Langsung ke konten utama

Kajian Jurnal : "Penelitian Pendidikan Matematika"

Pandangan Guru Pre-Servis dan In-Servis tentang Sumber Kesulitan yang Dialami Siswa dalam Belajar Matematika

Erhan Bingolbali (University of Guanzep)
Hattice Akkoc (University of Marmara)
M.Fatif Ozmantar (University of Guanzep)
Servet Demir (University of Guanzep)


I. LATAR BELAKANG 
Siswa diseluruh tingkatan menganggap matematika itu sulit. Beberapa hasil penelitian yang dilakukan pada empat dekade terakhir dalam bidang pengajaran matematika dengan mudah menunjukkan hal ini. Semua penelitian ini (Hart dkk, 1980; tall, 1991) menunjukakan kurangnya pemahaman siswa tentang konsep matematika juga kesulitan yang dihadapi siswa untuk memahami konsep tersebut. Dengan kata lain, penelitian-penelitian ini sepakat menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan di seluruh tingkatan pendidikan untuk memahami konsep matematika yang diajarkan. Sehingga timbul pertanyaan mengapa hal ini bisa terjadi dan apa yang menjadi sumber kesulitan siswa dalam belajar matematika serta yang paling penting adalah sebagai tenaga pendidik, apa yang dianggap oleh guru sebagai sumber kesulitan belajar siswa?.
II. LANDASAN TEORI 
Kesulitan yang dialami siswa dalam belajar matematika dapat dihubungkan dengan berbagai faktor termasuk guru dan proses pengajaran. Agar sumber kesulitan belajar siswa dapat disecara menyeluruh, penulis menyimpulkan bahwa landasan teori tentang “kendala belajar” sangat membantu. Kami menyimpulkan bahwa landasan teori ini berguna bukan hanya untuk mengetahui sumber kesulitan belajar, tetapi juga pandangan guru tentang sumber kesulitan belajar tersebut.
Terinspirasi dari karya Bachelard (1938/2002) mengenai kendala epistemology, Brosseau (1997) dan Corn (1991) menyebutkan kendala epistemology, psikologis (kognitif) dan pedagogis (didaktik) untuk menjelaskan kesulitan belajar matematka. Cornu (1991), berdasarkan karya Brosseau (1997) menjelaskan kendala epistemology timbul karena sifat konsep matematika itu sendiri. Ketika memaparkan kendala epistemology ini, Cornu (1991, h.159) mengutip pernyataan Bacchelard (1938/2002) dan menginkasikan bahwa “kendala apistemologi muncul pada perkembangan sejarah pemikiran ilmiah dan juga pada praktek pendidikan”. Menurut Bachelar, kendala epistemology memiliki dua cirri dasar: 
  • Kendala ini tidak dapat dihindari dan merupan bagian essensial dari pengetahuan yang hendak dicapai. 
  • Kendala ini ditemukan (setidaknya pada sebagian) sejarah perkembangan konsep (dikutip dalam Kornu; 1991, h.159). 
Sebagaimana disebutkan dalam ciri di atas kendala epistemology sudah menjadi sifat dari konsep yang akan dipelajari. Oleh karena itu, kendala epistemology dianggap sebagai sebuah pengetahuan tersendiri yang kemudian memiliki manfaat dalam sesuatu yang dialami secara rutin, tapi memiliki konteks yang terbatas dan tidak dapat digeneralisasikan (Selden & Selden, 2001; Brosseau, 1997). Kendala epistemology juga dihadapi oleh para ilmuwan dalam sejarah perkembangan konsep. Kesulitan dan dilemma yang dihadapi para ilmuwan selama proses perkembangan konsep dapat dijadikan sebagai sebuah bukti kendala epistemology yang selalu di sebabkan oleh sebuah konsep.
Untuk lebih mempersempit kajian tentang adalanya kendala epistemology, beberapa peneliti mencoba untuk berfokus pada konsep limit dan perkembangan sejarahnya (Sierpinska, 1987; Chornu, 1991). Chornu (1991), menyebutkan beberapa kendala epistemology berdasarkan konsep limit. Salah satunya berhubungan dengan anggapan tentang apakah limit tercapai atau tidak. Dia menyatakan bahwa perdebatan tentang persoalan ini telah lama terjadi antara ahli matematika. Dia mengutip pernyataan Robins & D’Allembert yang masing-masing menyatakan bahwa limit dapat dicapai dan Jurin yang menyatakan bahwa batas tidak akan pernah dicapai.
Yang menarik, penelitian yang dilakukan sehubungan dengan anggapan siswa mengenai konsep limit menunjukkan interpretasi yang serupa diantara para siswa (William). Penelitian ini dengan jelas menunjukkan bahwa apa yang menjadi kendala bagi para ilmuwan kemungkinan besar menjadi kendala pula bagi siswa. 

Kornu (1991) menjelaskan kendala psikologis terjadi karena/ disebabkan oleh perkembangan jiwa siswa. Faktor lain seperti kemampuan, kapabilitas, motifasi, konsep dan pengetahuan awal, pengalaman belajar tentang materi yang akan dipelajari, cara berfikir, tingkat perkembangan siswa, semuanya memiliki pengaruh terhadap bagaimana siswa belajar, dan kadang-kadang menjelaskan mengapa mereka mengalami kesulitan dalam belajar. Factor-faktor ini boleh jadi adalah sumber kesulitan belajar matematika. Penulis menyebut faktor sejenis ini sebagai kendala psikologis. 

Meskipun penulis telah memaparkan beberapa kendala belajar satu persatu, tetapi tetap hampir tidak mungkin untuk menyematkan kesulitan siswa pada satu kendala saja. Lebih jauh lagi, dalam makalah ini, istilah ‘kendala’ diartikan tidak hanya sebagai ‘sedikit pengetahuan’ tetapi dianggap sebagai salah satu sumber kesulitan belajar siswa. Bagi penulis, kendala epistemoogi, psikologis, dan pedagogis adalah sumber kesulitan belajar. Penulis akan menggunakan istilah ‘penyebab epistemologis, psikologis, dan pedagogis’ untuk menyatakan sumber kesulitan belajar siswa dalam makalah ini.

Adapun penelitian yang relevan dari hal tersebut yang diatas adalah, Penelitian sebelumnya dalam bidang pendidikan matematika (Hart dkk, 1980: tall & Vinner, 1981) umumnya berfokus pada konsepsi siswa tentang berbagai konsep matematika. Beberapa jurnal penelitian seperti Education Studies in mathematics dan Psychology of Mathematics Education membenarkan hal ini. Fokus utama peneliian-penelitian tersebut adalah pemahaman siswa tentang konsep matematika dan kesulitan yang mereka alami dalam mempelajari konsep-konsep tersebut.

Pentingnya pengaruh pengajar dan pengajaran terhadap siswa dalam belajar matematika juga mulai mendapatkan perhatian khususnya pada dua dekade terakhir. Sikap guru (Philippou & Christou, 1998), keyakinan (Stipek, Givven, Salmon & MacGyvers, 2001), pemahaman tentang materi (Linchevski & Vinner, 1998), pemahaman tentang Pedagogis (An, Kulm, & Wu, 2004) dan pengetahuan tentang tekhnologi pedagogis (Niess et dkk, 2009) seluruhnya telah menjadi wilayah penelitian dalam bidang pendidikan matematika. Perspektif dan kompetensi guru terhadap seluruh wilayah di atas dapat mempengaruhi apa dan bagaimana siswa belajar matematika. Sebuah penelitian yang lain bahkan telah memberikan bukti empiris adanya pengaruh dari pemahaman guru terhadap materi, pedagogis, demikian pula keyakinan mereka sehubungan dengan matematika memiliki pengaruh yang kuat terhadap pembelajaran matematika siswa (Ball, Thames, & Phelps, 2008; Verschaffel, Greer, & Torbeyns, 2006; Askew, Brown, Rhodes, William, & Johnson, 1997; Lamb & Booker, 2004; McClain & Bowers, 2000).


Kenyataannya, Shulman (1986, h.9) telah memberikan perhatian akan pentingnya peran guru dalam mengatasi kesulitan yang dialami siswa. Itulah sebabnya dia mengatakan bahwa “pemahaman guru tentang penyebab topic tertentu dianggap mudah atau sulit” Sebagai salah satu komponen wawasan pedagogis (Pedagogis content knowledge/ PCK[1]). Dengan perhatian tertentu terhadap PCK, Shulman mengatakan:

“Wawasan pedagogis juga meliputi pemahaman tentang apa yang membuat topic tertentu dianggap mudah atau sulit: konsepsi dan prakonsepsi yang dibawa siswa dari berbagai umur pada lingkup topic yang paling sering diajarkan dan pada proses belajar mengajar. Jika prakonsepsi itu ternyata adalah sebuah miskonsepsi (anggapan yang salah) maka guru membutuhkan strategi yang baik untuk lebih memahami siswa”.

Penulis sepakat dengan pernyataan Shulman bahwa konsepsi dan prakonsepsi siswa memiliki pengaruh besar terhadap apa dan bagaimana mereka belajar. Tidak sampai disitu saja, kesadaran guru akan hal ini juga penting. Penting setidaknya karena apa yang guru anggap sebagai penyebab kesulitan belajar akan mendasari begaimana mereka akan melaksanakan pengajaran.
III. PEMBAHASAN

Data yang disajikan dalam penelitian menunjukkan bahwa baik guru pre-service ataupun in-service keduanya dominan mengatributkan sumber kesulitan pada penyebab ‘psikologis’. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Penso (2002). Penso (2002) menunjukkan bahwa 80% dan 55% guru pre-service mengatakan sumber kesulitan belajar adalah berhubungan dengan karakteristik siswa, masing-masing pada tingkat observasi dan pada tingkat pengajaran. Penelitian kami juga menunjukkan bahwa guru matematika SD in-service mengatributkan sumber kesalahan pada penyebab psikologis lebih dari kelompok lain.

Analisis lebih jauh terhadap penyebab psikologis pada tabel 5 menunjukkan bahwa baik guru pre-service (52,5%) maupun in-service (40%) menunjuk ‘kurangnya pengetahuan dasar’ sebagai sumber utama kesulitan belajar. Juga menarik untuk dicatat bahwa guru matematika SD yang menyebut ‘kurangnya pengetahuan dasar’ lebih banyak dari guru SD (27%). Peranan pengetahuan dasar adalah belajar adalah isu yang paling banyak dikenal dan paling sering dibahas dalam dunia pendidikan (Ausubed, 1968; Resnick, 1983; dan Shulman, 1986). Resnick (1983) mengatakan bahwa siswa datang ke kelas tidak dalam keadaan kelas, tetapi mereka telah membawa ide, konsepsi dan teori. Konsepsi, teori dan ide-ide ini dapat menyulitkan anak dalam belajar. Kenyataan inilah yang mungkin menyebabkan Ausubed (1968, h. 68) mengklaim bahwa ‘satu hal yang paling penting, yang mempengaruhi apa yang akan dipelajari seorang siswa adalah apa yang telah dia ketahui sebelumnya’. Partisipan dalam penelitian ini nampaknya juga memiliki kesadaran akan pengaruh pengetahuan dasar dan/atau kekurangan siswa dalam proses belajar mereka.

Di antara sebab psikologis, ‘sikap yang negatif’ adalah kedua terbanyak disebutkan oleh guru pre-service, sementara ‘kurangnnya minat’ adalah yang kedua tersering disebutkan oleh guru in-service. Alasan yang menyebabkan guru in-service beranggapan demikian kemungkinan adalah karena mereka pernah merasakan mengajarkan materi tertentu yang mana guru pre-service belum pernah mengajarkannya. Kemudian, guru matematika SD (33%) menyebutkan bawa kesulitan belajar disebabkan oleh ‘kurangnya pemahaman konsep’, ini lebih banyak dari guru kelas yang berpendapat sama (13%) bahkan tidak satupun guru pre-service yang berpendapat demikian. ‘kurangnya kemampuan siswa’ dan ‘kuranngya rasa percaya diri’ juga disebutkan oleh kedua kelompok.

Sejalan dengan hasil penelitian Penso (2002), penelitian ini juga menunjukkan bahwa penyebab pedagogis adalah sumber masalah kedua yang paling sering disebutkan. Analisis lebih lanjut terhadap penyebab pedagogis pada tabel 6 menunjukkan bahwa 17% guru in-service mengatakan bahwa ‘mengajar dengan pendekatan yang salah’ adalah penjelasan paling meyakinkan tentang penyebab kesulitan mengajar. Kategori ini disebutkan juga oleh guru kelas (27%). Guru pre-service ada yang menyebutkan ‘kurangnya pemahaman/kompetensi guru’ sebagai sebab, sementara tidak satupun guru in-service yang menyebutkan penyebab ini. Hal ini disebabkan karena guru pre-service masih dalam masa pelatihan (mahasiswa), sehingga mereka dengan mudah mengatakan ‘kurangnya pengetahuan guru’, tetapi bagi guru in-service hal ini tidaklah mudah. Di sisi lain, hanya guru in-service menyebutkan ‘guru tidak menfokuskan perhatian siswa’, ‘guru tidak melakukan konsolidasi’, dan ‘guru tidak memperhatikan kesiapan siswa’. Ini dimungkinkan karena in-service teacher adalah guru yang telah memiliki pengalaman, terjun lansung ke lapangan sementara guru pre-service belum memiliki pengalaman yang cukup.

Dalam penelitian ini nampak bahwa penyebab epistemology adalah penyebab yang paling sedikit disebutkan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa guru pre-service dan guru in-sevice menyebutkan penyebab epistemologis tetapi guru sekolah dasar tidak. Penulis tidak memiliki bukti ilmiah akan penyebab perbedaan ini, tetapi penulis memperkirakan bahwa perbedaan akan materi pendidikan yang berbeda antara guru pre-service/in-service dengan guru sekolah dasar menjadi penyebab terjadinya perbedaan ini. Guru pre-service dan in-service memiliki pengetahuan terhadap materi pendidikan yang lebih banyak sehingga mereka dapat melihat kendala epistemologis ini.

Untuk kategori ‘penyebab lainnya’, terlihat dalam penelitian ini bahwa yang menyebutkan penyebab lain berupa penyebab social-ekonomi adalah guru matematika sekolah dasar in-service (20%). Kemudian menyusul guru matematika sekolah dasar lalu guru kelas. Sebuah pandangan umum dari para partisipan adalah kurangnya perhatian keluarga dan lingkungan menjadi sumber kesulitan belajar siswa.

Seluruh hasil penelitian ini menunjukkan bahwa guru umumnya menyematkan sumber kesulitan pada diri siswa atau faktor yang berhubungan dengan siswa. Ini disebabkan karena guru seringkali melihat kegagalan siswa dalam belajar matematika, dan bagi mereka nampak bahwa kegagalan ini disebabkan oleh kemalasan, kurangnya minat, kurangnya perhatian, kurangnya pengetahuan dasar siswa menurut mereka. Sehingga mayoritas guru cenderung ‘menyalahkan’ siswa untuk kegagalan mereka sendiri dalam belajar matematika.

Kesulitan belajar sangat mungkin juga disebabkan oleh guru dan metode pengajaran, sebagaimana disebutkan oleh Cornu (1991). Sebuah studi terhadap guru pre-service dan in-service menunjukkan rendahnya pemahaman materi guru. Sejalan dengan itu, goulding, Rowland dan Barber (2002) menunjukkan sangat rendahnya pemahaman guru pre-service terhadap konsep matematika. Lichevsky dan Vinner (1988) juga melaporkan kesulitan guru sekolah dasar dalam memahami konsep matematika.


Meskipun sudah ada sedikit cahaya terang mengenai apa pandangan guru tentang sumber kesulitan siswa dalam mempelajari matematika, akan tetapi masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan anggapan antara guru pre-service dengan guru in-service mengenai sumber masalah kesulitan siswa. Misalnya, guru matematika lebih banyak yang berfokus pada masalah psikologis dibandingkan dengan guru kelas dan guru pre-service. Juga, guru matematika sekolah dasar melihat ‘kurangnya pengetahuan dasar siswa’ lebih banyak dibanding guru kelas. Dan masih banyak lagi perbedaan antara grup responden yang terjadi, sementara penulis belum memiliki data akan penyebab terjadinya perbedaan tersebut.

Notes: 
Ingin diskusi? hubungi nama di atas ^_^
boleh copy, tapi beradab (sertakan kami sebagai sumber) hehehe.... 

#rindukuliah
#rinduMath'B'11'PPs'UNM


Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap