untuk berkumpul mengagungkan Asma Allah. Alangkah syahdunya suara takbir memecah keheningan subuh. kali ini, bukan hanya satu hari raya yang diperoleh oleh ummat islam, tetapi selain hari raya Idul Adha, hari ini pun merupakan hari raya rutin tiap pekan bagi ummat islam. Yah,.. 10 Dzulhijjah kali ini bertepatan dengan hari Jum'at, artinya kemenangan, kebahagiaan yang dirasakan oleh ummat islam pun berlipat ganda. Allahu Akbar.....

Sejuta Syukurku ya Rabb, Engkau telah memperkenankan kepadaku untuk menghirup udara di hari ini. hari yang selalu di nanti oleh jutaan ummat islam. Aku sangat bersyukur, karena nikmat kesehatan dan kesempatan masih diberikan kepadaku. Alhamdulillah... Aku teringat sepupuku yang sepekan yang lalu meninggal. Qadarullah, ia sudah tidak bisa menikmati indahnya hari kemenangan ini. Laa haula wala Quwwata Illah Billah...Rabb, segala kekuatan hanyalah milik-Mu, sungguh kami sangatlah lemah dan tak punya daya sedikitpun untuk menolak ketetapan-Mu. Yaa Muqallibak Quluub tsabbit Qalbi 'aladdinik wa 'ala Tha'Atik. Wahai yang membolak-balik hati manusia tetapkanlah hati ini dalam agama dan ketaatan kepadamu…. semoga sampai hayatku, aku tetap berada dalam ketaatan kepada-Mu.

Rabb,.. sejuta syukurku belumlah seberapa dibandingkan dengan nikmat yang Engkau berikan kepadaku. Walaupun mungkin terkadang aku lalai mensyukurinya, dan mungkin pula terkadang aku mengeluh dengan apa yang aku peroleh. Senyum bahagia kuukir di wajahku menyambut pagi-Mu kali ini. Dengan langkah bahagia, bersama sebuah langkah dari seorang temanku yang menemani kesendirianku di tanah rantau ini. Langkah kami menuju mesjid kecil yang tidak jauh dari tempat tinggalku, dari jarak beberapa meter telah tampak bahwa di sana ratusan orang telah berkumpul, bahkan ada yang berdiri, entah mereka tidak mendapatkan tempat atau karena masih mau saling bersapa dengan yang lainnya. Langkah kami semakin cepat, mungkin dalam benak kami ada pertanyaan yang sama "bilakah kami mendapatkan tempat untuk shalat?". Alhamdulillah, akhirnya kami mendapatkan tempat juga. Di pinggir barisan tetapi tak apa, tempat itu masih buat bagi kami (maklum kurus masih setia menemani he..he..).

Hikmah idul Adha sebenarnya sangat menarik jika dicerna dan diperhatikan. Sayangnya di sekelilingku yang kulihat adalah lebih banyak manusia yang sibuk dengan topik mereka sendiri. Di mimbar ceramah, mereka pun di bawah ceramah. Dari kesemunaya, yang bisa aku garis bawahi adalah momentum idul adha, bukanlah sekedar hari raya biasa yang dijadikan rutinitas, tetapi historis yang menjadi awal diperintahkannya manusia untuk berqurban memberikan pelajaran berharga bagi kita bahwa tidak ada yang boleh menyaingi, menghalangi kita untuk memberikan persembahan terbaik kepada Allah. Secinta apapun kita kepada harta, jabatan, keluarga tetapi semua bukanlah penghalang untuk memberikan sesembahan terbaik kepada Allah. Ingatlah kisah nabi Ibrahim dan ismail. Betapa pun nabi Ibrahim menyayangi anaknya, ia tidak terhalangi untuk melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Sehingga keikhlasan dan wujud penyembahan seutuhnya nabi Ibrahim dibayar oleh Allah dengan mengganti anaknya (Nabi Ismail) dengan seekor domba yang besar sebagai qurban. Allahu Akbar... Olehnya itu, kita mestinya sadar bahwa segala yang kita punyai di dunia ini adalah kecil, tidaklah seberapa dengan apa yang dimiliki oleh Allah. Patutlah kiranya jika kita bersyukur dan banyak beribadah kepada-Nya. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Allahu Akbar.. Walillahil Hamd...

Seperti rutinitas biasanya, kalau tidak pulkam maka sehabis shalat yang dilakukan terlebih dahulu yaitu menelpon ke kampung halaman, menyapa sanak keluarga dan meminta maaf dan bersilaturrahim. Ku harap kali ini tak ada bulir bening berjatuhan di pipiku. Aku tidak ingin orang tuaku tahu akan kesedihanku. Aku ingin tampak tegar, walaupun sebenarnya jauh di dasar sana, aku ingin menangis. menangis karena Allah memberiku kesempatan umur tetapi tidak kugunakan untuk pulang menjumpai kedua orang tuaku :'-(. 

Sekuat apa aku menahannya, tetapi tetap saja tumpah. Namun, aku harus berusaha supaya tidak tampak bahwa aku begitu sedih. Kesedihanku kali ini bukan saat aku ngobrol dengan ibu, tetapi ketika ngobrol dengan ayah. Dialah ayahku, sosok yang sejak kecil kusaluti ketegasannya. Seorang guru yang idealis mempertahankan apa yang dianggapnya benar, walaupun harus berhadapan dengan pimpinan. tak pernah memilah-milih siswanya. Nilai yang dikeluarkan adalah hal yang sangat objektif. Kini ia tidak setegar yang dulu, tidak sekuat yang dulu. usia telah memakan kekuatan dan ketegasan itu. Kini ia telah tua, seua rambutnya telah memutih, tubuhnya kurus, tetapi diusianya yang sudah senja tetap saja ia beraktivitas, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Ayah... wajahmu kembali terbayang...

Di ujung sana ku dengar suaramu yang pelan. Gaya bahasa yang khas, tetap menggunakan bahasa EYD walaupun ngobrol dengan anak sendiri. Maklum, sosok guru bahasa Indonesia yang dulu banyak dikagumi. Kutanyakan kabarmu, engkau hanya berkata bahwa sehat-sehat saja. Kutanyakan apakah masih mempunyai obat? engkau pun menjawab "kebetulan" masih ada. Ingin rasanya aku menangis keras mendengar jawaban itu. Serasa aku tidak bermanfaat menjadi anak. Dimana aku saat ayahku membutuhkan perawatan? Saat ia kehabisan obat? siapa yang merwatnya? siapa yang menjaganya? siapa di sampingnya? :'-(. Ayah.. maafkan aku yang masih tetap di sini mengejar mimpi.. 

Beberapa menit kemudian engkau memanggil namaku, sepertinya hendak mengatakan sesuatu kepadaku. Sejurus kudengar engkau berkata:
"nak, kalau bisa saya punya permintaan"
"iya, apakah itu?" jawabku
"belikan ayah madu. tetapi "kalau bisa"... "

Rasanya aku sudah tidak bisa berkata-kata. Kata demi kata seakan menohokku. Mungkin kata-kata itu simpel dan singkat, tetapi bagiku seakan menudingku. kemana aku selama ini?. Hanya untuk meminta sebotol madu asli saja, ayah meminta kepadaku dengan kata "kalau bisa". :'-( :'-(. Dengan terbata kuiyakan dengan air mata yang makin deras mengalir. Ayah.. tanpa engkau hilangpun aku akan berusaha memberimu semampuku, apalagi hanya sebotol madu. Sungguh sangat keterlaluan jika aku tidak bisa memenuhinya. Ayah.. jangankan sebotol, sekardus pun akan aku berikan. aku akan usahakan.. semampuku.. seperti usahamu ketika aku kecil.. tak pernah lelah engkau berusaha menghidupiku sampai sebesar ini, sampai aku bisa berusaha sendiri.. dan aku juga sadar. seberapa banyak yang kuberikan kepadamu, belumlah cukup dan sebanding dengan semua pengorbananmu selama ini. Segunung kesedihan dan sesal seakan menghimpitku, menodongku..hei... dimanakah engkau selama ini? tidak peka-kah engkau bahwa sekarang ayahmu-lah yang membutuhkanmu, sekarang giliranmu untuk berbakti kepadanya. mana baktimu.....???


Aku sudah tidak bisa berkata banyak untuk meneruskan ngobrol, ingin rasanya memeluk ayah dan ibu-ku bergantian dan kuucapkan terima kasih yang tak berhingga padanya. Sesal kembali hadir.. penyesalan karena aku masih saja belum bisa berbuat banyak untuk keduanya. Aku belum bisa merawatnya, berada di sisinya, menjaganya. karena aku masih saja di sini, mengejar impian. Ayah.. Ibu.. Do'akan aku bisa meraih asaku, karena di balik asa ini, terselip sebuah harapan besar untukmu. Harapan yang senantiasa kupanjatkan kepada Allah Azza wa Jalla. Harapan itu terus kurajut, dan berharap Allah bisa mengabulkannya, menjadikan sebuah kenyataan agar kelak aku bisa melukis senyum di wajahmu. Senyum yang indah seperti harapanmu.. Senyum seindah pelangi. Insya Allah.. 'aamin ya Rabbal 'alamin....

Makassar, 10 Dzulhijjah 1433 H. 
Dalam keheningan malam, sendiri di sudut kamar mungilku. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap