Strategi Mengajar Belajar Matematika
Jurusan Pendidikan Matematika PPs UNM Makassar
Tujuan pendidikan matematika dalam PERMEN DIKNAS nomor 22 tahun 2006, yaitu siswa:
- Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
- Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh
Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah - Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Dengan melihat tujuan pendidikan matematika di atas kita dapat menyimpulkan betapa bermanfaat dan pentingnya matematika sebagai salah satu mata ajar di sekolah.
Namun matematika sebagai salah satu mata pelajaran dalam pendidikan dasar dan menengah di Indonesia. Sering dianggap salah satu pelajaran yang paling sulit dan sukar oleh siswa. Bahkan banyak siswa yang anti terhadap matematika sebelum ia mempelajarinya dengan baik. Banyak alasan bermunculan, ada yang malas mempelajari matematika karena beralasan materinya yang sulit. Ada juga yang beralasan karena guru yang mengajarkan matematika tidak mampu menyampaikan materi dengan baik bahkan sebagian diantaranya “killer” dalam mengajar. Bahkan kadang predikat guru “killer” melekat pada image sebahagian guru matematika. Alasan lain yang membuat kebanyakan siswa malas belajar matematika adalah munculnya pertanyaan-pertanyaan seperti “mau diapa ini Aljabar klo ditaumi konsepnya?”. Hal ini jelas berdasar ketidaktahuan mereka akan manfaat matematika.
Penjelasan akan manfaat manfaat matematika akan lebih berkesan jika mereka sendiri yang merasakan manfaatnya dan mengalaminya dalam kegiatan pembelajaran. Perkembangan teori pembelajaran menawarkan berbagai metode yang memungkinkan pembelajaran menarik bagi siswa. Tidak ada pendekatan yang paling baik dan tepat untuk belajar matematika, namun bukan berarti tidak ada pendekatan yang bias membuat matematika lebih menarik. Salah satu strategi yang bias digunakan untuk meningkatkan motivasi siswa dalam belajar matematika adalah dengan jalan mendekatkan matematika ke dunia siswa.
Berdasakan ulasan singkat di atas maka disusunlah makalah berikut yang akan mengulas seputar pembelajaran matematika dengan suatu pendekatan yang dikembangkan di negeri Belanda yaitu RME (Realistic Mathematics Education).
Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
Pendidikan Matematika Realistik (Realistic Mathematics Education) merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang muncul dan berkembang di Belanda dan dikenal di Indonesia dengan Pendekatan Matematika Realistik (RME). Perkembangan RME dimulai sekitar tahun 1970, fondasinya diletakkan oleh Freudenthal dan rekan-rekannya di IOWO (Instituut Ontwikkeling Wiskundeonderwijs/ Institute for Development of Mathematics education) cikal bakal dari FI (Freudenthal Institute). Bentuk dari RME sebagian besar ditentukan oleh pandangan Freudenthal (1977) tentang matematika (Van den Heuvel-Panhuizen, 2001a).
Hans Freudenthal (dalam Wijaya, 2012) menyatakan “Mathematics is human activity”. Pernyataannya tersebut menggambarkan pandangannya tentang matematika yang banyak menentukan bentuk dari RME. Dalam pernyataan tersebut, Freudenthal memandang matematika sebagai suatu bentuk kegiatan mengkonstruksi pengetahuan akan konsep-konsep matematika dan bukanlah sekedar suatu produk jadi. Dia merasa matematika harus dihubungkan dengan kenyataan, tetap dekat dengan pengalaman anak dan relevan dengan masyarakat serta nilai-nilai kemanusiaan. Freudenthal (dalam Van den Heuvel-Panhuizen, 2001a) mengatakan pelajaran matematika harus memberikan siswa ‘panduan’ kesempatan untuk 'menemukan kembali’ matematika dengan melakukan hal itu. Ini berarti bahwa dalam pendidikan matematika, titik fokus tidak harus pada matematika sebagai sistem tertutup tetapi pada kegiatan, pada proses matematisasinya.
Van den Heuvel-Panhuizen (2001b) mengatakan bahwa “Realistic” berasal dari bahasa Belanda “zich REALISEren” yang berarti “to imagine”. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia berarti “untuk dibayangkan”. Sehingga “realistic” bukan hanya koneksi dengan dunia nyata, tetapi terkait dengan penekanan bahwa RME menempatkan pada penawaran situasi masalah siswa yang dapat mereka bayangkan. Namun tidak jarang kita temui pemahaman tentang RME yang tertutup pada masalah-masalah yang ada di dunia nyata (real world problem). Wijaya (2012) mengatakan bahwa suatu masalah realistik tidak harus selalu berupa masalah yang ada di dunia nyata (real world problem) dan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari siswa. Sehingga dapat kita menarik simpulan bahwa suatu dikatakan masalah “realistik" jika masalah tersebut dapat dibayangkan (imaginable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa. Dunia fantasi dongeng dan bahkan dunia formal matematika bisa menjadi konteks yang sangat cocok untuk masalah, asalkan mereka nyata dalam pikiran siswa, bahkan masalah dunia nyata dapat tidak realistik jika hal itu tidak nyata dalam pikiran siswa.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita buat kesimpulan bahwa pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (Realistic Mathematics Education) merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika dimana siswa diarahkan dalam suatu interaksi sosial mengkonstruksi pengetahuan akan konsep-konsep matematika melalui konteks realistik berupa masalah yang ada di dunia nyata (real world problem) yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari siswa maupun masalah dalam dunia fantasi dongeng bahkan dalam dunia formal matematika dimana dapat dibayangkan (imaginable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa.
Pendidikan Matematika Realistik (Realistic Mathematics Education) merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang muncul dan berkembang di Belanda dan dikenal di Indonesia dengan Pendekatan Matematika Realistik (RME). Perkembangan RME dimulai sekitar tahun 1970, fondasinya diletakkan oleh Freudenthal dan rekan-rekannya di IOWO (Instituut Ontwikkeling Wiskundeonderwijs/ Institute for Development of Mathematics education) cikal bakal dari FI (Freudenthal Institute). Bentuk dari RME sebagian besar ditentukan oleh pandangan Freudenthal (1977) tentang matematika (Van den Heuvel-Panhuizen, 2001a).
Hans Freudenthal (dalam Wijaya, 2012) menyatakan “Mathematics is human activity”. Pernyataannya tersebut menggambarkan pandangannya tentang matematika yang banyak menentukan bentuk dari RME. Dalam pernyataan tersebut, Freudenthal memandang matematika sebagai suatu bentuk kegiatan mengkonstruksi pengetahuan akan konsep-konsep matematika dan bukanlah sekedar suatu produk jadi. Dia merasa matematika harus dihubungkan dengan kenyataan, tetap dekat dengan pengalaman anak dan relevan dengan masyarakat serta nilai-nilai kemanusiaan. Freudenthal (dalam Van den Heuvel-Panhuizen, 2001a) mengatakan pelajaran matematika harus memberikan siswa ‘panduan’ kesempatan untuk 'menemukan kembali’ matematika dengan melakukan hal itu. Ini berarti bahwa dalam pendidikan matematika, titik fokus tidak harus pada matematika sebagai sistem tertutup tetapi pada kegiatan, pada proses matematisasinya.
Van den Heuvel-Panhuizen (2001b) mengatakan bahwa “Realistic” berasal dari bahasa Belanda “zich REALISEren” yang berarti “to imagine”. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia berarti “untuk dibayangkan”. Sehingga “realistic” bukan hanya koneksi dengan dunia nyata, tetapi terkait dengan penekanan bahwa RME menempatkan pada penawaran situasi masalah siswa yang dapat mereka bayangkan. Namun tidak jarang kita temui pemahaman tentang RME yang tertutup pada masalah-masalah yang ada di dunia nyata (real world problem). Wijaya (2012) mengatakan bahwa suatu masalah realistik tidak harus selalu berupa masalah yang ada di dunia nyata (real world problem) dan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari siswa. Sehingga dapat kita menarik simpulan bahwa suatu dikatakan masalah “realistik" jika masalah tersebut dapat dibayangkan (imaginable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa. Dunia fantasi dongeng dan bahkan dunia formal matematika bisa menjadi konteks yang sangat cocok untuk masalah, asalkan mereka nyata dalam pikiran siswa, bahkan masalah dunia nyata dapat tidak realistik jika hal itu tidak nyata dalam pikiran siswa.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita buat kesimpulan bahwa pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (Realistic Mathematics Education) merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika dimana siswa diarahkan dalam suatu interaksi sosial mengkonstruksi pengetahuan akan konsep-konsep matematika melalui konteks realistik berupa masalah yang ada di dunia nyata (real world problem) yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari siswa maupun masalah dalam dunia fantasi dongeng bahkan dalam dunia formal matematika dimana dapat dibayangkan (imaginable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa.
Download file presentasi di sini
Sepertinya tantangan utamanya memang itu ya:
BalasHapusbagaimana mengubah matematika dari pelajaran yang berkonotasi 'killer' menjadi pelajaran yang membuat siswa 'ngiler'. :D
iye, itu hal penting.. krn menjadikan matematika dipahami, terkdang dan sering mesti diawali dengan disukai :-)
BalasHapus