Ada apa dipikiran anda membaca
judul di atas? Jangan salah sangka dulu... ini bukan tentang wanita malam
dengan bayarannya. Tetapi ini tentang wanita-wanita di suatu tempat. Dimanakah
ia? Dimana lagi kalau bukan di sulawesi.
Bukan rahasia lagi mengenai adat
dan kebiasaan orang sulawesi, apalagi menyangkut pernikahan. Orang dari daerah
lain sudah mensetting dipikirannya bahwa wanita sulawesi itu MAHAL!!!. Makanya, jangan dekat dengan mereka,
jangan coba-coba tertarik pada mereka. Hufft.... memang telah mengakar
adat tentang pernikahan di sulawesi. Adat yang mengharuskan pihak lelaki yang
akan meminang untuk mempersiapkan “uang Panaik” istilahnya. Uang ini digunakan
oleh pihak wanita dalam menyelenggrakan pesta pernikahannya, bukan uang mahar
dan berbeda dengan maharnya.
Tidak ada aturan khusus mengenai
berapa banyak uang panaik tersebut, biasanya jumlahnya tergantung dari hasil
perundingan kedua belah pihak pada saat proses pelamaran. Biasanya tolak ukur
besarnya uang panaik tersebut adalah status sosialnya atau status
pendidikannya. Akan berbeda untuk orang dengan darah bangsawan dengan yang
biasa saja, begitu pula dengan status pendidikan yang tinggi. Apalagi jika
keduanya dimiliki oleh si wanita, keturunan bangsawan ditambah pendidikan yang
tinggi. Tetapi mestikah seperti itu? Haruskah mengikuti adat kebiasaan
tersebut? Salahkah jika mengingkarinya? Mestikah menunggu mapan barulah boleh
meminang wanita sulawesi? Aduhai... betapa rumit sebuah kebiasaan.
Walaupun telah menjadi kebiasaan
turun temurun mengenai uang panaik tersebut, tapi saat ini muncul gejala lain,
bukan lagi karena status sosial atau status pendidikan, melainkan status
GENGSI. Keluarga terkadang menaruh gengsi pada tetangga atau orang lain jika
ketahuan anak gadis tetangga sebelah diberikan uang panaik sebegini rupiah
sedangkan anak gadis mereka mendapat uang panaik yang lebih sedikit,
lebih-lebih jika anak gadis mereka lebih tinggi status pendidikannya.
“anak tetangga sebelah Cuma
tamatan SMA, panaiknya segitu. Masak anak kita sudah sarjana hanya segitu? Malu
dong...!!”
“apa kata orang kalau uang panaik
anak kita hanya sedikit? Nanti orang akan berpikir macam-macam, jangan-jangan
anak kita sudah tidak perawan lagi”
Jadilah tarik ulur penetapan uang
panaik. Dan tidak jarang menuai konflik antar keluarga atau dalam keluarga itu
sendiri. Bagaimana sebenarnya uang
panaik tersebut??
Sekali lagi, tidak ada aturan
paten tentang itu. Baik aturan adat apalagi aturan pemerintah. Semua adalah
hasil dari rembukan keluarga. So,.. bukanlah sebuah kemutlakan uang panaik
mesti banyak, mesti lebih besar dari anak tetangga, dan mesti lebih besar
jumlahnya dari kenyakan uang panaik akhir-akhir ini. Semua kembali kepada
keluarga. Uang panaik bukanlah sebuah keharusan mesti banyak. Apalagi statusnya
bukan sebagai mahar. Siapapun menginginkan pesta pernikahannya meriah, ramai
dan besar. Dan kesemuanya tidak lepas dari dukungan dana. Apalgi adat istiadat
yang mengundang seluruh kerabat baik yang masih dekat atau sudah kerabat jauh.
Dan sudah tentu butuh pasokan dana yang besar. Mengimpikan semua itu sangatlah
wajar. Manusiawi. Namun, apakah seluruh lelaki yang akan meminang wanita
sulawesi adalah orang yang punya banyak dana? Tidak kan? Meminta panaik yang
besar, itu manusiawi.. sah-sah saja.. tetapi akan menjadi tidak manusiawi
apabila meminta kepada seseorang melebihi kemampuannya. Bukankah pernikahan
tidak dilihat dari banyaknya panaik tersebut? Bukan dilihat dari ramainya..
bukan dilihat dari meriahnya.. dan bukan dilihat dari seberapa patuh mengikuti
adat. Tentu bukan hal yang mudah, karena akan berbenturan dengan adat yang
telah mengakar. Apalagi jika keluarga masih berpegang erat pada adat yang
begitu takut untuk dilanggar. Tetapi bukanlah tidak mungkin.
Ada kok, wanita dengan latar
belaang keluarga bangsawan yang panaiknya lebih kurang dari anak wanita dari
keluarga yang biasa saja. Adapula panaik seorang wanita dengan pendidikan yang
tinggi lebih sedikit dari anak wanita yang baru saja tamat SMA. Semua
tergantung bagaimana mengkomunikasikan kepada keluarga. Memang butuh
perjuangan.. memang penuh dengan benturan. Tapi perjuangan itu telah banyak
dilalui oleh lain. Yang tidak kalah pentingnya untuk dipahamkan adalah
pemahaman bahwa pernikahan bukanlah untuk mempersulit, tetapi untuk dimudahkan.
Dan dalam aturan syariat agama islam, yang diperintahkan adalah memberi mahar.
Itu yang wajib. Jika ada yang bisa memberi dengan jumlah yang banyak, kenapa
tidak. He..he.....
Di balik besarnya uang panaik di
sulawesi, sebenarnya ada pengaruh yang signifikan dan penting dibanding di
daerah lain yang mudah melaksanakan pesta pernikahan dengan berbekal mahar.
Apakah itu? Di daerah dengan biaya pernikahan yang lebih besar, ternyata angka
perceraian kecil dibandingkan di daerah yang biaya pernikahan yang rendah.
Mungkinkah karena oarang akan berpikir dua kali jika akan menikah lagi?
berpikir dengan besarnya dana yang harus dikumpulkan lagi? entahlah..
wallahu’alam... namun, memang seperti itulah kenyataanya. Dan inilah salah satu
sisi baiknya. Sisi baik lainnya adalah dengan adanya panaik itu, memberikan
stumulus awal kepada pihak lelaki untuk mulai mencari penghidupan untuk berumah
tangga kelak. Tentu jika ia tidak bisa mendapatkan panaim dari keluarganya,
tentulah ia akan berusaha sendiri untuk mengumpulkannya. Dan disinilah jiwa
kemandirian dan kerja keras mulai ditanamkan.
Terlepas dari keseluruhan plus
dan minus tentang uang panaik. Semua kembali kepada diri masing-masing dan juga
keluarga untuk mencerna arti sebuah uang panaik. Apabila lelaki yang datang mampu,
kenapa tidak? Namun jika tidak? Disinilah kebijaksanaan dalam berpikir akan
dituntut. Tetapi sekali lagi... MEMANG TIDAK MUDAH KELUAR DARI GARIS KEBIASAAN
YANG TELAH MENGAKAR.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar