Langsung ke konten utama

99 cahaya di Langit Eropa

99 Cahaya di langit Eropa. Akhirnya saya bisa juga menonton film itu. Kemarin-kemarin sangat penasaran dengan pengen nonton, apalagi teman pada update status di fb tentang bagusnya film tersebut. Tapi apa daya tidak pernah bisa pergi nonton. Dulu pun nonton di bioskop saat ngumpul reunion 6 tahun dengan teman kuliah. Saat itu lagi marak-maraknya orang nonton film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”. Lumayan seru, banyak ketawa karena geli mendengar orang jawa makai logat Makassar. Aneh rasanya…. Hehehhe…. Dulu sering diajak oleh teman-teman pergi nonton, tapi selalu menolak. Maklum anak kuper dengan yang namanya dunia bioskop :D. Etss… kok larinya bahas ini ya..?

Film 99 Cahaya di Langit Eropa setelah menuntonnya, wow luar biasa banget. Jadi banyak tahu tentang dunia islam, khususnya di Eropa, banyak tahu tentang situs peninggalan islam, tahu sejarah peradaban islam, tahu tentang dunia eropa, dan juga seolah mengajak kita tuk berkeliling eropa. Film ini mengantarkan kita berkeliling eropa melalui setiap ceritanya. Mungkin saat orang menontonya, banyak orang yang pada akhirnya bermimpi igin menjelajahi eropa dan membuktikan dengan mata kepala sendiri tentang kebenaran sejarah. Tak terkecuali dengan saya. Ingin rasanya melihat menara Eifel di Paris, melihat patung Napoleon, mengunjungi museum-museum sejarah, melihat lukisan bunda maria yang kerudungnya bertuliskan kata “Laa Ilaha Illallah”, membuktikan patung Napoleon yang benar menghadap ke timur bersama dengan gedung megah lainnya yang berada di garis lurus menghadap satu titik yaitu kearah Ka’bah, mengunjungi bangunan yang dulunya adalah gereja (Katedral) kemudian dijadikan mesjid dan sekarang dijadikan museum, mengunjungi Cordoba, dan terus kearah timur dan pada akhirnya sampai di Jabal Nur, Jabal Rahmah, dan di Mekkah depan Ka’bah. Yah… sangat ingin…..

Dari sini mengajarkan kepada kita bahwa Islam itu sangat Berjaya, bahkan sampai ke Eropa sekalipun. Islam itu pernah menguasai peradaban, menguasai ilmu pengetahuan, menguasai berbagai wilayah. Jika saat ini seakan berbalik, maka tugas kitalah yang bertanya ada apa dengan Islam saat ini. Apa yang kurang dari kita sehingga peradaban dan pengetahuan seakan banyak dikuasai oleh ummat lain. Kemana ilmuwan islam seperti al-khawarizmi, Ibnu Sina, dll? Agama ini bukan hanay sekedar membuat kita melakukan rutinitas ibadah kita sehari-hari sesuai jalan yang kita pilih ini, namun jauh ke depan, hal yang mesti kita pikirkan adalah bagaimana membuktikan ke generasi selanjutnya bahwa kita pernah ada. Membuktikan eksistensi kita, eksistensi agama ini, eksistensi peradaban yang terbentuk dari tangan-tangan ummat islam. Karena itulah nanti yang akan dibaca oleh mereka di masa mendatang, generasi pelanjut kita. Lalu apa yang telah kita tinggalkan? Jejak apa?. “Bukan hanya masalah jalan apa yang dipilih tetapi jejak apa yang ditinggalkan?”

Dari sini pun kita semakin paham bahwa Islam itu adalalah agama yang damai, agama yang menenangkan, agama yang menentramkan. Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Islam dapat bersanding dengan damai dengan agama lain. Islam bukan teroris, islam identik dengan kekerasan, karena kekerasan bagi ummat islam hanya pada saat aqidah sudah diinjak-injak dan juga ketika diganggu dalam melaksanakan rutinitas keagamaannya. Islam dapat hidup bersama masyarakat lain, dan jauh sebelumnya di zaman Rasulullah, bukankah umat lain adalah ummat yang dijamin oleh Rasul keamanannya? Mereka tidak dipaksa untuk berpindah keyakinan, mereka didakwahi, tetapi untuk memaksa atau membuatnya sadar atau mendapat hidayah itu bukan bagian kita, Allah-lah yang berkendak akan hal tersebut. Begitupun yang kita saksikan bagaimana pertemanan 3 orang sahabat dalam film tersebut. TErkadang terjadi perdebatan, adu pendapat tentang keyakinan, terkadang mencurigai. Tetapi itulah dinamika yang mesti dilalui, menjelaskan apa yang diyakini tidak mesti dengan cara kekerasan, memaksakan mereka menerima apa yang kita yakini, tetapi kita menjelaskan semampu kita apa yang kita ketahui, menjelaskan secara rasional terhadap apa yang kita jalani, karena terkadang orang lain/ummat lain butuh rasionalisasi. Itulah tantangan yang mesti kita hadapi. Misalnya saja, saat puasa yang kita lakukan dianggap menyiksa, atau ketika kita dicap sebagai teroris, apakah kita akan serta merta menyelesaikannya dengan cara kekerasan? Dalam film ini satu hal yang sangat bagus saya rasa adalah bagaimana memberikan pemahaman dengan cara yang santun, memberikan rasionalisasi, dan memberikan pengertian bahwa tidak semua hal yang ada di dunia ini akan terselesaikan dengan rasionalisasi sampai ingin melihat wajah Tuhan.

Saya ingat salah satu adegan ketika memberikan pengertian tentang puasa, kenapa mesti berpuasa.
“mengapa sih agama kamu itu menyiksa ummatnya”
“kami tidak merasa tersiksa. Kami melksanakannya dengan senang hati kok”
“Bagaimana bisa merasa senang dengan kondisi seperti itu? Tidak makan sampai beberapa jam. Bukankah itu menyiksa? “
“itu bukan menyiksa, tetapi itu adalah jaminan bagi kami. Kamu juga kan, mendaftarkan diri dengan banyak asuransi. Buat apa? Untuk menjamin diri kamu kan?”
“mana sama asuransi dengan puasa. Asuransi itu jelas, kalau ini?”
“bukankah kamu mengasuranskan banyak hal karena untuk berjaga-jaga, ketika suatu saat kamu mengalami kesulitan, dan tidak ada siapa-siapa yang peduli padamu, maka aka nada asuransi yang akan menjamin hidupmu akan tetap bahagia. Begitu pula dengan puasa. Puasa menjadi asuransi, penjamin bagi kami kelak”
“mana sama?. Asuransi kan jelas alamatnya, lah.. kalau Tuhan kamu mana? Alamatnya dimana? Wajahnya saja kamu tidak tahu”
“hehehhe… sudahlah, untuk saat ini banyak hal yang belum engkau ketahui tentang kami, tentang Tuhan kami. Dan banyak hal yang tidak bisa masuk dalam rasionalisasimu”


Hal lain lagi yang bisa menjadi pelajaran bagi kita adalah, film ini mengajaran kita akan arti keikhlasan. Ikhlas ketika kita diberikan ujian oleh Allah berupa musibah, entah itu penyakit, atau yang lainnya. Kita bisa belajar dari kisah Fatma dan Aisyah. Meski aisyah adalah seorang anak kecil, tetapi dia bisa bersabar dan bersyukur atas apa yang menimpanya. Penyakit kanker yang dideritanya tidak membuat ia marah kepada Allah, berputus asa, tidak mau beribadah, dan tetap taat atas perintah-Nya, terutama masalah Hijab. Sosok Aisyah telah menjadi inspirator bagi Hanum dan Dewi untuk menggunakan hijab. Ia kecewa ketika melihat Hanum tidak menggunakan jilbab padahal seorang muslim, dia pula yang mengajarkan kepada Dewi pertama kali berjilbab, bahkan saat detik-detik kematiannya dia masih mengingat hijabnya, dia masih sempat meminta kepada ibunya untuk memakaikan hijab d kepalanya menutupi kepalanya yang botak karena sakitnya. Ia berkata “saya malu bunda jika bertemu malaikat kepala saya kelihatan botak karena tidak berhijab”. Dari sini mengajarkan pula tentang keistiqomahan. Istiqomah memegang prinsip yang kita yakini, pahami sebagai sebuah kebenaran. Inilah yang banyak hilang dari ummat islam saat ini.

Inilah salah satu yang menjadi kritikan saya pada kita ummat islam dan juga kritikan tuk film ini. Kita sebagai ummat islam, terkadang mengetahui banyak hal, tetapi tidak memahami banyak hal. Mengapa? Karena saya rasa banyak hal dalam agama islam yang kita ketahui mulai dari hukumnya dan pelaksanaannya, tetapi kita tidak melaksanakannya. Olehnya itu, saya mengatakan bahwa kita tahu tapi tidak paham. Contoh pada film ini adalah mengenai hukum berhijab. Semua pemain dalam film ini tahu bahwa berhijab itu adalah sebuah kewajiban wanita muslim, namanya kewajiban maka wajib dilaksanakan dan itu diucapkan oleh pemain filmnya sendiri. Tahu kan? Tapi apakah ia paham? Tidak… kenapa? Jika mereka paham, maka mungkin ketika selesai atau mulai saat memerankan film tersebut mereka telah berhijab. Ingat pada film ini bagaimana anggunnya sosok fatma dengan hijabnya, tidak mengurangi kecantikannya hanya karena dia berhijab. Pun juga saat Hanum dengan aisyah memperbincangkan masalah hijab dan pada akhirnya Hanum di depan makam Aisyah berjanji menggunakan hijab seterusnya.

Ini berarti bahwa tidak semua kata yang diucapkan itu dipahami oleh si empunya yang ngomong. Selain itu, sebuah film mengajarkan pemirsanya untuk mengambil hikmah dari film tersebut, dihayati dan diselami maknanya, sehingga para pemainnya ditutuntut untuk bisa menghayati perannya, menampilkan adegan yang seperti keadaan sebenarnya. Tetapi apa yang terjadi dengan para pemainnya? Mengapa pemirsa alias penontonnya yang diharapkan bisa mengambil ibroh? Mengapa pemirsa yang diharapkan bisa larut dalam kisah? Mengapa tidak dengan pemainnya? Sudahkah mereka memmahami, meresapi karakter, kejadian, dari kisah yang diperankannya? Atau memang film dibuat just fun? Hanya menghibur? Kehilangan makna? Saya rasa tidak.. kalau misal para pemainnya bisa mengambil pelajaran dari setiap peran untuknya, maka akan banyak artis dan pemain film yang pada akhirnya bisa berhijab dengan baik. Mengapa? Bukankah itu yang mereka sering perankan? Mereka sampaikan? Bukankah sudah selayaknya mereka memaknainya? Memahaminya? Merenunginya? Atau…. Memang film just fatamorgana saja? Hanya euphoria? Hanya buat senang-senang saja alias menghibur? Lalu dimana disimpan kata memaknai?

Yah… mungkin akan kembali lagi bahwa urusan hidayah itu ada di tangan Allah. Dia-lah yang berhak memberikan hidayah pada siapa yang dikehendaki, kita manusia tidak bisa memaksa seseorang menadapatkan hidayah. Kita hanya bisa menasehati, memberitahu, urusan berubah, menerima, mendapat hidayah itu bukan wilayah kita. Namun hal yang ingin saya katakana bahwa, minimal dengan apa yang kita alami, atau kita perankan bisa kita maknai. Mungkin bukan langsung saat itu, tetapi akan berproses seiringnya waktu. Lagi..lagi… urusan hidayah… tetapi hidayah pun tidak akan datang tanpa adanya usaha. “Ketika kata tidak dimaknai, dan perbuatan tidak direnungi, dan kebenaran tidak diyakini”.

Masih ada pula yang mungkin saya ingin kritisi dari film ini dan juga film lainnya. Mengenai hijabnya. Saya teringat dengan siswa saya saat nonton bersama film “pondok buruk”. Salah seorang diantara mereka berceloteh “bu, kok cara berjilbabnya begitu? Itu kan salah? Rambutnya kelihatan, dadanya juga kelihatan lekuknya, lehernya pun juga Nampak”. Nah, disini perlunya ada orang yang langsung bisa memberikan pemahaman tentang apa yang disaksikan, bahwa tidak semua apa yang disaksikan, tampak baik itu adalah baik, peril ditelaah dulu, perlu dikritisi. Ada hal yang positif bisa diambil dari sebuah film, tetapi mungkin ada hal lain yang perlu dikritisi.

Apapun itu, tak ada hal di dunia ini yang sempurna. Itulah gunanya akal untuk menelaah. Tidak terkecuali dalam sebuah film. Yang jelas, film ini menarik, memberikan banyak pelajaran bagi kita, tentang peradaban islam, tentang ukhuwah, tentang saling menghargai, memahami, kesabaran, keistiqomahan, menerima kebenaran meski dari anak kecil sekalipun, dan masih banyak lagi. Dari sini, saya semakin bangga dengan agama ini, semakin penasaran dengan peradaban islam, semakin bersyukur dalam keimanan ini. Semoga islam tetap bisa mengukir sejarah peradaban dunia, membuka jendela pengetahuan, dan membentangkan taman-taman kebahagiaan, untukku, untukmu, untuk kita semua.

“Pengetahuan adalah pahit pada awalnya, tetapi manis seperti madu pada akhirnya.” 
Makassar, Dini Hari 6 Oktober 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap