Makassar di warnai gelap. Mendadak kota yang biasanya ramai dengan gemerlap lampu, menjadi kota sepi. Sejak mentari merangkak terbenam, nikmat listrik pun hilang. Bahkan pesawat yang melewati kota ini berjalan pelan, seakan takut mengusik sunyi. Kalau begini, serasa ada di pedesaan yang jauh dari hiruk-pikuk keamaian. Terkadang, saya suka seperti ini.
Lama tak duduk disini. Mungkin karena hujan sering mengusirku. Saya tidak ingat kapan terakhir ke tempat ini. Ini tempatku membuang sepi. Meski disini yang menemaniku juga sepi hahahahahha.... namun, setidaknya disini hatiku terayun, sellau takjub, takzim dengan segala ke-Maha-besar-an allah. Seperti kali ini. Menengadah langit malam yang diwarnai bintang. Bukankah dengan memandangnya, dirimu akan takjub dan sadar betapa kecilnya kuasa manusia?
Di langit sana tetap dihiasi bintang. Dengan rasinya masing-masing, mereka berderet dan berpijar. Memandang langit seperti ini, yang kuingat adalah masa kecilku lebih 20 tahun yang lalu. Ketika malam tiba, bukan penghalang bagi kami tuk tetap menikmati masa anak-anak dengan bermain. Walaupun samapai dimarahi, tetap saja kami bandel. Berlarian di luar rumah, berkejaran di lapangan, bersembunyi dan tertawa. Setelah lelah, akan berbaring di rerumputan atau di tepi jalan yang baru beraspal memandang langit yang ditaburi bintang. Sesekali, bulan pun ikut menyapa. Jika sudah seperti itu, saling berlomba mencari rasi bntng tertentu atau mencari bintang yang paling terang. Yang kuingat bahwa terkadang bersama teman mainku, terkadang pula bersama orang tuaku. Itulah salah satu masa terindah yang kukenang.
Keadaan langit saat itu, beda dengan sekarang. Kulihat wajah langit tak secerah 20 tahun yang lalu. Apakah selama itu tak pernah kumemandang langit, hingga baru menyadarinya sekarang?. Dulu, ketika langit ditaburi bintang, kami tak bisa menghitungnya. Ada banayk, berdekatan dan bertumpuk-tumpuk. Olehnya, karena tak bisa menghitung, kami punya peluang menunjuk dan memilih bintang sebanyak yang kami suka. Itulah dulu mengapa saya suka di bawah langit malam. Sekarang, yang kusaksikan adalah langit seakan murung. Seperti perkotaan yang ditinggal pergi penghuninya. Tak lagi penuh kerlap-kerlip. Disana, tak lagi banyak bintang yang menghiasi langit. Mungkin jika ingin menghitungnya pun bisa. Langit telah kehilangan banyak kiluannya.
Apakah ini evolusi bintang?. Waktu SMA dulu, kelas 2 belajar fisika tentang benda langit. Saya suka belajar fisika, selain menarik, juga gurunya yang baik hati “pak Rahmat”. Guru fisika terbaik yang pernah mengajariku fisika selama 2 tahun. Beliau berkata bahwa bintang, meski adalah benda langit yang memancarkan cahayanya sendiri, tetapi bintang memiliki usia untuk berpijar. Semakin lama sebuah bintang akan semakin lemah untuk memancarkan sinar dan lama kelamaan akan semakin redup dan mati. Karena itukah bintang sekarang semakin sedikit? Sudah pada menuakah bintang?. Berarti dunia ini pun makin menua. Kalau begitu (mungkin) 20 tahun kedepan bintang akan masuk dalam benda langka. Bisa jadi bisa dihitung dengan jemari. Ohhh... betapa kurang menyenangkannya generasi di masa itu. Langitnya tampak sepi, tidak menyaksikan kemilau langit ditaburi bintang. Tidak disuguhi sebuah pemandangan maha karya dari sang pencipta. Seperti ada di pedesaan sangat terpencil yang hanya dihuni beberapa penduduk. Itu ditandai dengan makin langkanya kerlip bintang di atas langit yang menaunginya.
Bintang pun menua. Bintang pun punya masa “game over”. Bintang pun berevolusi. Layaknya bintang, bukankah demikian pula manusia? Punya masa jaya, punya masa game over. Lalu apa yang sudah kita siapkan??
#silent #ingatDoMinJoon #refleksi BDI, 16-04-15.
#silent #ingatDoMinJoon #refleksi BDI, 16-04-15.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar