Strategi Belajar Mengajar Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika PPs UNM Makassar
Oleh: Nurhidayah, S.Si, Ari Wibowo, S.Pd, Andi Indrah Hatta, S.Si, S.Pd, dan Marilyn Lasarus, S.Pd
Jurusan Pendidikan Matematika PPs UNM Makassar
Oleh: Nurhidayah, S.Si, Ari Wibowo, S.Pd, Andi Indrah Hatta, S.Si, S.Pd, dan Marilyn Lasarus, S.Pd
Pendidikan merupakan sarana bagi pengembangan kualitas sumber daya manusia di suatu negara. Melalui pendidikan, sebuah negara dapat meningkatkan kualitas hidup yang ada di negara tersebut. Menjadi negara yang kaya akan sumber daya alam bukanlah jaminan bahwa negara tersebut bisa bersaing dengan negara lain, dan bukan pula sebuah keniscayaan bahwa negara tersebut akan makmur dan berprestasi. Dunia telah melihat bahwa ada banyak negara yang sebenarnya jika dilihat dari sumber daya alam yang dimilikinya sudah tentu tidak akan bisa menjadi negara yang sangat maju, tetapi pada kenyataannya negara tersebut tampil di kancah internasional sebagai negara yang banyak memberikan pengaruh kepada negara lain. Pengaruh disini bukan hanya karena kekuatan politik tetapi lebih kepada kekuatan sumber daya manusia yang dimilikinya.
Kekuatan sumber daya yang dimiliki merupakan produk dari sebuah sistem pendidikan yang baik. Hal ini dikarenakan, melalui pendidikan sumber daya tersebut ditempa menjadi pribadi yang mampu menelaah teori yang ada bahkan membuat sebuah teori yang baru dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Berbicara mengenai pendidikan berarti berbicara tentang belajar. Tiap negara memiliki sistem pendidikan yang berbeda, dan dianggap inilah yang menjadi salah satu penyebab berbedanya kualitas pelajar dan hasil pembelajaran di suatu negara.
Indonesia yang selama ini dianggap sebagai negara berkembang, jika diukur dengan negara lain, maka posisinya jauh dari negara maju baik dari segi sumber daya manusia maupun dari kualitas pembelajaran. Keadaan SDM kita sangat tidak kompetitif. Menurut catatan Human Development Report Tahun 2003 versi UNDP, peringkat HDI (Human Development Index) atau kualitas Sumber Daya Manusia lndonesia berada jauh di bawah Filipina (85), Thailand (74), Malaysia (58), Brunei Darussalam (31), Korea Selatan (30), dan Singapura (28). Organisasi internasional yang lain juga menguatkan hal itu. lnternational Educational Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa SD lndonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang disurvei. Sementara itu, Third Mathematics and Science Study (TIMSS), lembaga yang mengukur hasil pendidikan di dunia, melaporkan bahwa kemampuan matematika siswa SMP kita berada di urutan ke-34 dari 38 negara, sedangkan kemampuan IPA berada di urutan ke-32 dari 38 negara. Sedangkan menurut hasil penelitian PISA (Programme for International Student Assesment), diantara 41 peserta indonesia berada pada peringkat ke-39 untuk literasi membaca dan matematika. Jadi, keadaan pendidikan kita memang memprihatinkan. Untuk itu, perlu dilakukan pembaruan dan pembenahan dalam dunia pendidikan.
Selama ini hasil pendidikan hanya tampak dari kemampuan siswa menghapal fakta-fakta. Walaupun banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka seringkali tidak memahami secara mendalam substansi materinya. Pertanyaannya, bagaimana pemahaman anak terhadap dasar kualitatif di mana fakta-fakta saling berkaitan dan kemampuannya untuk menggunakan pengetahuan tersebut dalam situasi baru? Hal itu disadari benar oleh pemerintah.
Menurut Sumarna (2004) dalam Wasis, 2006 bahwa kebanyakan peserta didik mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan pengetahuan dalam kehidupan nyata (real world). Hasil temuan lain juga dikatakan oleh Zamroni (2000) bahwa penyebab kesulitan ini dikarenakan adanya kecenderungan pembelajaran di kelas yang tidak berusaha mengaitkan konten pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Pernyataan senada juga disampaikan Conny Semiawan (2000) bahwa pembelajaran lebih banyak mengungkap fakta, pengetahuan, dan hukum, kemudian biasa dihafalkan, bukan mengaitkannya dengan pengalaman empiris dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, paradigma pembelajaran harus berpindah dari teacher center menuju student center, dari “guru dan apa yang akan diajarkan” ke arah “siswa dan apa yang akan dilakukan”. Dengan demikian pembelajaran menciptakan meaningful connections dengan kehidupan nyata. Pembelajaran harus memberikan kesempatan luas kepada siswa untuk beraktivitas, baik hands-on activities maupun mind-on activities.
Untuk menerapkan sistem pembelajaran yang menerapkan prinsip-prinsip tersebut diatas, salah satu pendekatan yang dapat digunakan yaitu pendekatan kontekstual. Apalagi dalam pembelajaran matematika. Sampai saat ini matematika masih dianggap menakutkan bagi siswa selain itu siswa terkadang bertanya apa aplikasi dari belajar matematika? Apa kegunaannya dalam kehidupan nyata? Bukankah yang digunakan hanyalah operasi dasar saja? Oleh karena itu, dalam pembelajaran di sekolah khususnya pembelajaran matematika perlu untuk dilakukan inovasi, perlu mengubah cara pendidik dalam mengajar dan mengubah paradigma siswa bahwa belajar adalah hal yang sangat bermakna bagi kehidupan sehari-hari dan kehidupan mendatang.
Latar belakang Filosofis dan Psikologis Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual dikembangkan pertama kali oleh John Dewey pada tahun 1916 yang mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan dengan pengalaman minat siswa, dan kemudian diteruskan oleh The Washington State Consortium for Contextual Teaching and Learning yang bergerak dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Pada saat itu kondisi dunia pendidikan di Amerika Serikat mengalami keterpurukan. Proses pembelajaran diselenggarakan dengan sistem tradisional, yang akibatnya menghasilkan out put yang tak mampu bersaing dengan negara lain. Pada saat itu CTL sebagai suatu cara untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan pada sistem pendidikan di Amerika.
Latar belakang filosofis pendekatan kontekstual dipengaruhi oleh filsafat konstruktivisme yang mulai digagas oleh Mark Baldwin dan diteruskan oleh JeanPiaget dengan teorinya perkembangan kognitif. Menurut tokoh konstruktivisme, hakikat pengetahuan peserta didik bukan hanya merupakan hasil pemberian dari seorang guru, akan tetapi pengetahuan mereka dikonstruk oleh setiap individu berdasarkan pengalaman hidup mereka sehari-hari.
Adapun latar belakang psikologis dari dikembangkannya pendekatan kontekstual yaitu berpijak pada aliran psikologi kognitif. Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan stimulus dan respon. Belajar melibatkan proses mental seperti emosi, minat, motivasi, pengalaman dan pengetahuan.
Pengertian Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual sebagai sebuah pendekatan yang kini banyak digunakan dalam proses pembelajaran, telah banyak didefenisikan oleh beberapa pakar diantaranya:
Menurut Berns dan Patricia dalam contextual teaching and learning: perparing students for the new economy (2001):
“contextual teaching and learning is a conception of teaching and learning that helps teachers relate subject matter content to real word situations, and motivates students to make connections between knowladge and its applications to their lives as family members, citizens, and workers and engage in the hard work that learning requires”
Jika diterjemahkan dalam bahasa indonesia yaitu “pendekatan kontekstual adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar”.
Sedangkan Menurut Johnson 2002 mendefenisikan pendekatan kontekstual (dalam repository.upi.edu/operator/s_a0651_0803558_chapter2), yaitu pendekatan kontekstual adalah suatu proses pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa melihat makna materi pelajaran yang sedang dipelajari dengan cara mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan pribadi, sosial, maupun budaya mereka sendiri.
The Washington State Consortium for Contextual teaching and learning (2001) mengartikan pembelajaran kontekstual sebagai pengajaran yang memungkinkan siswa memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam latar belakang sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata.
Pendekatan Kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (US Departement of Education, 2001) dalam http://blog.tp.unesa.ac.id/memahami-pembelajaran-kontekstual.
Berdasarkan beberapa defenisi pendekatan kontekstual di atas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep yang dilakukan dalam proses pembelajaran, dimana guru memediasi siswa untuk mengaitkan antara materi yang dipelajari sesuai dengan keadaan dunia nyata siswa secara holistik, agar siswa dapat termotivasi untuk mengetahui kaitan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Strategi Pembelajaran kontekstual
Center of Occupational Research and Development (CORD) menyampaikan lima strategi bagi pendidik dalam rangka penerapan pembelajaran kontekstual, yang disingkat dengan REACT, yaitu mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), menerapkan (applying), bekerjasama (cooperating) dan mentransfer (transferring).
- Relating (Menghubungkan). Relating adalah belajar dalam suatu konteks sebuah pengalaman hidup yang nyata atau awal sebelum pengetahuan itu diperoleh siswa. Guru menggunakan relating ketika mereka mencoba menghubungkan konsep baru dengan sesuatu yang telah diketahui oleh siswa,
- Experiencing (mencoba). Pada experiencing mungkin saja mereka tidak mempunyai pengalaman langsung berkenaan dengan konsep tersebut. Akan tetapi, pada bagian ini guru harus dapat memberikan kegiatan yang hands-on kepada siswa sehingga dari kegiatan yang dilakukan siswa tersebut siswa dapat membangun pengetahuannya,
- Applying (mengaplikasi). Strategi applying sebagai belajar dengan menerapkan konsep-konsep. Kenyataannya, siswa mengaplikasikan konsep-konsep ketika mereka berhubungan dengan aktivitas penyelesaian masalah yang hands-on dan proyek-proyek. Guru juga dapat memotivasi suatu kebutuhan untuk memahami konsep dengan memberikan latihan yang realistis dan relevan,
- Cooperating (bekerja sama). Bekerja sama-belajar dalam konteks saling berbagi, merespons, dan berkomunikasi dengan pelajar lainnya adalah strategi instruksional yang utama dalam pengajaran kontekstual. Pengalaman dalam bekerja sama tidak hanya menolong untuk mempelajari suatu bahan pelajaran, hal ini juga secara konsisten berkaitan dengan penitikberatan pada kehiupan nyata dalam pengajaran kontekstual,
- Transferring (proses transfer ilmu). Transfering adalah strategi mengajar yang kita definisikan sebagai menggunakan pengetahuan dalam sebuah konteks baru atau situasi baru suatu hal yang belum teratasi/diselesaikan dalam kelas. Peran guru membuat bermacam-macam pengalaman belajar dengan fokus pada pemahaman bukan hapalan.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar