Langsung ke konten utama

Filsafat Wetgenstein

Tugas Makalah Filsafat, Semester 1 PPs UNM
( Nurhidayah, Ikrimah, Rahmawati, Asmawati, Marylin Lasarus)

A. Biografi Ludwig Wetgenstein
1. Sejarah Hidup Wittgnstein

Ludwig Wittgenstein lahir di Wina (Austria) pada tanggal 26 April 1889 sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara, empat laki-laki dan tiga perempuan yang semuanya berbakat musik. Wittgenstein anak dari Karl Wittegenstein. Ayahnya berasal dari keluarga Yahudi dan telah memeluk agama Kristen Protestan dan ibunya beragama Katolik. Ayahnya adalah seorang pemimpin industri baja besar yang mempunyai bakat musik dan bertempat tinggal di rumah yang menjadi semacam pusat musik di Wina.
Pada tahun 1903 Wittgenstein mulai menjadi siswa di sekolah Linz, kemudian menjadi mahasiswa di Technical University of Berlin dalam bidang mesin pesawat terbang, dan sejak 1908 menjadi mahasiswa di University of Manchester Inggris untuk melakukan riset penerbangan. Setelah mengikuti kuliah dari ahli matematika Gottlob Frege, Wittgenstein tertarik pada filsafat matematika dan logika. Ketertarikan atas filsafat didorong oleh ahli matematika Brouwer. Frege memberi rekomendasi kepada Wittgenstein untuk belajar kepada Russell. Pada tahun 1912 belajar kepada Russel di Trinity College, Cambridge; dan pada rentang waktu antara tahun 1929-1932, Wittgenstein semakin tekun mempelajari filsafat matematika dan ekonomi di samping logika dan filsafat psikologi.
Ketika pecah perang dunia, Wittgenstein bertugas pada ketentaraan Austria dan beberapa kali mendapat tanda jasa, serta di penjara di Tryol oleh tentara Italia. Setelah bebas dari penjara ia ke wina dan menyerahkan harta warisan ayahnya dan dilatih untuk menjadi guru. Ia merasa gagal menjadi guru dan berhenti pada tahun 1926. Ia berkenalan dengan Moritz Schlick seorang professor filsafat di Universitas Wina dan beberapa professor yang lain dan juga beberapa ahli matematika. Wittgenstein kembali ke Cambridge sebagai mahasiswa riset dengan tulisannya terdahulu Tractus Logico Phylosopycus sebagai tesis doctornya. Tractus Logico Phylosopycus adalah pemikiran Wittgenstein tentang logika dan diterbitkan atas bantuan Russel pada tahun 1922. Bertand Russel dan G.E. Moore menjadi pengujinya.
Pada tahun 1929 Wittgenstein kembali ke Cambridge mengajar di Trinity college dan melakukan banyak kerja di bidang filsafat. Pada tahun 1935 ia berkunjung ke Uni Soviet dan Norwegia dan ia tinggal pada sebuah gubuk yang di bangunnya pada kunjungan pertama . di gubug itulah ia menyusun Philosophical Investigations. Pada tahun 1939 ia diangkat sebagai professor filsafat di cambridge menggantikan G.E.Moore. Pada tahun 1947 Wittgenstein mengundurkan diri dari jabatan professor dan berkonsentrasi untuk menulis Philosophical Investigations. Wittgenstein pernah tinggal sebentar di Irlandia dan di Amerika dan pada tahun 1949 ia kembali ke Inggris dan mulai menderita penyakit kanker. Pada tanggal 29 april 1951, Wittgenstein meninggal dunia di cambridge.
2. Karya – Karya Ludwig Wittgenstein 
Karya Wittgenstein yang utama adalah Tractatus Logico Phylosopycus, Philoshopical investigation, Remarks on the Fondation of mathematics. Tractatus Logico Phylosopycus pertama kali dipublikasikan dalam bahasa jerman pada 1921, kemudian diterjemahkan oleh C.K. OGDEN dengan bantuan F.P Ramsey’s dan diterbitkan dalam bahasa Ingris pada 1922. Tractatus Logico Phylosopycus didasarkan atas gagasan bahwa masalah filsafat muncul dari kesalahfahaman logika bahasa dan buku itu menguraikan apa logika bahasa itu. Tractatus Logico Phylosophicus merupakan serangkaian preposisi logis tentang logika dan dunia, Remarks on The Fondation of mathematics terdiri atas 7 bagian. Secara keseluruhan buku ini ditulis pada periode sepetmber 1937 sampai april 1944. Kebanyakan menggambarkan konsep logika atau konsep logis dengan membedakan antara tingkah laku yang dapat diprediksi, konsep empirik , dan aturan-ditaati (rule following). Philosophical investigation dipublikasikan tahun 1953 dibagi atas dua bagian. Bagian I diselesaikan secara lengkap pada tahun 1945 dan bagian dua ditulis antara tahun 1947 dan 1949. Secara prinsip Philosophical investigation adalah karya yang juga memberikan perhatian pada logika dan bahasa tetapi penyajiannya tidak terlalu teknis seperti dalam Tractatus Logico Phylosopycus, salah satu hal yang mendapat perhatian besar Wittgenstein dalam philosophical investigation dan dibaas juga secara mendalam dalam remarks on the fondation of matimatics adalah tentang rule following. Karya Wittgenstein yang lain misalnya culture and value, big typescript, lecture and coversation, lecture on the foundation of mathematics, last writing on the philosopy of psychology, volume 1, last writing on the philosopy of psychology volume 2, Wittgenstein’s lecture cambridge 1930-1932, ed. D.Lee.,notes book 1914-1916, notes on logic, on certainty, philosopical, grammar, philosophicaloccasions, 1912-1951, philosophicalremarks prototractatus, remarks and color, remark on the fondation of mathimatics, remarks on the philosopy of psycology volume 1, remarks on the philosopy of psycology volume 2, Zattel. Karya Wittgenstein pada tahun terakhir diterbitkan dengan judul on certainty dan kalimat terakhirnya adalah “tell them I’ve had a wonderful life. Kehidupan Wittgenstein didominasi oleh obsesi moral dan kesempurnaan secara filsafat.
B. Pandangan Witgnestein Mengenai Prosedur dan Pembuktian Dalam Matematika
Manusia menggunakan matematika, ini adalah sebuah fakta penting yang tidak dapat disangkal. Banyak pandangan dalam matematika yang berfokus pada matematika itu sendiri. Banyak orang yang menggunakan matematika dalam kehidupannya sehari-hari. Hal ini cukup mudah untuk difahami, terutama jika kita memandang matematika sebagai sebuah kebenaran. Pandangan kita tentang Fisika tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa manusia menggunakan sebagian dari ilmu pengetahuan tersebut (misalnya: mekanika) tetapi tidak menggunakan yang lainnya sama sekali (mis: astrofisika). Perihal dapat dimanfaatkan nampaknya tidak relevan dengan perihal dapat dipercaya. Platonisme adalah sebuah contoh yang memegang sikap seperti ini. Termasuk pula contoh yang lain, sebuah pandangan yang berkembang pesat tentang ciri matematika. Hal ini muncul dari keterpisahan diri kita secara utuh dari matematika sehingga menjadi sebuah misteri bagaimana mungkin kita bisa menggunakan matematika. Wetgeinstein memiliki pandangan yang sebaliknya. Beliau berfokus terhadap bagaimana manusia menggunakan matematika terutama pada perhitungan dan pengukuran sederhana. Setelah melewati hal ini dan menghilangkan sebuah ketidakpercayaan terhadap karyanya sendiri, beliau kemudian mendapatkan kesimpulan umum tentang ciri matematika. Weitgeinstein beberapa kali mengatakan bahwa dirinya tidak sedang mengajukan teori apapun. Tetapi bukti yang ada seringkali menunjukkan bahwa beliau seringkali melakukan hal tersebut sehingga saya merasa tidak perlu membahas klaim beliau tentang tidak sedang berteori.
Salah satu perhatian utama Wetgeinstein berhubungan dengan gagasan mengikuti sebuah aturan. Bagaimana kita mengetahui bahwa seseorang sedang mematuhi sebuah aturan tertentu?. Seorang berkendara pada kecepatan 100 km/jam pada zona yang membatasi kecepatan hingga 50 km/jam saja. Seorang polisi menghentikan mobilnya mengatakan bahwa kecepatannya masih berada pada batasan yang diperbolehkan lalu memberikan tilang. Andi, misalnya, menjumlahkan 2000 dengan 3000 dan mendapatkan hasil 23.000.000. dia menganggap dirinya telah mengikuti aturan penjumlahan. Haruskah kita menyuruhnya belajar aritmetika kembali? Tentu saja aturan bisa menjadi tidak jelas, tetapi tidak disini. Kita percaya diri mengatakan bahwa peraturan lalu lintas, peraturan pajak dan aturan matematika di atas telah dilanggar. Tetapi apakah memang benar demikian? Weitgeinstein memiliki pandangan yang berbeda. Ide dasar dari mengikuti sebuah aturan adalah dia berfikir dengan cara yang sangat bermasalah.
Anggaplah ada seorang guru membuat sebuah barisan 1, 4, 9, 16, … lalu meminta murud-muridnya melanjutkan barisan tersebut. 1, 4, 9, 16, … apakah angka selanjutnya? Kebanyakan siswa akan menjawab 25. Kenapa? Mungkin mereka akan beralasan bahwa angka 25 sesuai aturan memangkatkan secara berurutan bilangan 12, 22, 32, 42, … maka angka selanjutnya pastilah 52 atau sama dengan 25. Tetapi bagaimana dia menjawab 27? Apakah jawaban ini salah? Alasannya mungkin adalah bahwa barisan tersebut berdasarkan pada aturan menambahkan bilangan prima ganjil pada barisan tersebut. Bilangan prima yang dimaksud adalah: 3, 5, 7, 11, 13, 17, … sehingga barisan itu menjadi :
1
4 = 1 + 3
9 = 4 + 5
16 = 9 + 7
Sehingga bilangan selanjutnya pastilah 16 + 11 sama dengan 27.
Apakah salah satu jawaban itu benar atau bagaimana yang dimaksud dengan jawaban yang salah? Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut dimulai dengan mengambil sebuah aturan lalu melanjutkan aturan tersebut dengan benar. Tidak satupun jawaban dapat dianggap salah berdasarkan aturan ini. Sebab tidak ada satupun alasan yang menunjukkan salah satunya salah.
Satu-satunya alasan yang bisa menjadi dasar dalam menyalahkan salah satu jawaban adalah fokus dari sang penanya. Jika guru memaksudkan barisan tersebut berdasarkan perpangkatan maka jawaban 27 salah dan jawaban 25 benar. Sehingga tidak ada masalah tentang apakah bilangan yang selanjutnya dari kedua barisan tersebut. Lebih jauh lagi, nampaknya fokus dari penanya tidak menjadi masalah. Apakah murid sudah mengetahui maksud dari sang guru? Maka seharusnya dia menjawab dengan jawaban yang benar. Sekarang mari kita anggap sang penanya memang memasukkan barisan tersebut berdasarkan aturan perpangkatan. Guru menuliskan sebuah barisan: 1, 4, 9, 12, 25, … lalu dia menunjukkan pada siswa bahwa barisan ini berdasarkan operasi pemangkatan, lalu memerintahkan siswa untuk melanjutkan dengan aturan yang sama. Murid melanjutkan barisan dengan: 36, 49, 64, … dan sang guru merasa senang dengan jawaban sang murid. Sampai pada titik ini, kita menganggap bahwa tidak satupun manusia dalam sejarah yang pernah memangkatkan (mengkuadratkan) bilangan yang lebih besar dari 100. Murid melanjutkan:
982 = 9,604
992 = 9,801
1002 = 10,000
1012 = 11
1022 = 12

Sang guru mengatakan bahwa jawaban setelah kuadrat seratus salah dan dia mengatakan bahwa sang murid tidak melakukan aturan dengan benar. Kebanyakan dari kita setuju dengan guru tersebut (setidaknya setelah sebelumnya mencoba menghitung sendiri; ingat, kita menganggap bahwa ini adalah pertama kalinya dalam sejarah manusia bilangan diatas seratus dipangkatkan). Sebagai tanggapan, sang murid mencoba untuk mencoba menghitung lagi dan lagi tetapi selalu mendapatkan jawaban yang sama sehingga dia menjadi yakin bahwa jawaban yang ia dapatkan benar. Sang murid juga mengklaim bahwa dirinya telah mengikuti aturan yang diberikan gurunya. Jadi kenapa jawaban siswa tersebut salah? Dan apakah kita memang yakin bahwa jawaban tersebut salah?
Ada beberapa syarat yang diperlukan untuk menyebut sesuatu sebagai aturan antara lain:
  1. Sebuah aturan harus dipergunakan untuk situasi yang tak tentu jumlahnya. Perintah dibedakan dengan aturan, meskipun keduanya dapat “diikuti”. Perintah merupakan sesuatu yang hanya sekali diberikan: ‘tutup jendela itu.’ Aturan mencakup secara tdk terbatas banyak hal:’ ketika di luar dan ruangan dingin , maka tutuplah jendela itu’
  2. Sebuah aturan harus merupakan sesuatu yang diciptakan terbatas seperti kita yang dapat mengerti kendatipun pada fakta yang mereka gunakan pada banyak kasus yang berbeda.
  3. Sebuah aturan sanggup mengarahkan tindakan kita; pada beberapa hal, aturan akan mempengaruhi perilaku kita. Setelah memahami aturan dan mematuhinya kita akan dengan mudah mampu melakukannya juga. (ini merupakan proses yang keliru dan cukup kompatibel dengan membuat kesalahan berkala dalam menggunakan aturan).Sangatlah mungkin untuk bertindak sesuai dengan aturan tanpa mengikuti aturan itu. Sebagai contoh, saya mungkin akan membuat keributan secara sembarangan yang menghasilkan kalimat yang benar secara gramatikal dalam beberapa bahasa yang sebelumnya belum pernah saya dengar. Pada hal yang sama, saya bertindak sesuai dengan aturan gramatikalnya, tetapi saya tidak mengikutinya. Selanjutnya untuk mengadopsi idiom kausal, untuk mengikuti aturan maka tindakan yang dilakukan harus disebabkan oleh aturan itu, dan tidak melulu merupakan suatu kebetulan.

Selain mengetahui aturan, dalam menjawab sebuah permasalahan matematika algoritma dan disposisi pun memegang peranan penting. Kita mungkin akan berpikir bahwa tidak ada satu pun orang yang mau belajar hanya dengan melihat satu contoh saja, tetapi lebih senang menggunakan algoritma. Algoritma mencakup semua kasus tanpa batas, sehingga digunakan sebagai ilustrasi. Selain angkanya yang tidak terbatas, algoritma juga mudah menyelesaikan sebuah permasalahan. Tetapi menggunakan algoritma hanya menyelesaikan suatu masalah. Dengan keterbatasan ini dianggap bahwa algoritma pun punya kekurangan dan tidak lebih baik penggunaannya.
Selain itu, ketika memberikan permasalahan kepada siswa mungkin guru memiliki jawaban dari permasalahan yang diajukan , namun di lain sisi siswa pun bisa mempunyai jawaban yang berbeda dari permasalahan yang sama dengan alasan yang berbeda. Disinilah muncul disposisi. Mungkin guru memiliki disposisi untuk diberikan pada elemen berikutnya dalam rangkaian, seperti pada contoh sebelumnya tentang barisan bilangan. Disposisi itulah yang akan memberikan jawaban yang berbeda-beda, termasuk oleh siswa sendiri. Jadi tidak masalah tentang apapun yang dikatakan oleh guru, yang telah atau yang akan menentukan jawaban yang unik, itulah disposisi. Guru berada pada disposisi yang ditentukan. Disposisi yang berbeda akan memilih rangkaian yang berbeda. Oleh karenanya kita perlu memiliki banyak disposisi yang tidak terbatas untuk menutupi banyak elemen yang tidak terbatas dari banyak rangkaian yang tidak terbatas pula.
Beberapa hasil pemikiran Wittgnestein terkait prosedur dan pembuktian dalam dunia matematika dapat dilihat dalam karya-karyanya seperti Tractacus Logico-Philosophicus mengandung system pemberian nomor secara decimal untuk proposisi-proposisi berdasarkan tingkat kepentingannya. Proposisi yang paling penting diberi angkat bulat dan terdapat tujuh angka bulat untuk penomoran proposisi, sedangkan decimal menunjukkan kepentingan logis dari proposisi. Sesuai dengan prinsip analitika bahasa, proporsi bernomor bulat merupakan pokok urian sedangkan yang decimal merupakan penguraiannya. Wittgenstein mengembangkan analitika bahasa, batas-batas bahasa, hakikat bahasa dan hubungan bahasa dengan hakikat realita dunia. Meski ia mengkategorikan metafisika sebagai mistis namun sejatinya dalam karnya ia bermetafisika dengan menjelaskan dasar ontologis hakikat bahasa dan dunia. Istilah proposisi menurut Wittgenstein bersifat positif, merupakan suatu pernyataan sederhana yang menggambarkan suatu keadaan atau peristiwa. Proposisi berbeda dengan kalimat, kalimat lebih memperhatikan bentuk, struktur penggabungan kata sedangakan proporsi lebih memperhatikan konsep, gagasan, ide-ide tanpa mengabaikan struktur penggabungan kata tersebut. Proposisi adalah penggabungan dari nama-nama, nama menunjukkan suatu objek dan ojek tersebut dihadirkan dalam bentuk symbol, contoh : “Jika lapar maka saya makan” dapat ditulis jika p maka q dan disimbolkan dengan p → q.
Istilah lain dalam Tractacus Logico-Philosophicus adalah atomisme logic. Dunia terdiri dari unsure-unsur atomis yang dinamakan obyek begitu pula bahasa terdiri dari unsure atomis yang disebut nama. Logika bukanlah suatu teori tetapi suatu refleksi tentang dunia. Jika bahasa yang menjelaskan dunia bersifat logis maka maka atom-atom logis pembentuk bahasa (proposisi) juga bersifat logis.

Notes: Untuk lebih jelasnya jika ingin berdiskusi, bisa menghubungi salah satu nama di atas ^_^

Desember' 2011
#rindukuliah #rindumath'B''11'PPsUNM

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap