Hari ini belajar tentang arti keikhlasan. Ketika kerja tidak
dihargai dan keberadaan pun seakan tidak dihargai. Yang bisa dilakukan hanyalah
berbuat apa yang bisa dilakukan, demi sebuah amanah. Kuhargai sebuah
kolektifitas, sebuah kebersamaan, tetapi ketika semua harus diciderai oleh
ketidakpercayaan, ketidakjujuran, maka apalah arti semua itu?. Mungkin tak
terlihat ada power, dan juga sama sekali tidak merasa punya power seperti yang
lainnya, hanya butuh penghargaan saja. Apa susahnya? Apakah keterlibatan hanya
ada ketika dibutuhkan?
Bukan orang hebat. Bukan sosok yang tangguh. Tapi masih
punya nurani untuk dihargai. Tapi, tenang... tak akan muncul riak itu. Biarkan
tenang di dasar, hingga ikan-ikan tertidur akan buaiannya. Selalu ada senyum,
ada bahagia yang terpancar. Walau hati juga punya tak bisa dibihongi, tapi
untuk sebuah hal yang kalian inginkan, biarlah hati membohongi diri sendiri.
Senyum itu indah di mata kalian. Sangat.. sangat indah.... tak usah
khawatir....
Hingga pada masa akhirnya kisah mengalir tanpa diundang.
Telinga pun mendengar dengan seksama, bibir ikut memberi komentar dan support,
tak lupa kata-kata dukungan jadi bumbu penyedap. Dan lagi, tak ada riak...
meski antara kalian “ternyata” ada tirai, mengapa menguaknya baru kali ini. Dan
mengapa kepada si lugu. Apakah karena si lugu tak akan mengapa dengan
perasaannya?
Harus ikhlas.. dan benar-benar ikhlas. Meski harus sendiri
dalam keramaian dan berbuat tanpa dihargai.
Refleksi dari sebuah dialektika.
Makassar, 18 Nov 2012. 00.50 a.m
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar