30 Desember 2014. Penghujung tahun 2014. Saat banyak orang merencanakan tahun baru dengan meriah, ingin berkumpul, ingin berpesta, ingin bepergian. Ternyata Allah malah menghadiahi bumi dengan hujan deras yang tiada henti. Seakan hujan ini akan awet sebulan kemudian. Derasnya hujan, menghilangkan jejak kesedihan yang seharusnya kutampakkan. Arghhhh.... saya sok tegar lagi.
Kali ini, tak ada telpon yang kuterima. Artinya, dia telah tahu apa yang terjadi. Dan saya pun rasanya tidak sanggup berbicara padanya. Mungkin dia akan menampakkan biasa-biasa saja, meski kutahu sebenarnya dia merasa sedih. Tetapi, mungkin dia Cuma menyembunyikan karena tak mau tampak kalau lagi brsedih atau mungkin karena tidak mau menampakkan padaku bahwa dia tak apa-apa. Sama halnya dengan diriku, berusaha tampak tak apa-apa meski apa-apa. Kutahu, ada sedih disana, ada kecewa disana, ada harapan yang hilang, ada keinginan yang tak terwujud, ada mimpin yang hilang, ada kebanggaan yang memudar. Saya tahu itu.. saya paham itu.. saya mengerti hal itu.. dan saya sangat sedih dengan semua itu...
Ibu.... maafkan aku... lagi.. dan lagi... hanya kecewa yang kuhadiahkan kepadamu. Hanya kegagalan yang kupersembahkan kepadamu. Hanya kosong yang kuberikan kepadamu. Tak ada yang bisa kubingkiskan kepadamu diusiaku sampai sekarang ini. Di usiamu yang semakin tua dan ingin melihat anak-anakmu sukses. Ibu.. maafkan aku.. maafkan atas segala kesalahnaku.. maafkan atas segala kegagalanku.. maafkan atas segala keegoisanku.. maafkan segala kecongkakaan yang mungkin menggelayutiku.. maafkan atas segala sikap keras kepalaku... maafkan ankmu yang sampai sekarang belum membuatmu bahagia. Maafkan anakmu yang sampai sekarang belum bisa membuatmu tersenyum bangga. Ibu... maafkan anakmu ini.. maaf.. hanya kado kegagalan yang kembali kuhadiahkan di akhir tahun ini.. :’( :’( :’(
Ibu... entah tak ada kata yang bisa kukatakan kepadamu. Meski untuk menelponmu pun rasanya tak sanggup. Saya tak sanggup sok tegar di hadapanmu. Sok karang yang keras. Saya tetap sombong tampak kuat di hadapanmu. Saya tidak mau runtuh di hadapanmu. Biarlah.. engkau tetap menganggap dan melihat anakmu ini adalah karang yang tetap keras dan kuat. Biarlah itu yang ada di benakmu. Ibu,.. maaf.. ku tak sanggup menangis di hadapanmu... juga.. tak sanggup melihat gurat sedihmu.. apalagi tangismu... ibu,.. mungkin sayalah anak yang belum bisa berbakti, belum bisa membahagiakanmu di umurku sampai sekarang ini. Maaf... anakmu ini sudah tua di umur, tetapi masih kekanak-kanakan dalam sikap. :’(
Ibu... maafkan sikap keras kepalaku.. tapi ku yakin, engkau selalu memahamiku.. trima kasih ibu... ayah... tak ada yang bisa kudeskripsikan untukmu. Tak sanggup menjelaskan dengan untaian kata untuk menunjukkan sedih dan sesalku. Maafkan aku jika, keras kepalaku adalah sebuah alasan menghindar karenamu. Maafkan anakmu ini... mungkin sayalah anak yang paling banyak berdosa kepadamu.. ayah... meski dengan sekuat karang kucoba memasang ketegasan dan kekerasanku, tetap saja semua tumbang... bagaimanapun, perasaan seorang anak akan mengalahkan segalanya...
Hujan makin deras.. sederas air mata yang sedari tadi berlarian. Jika bisa, saya ingin berjalan di bawah derasnya hujan agar orang tidak tahu betapa derasnya airmata ku. Desemberku... benar... Desember kelabu... :'(
BDI, 3o Des 14
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar