“Kalau sebelum 30 idealis itu hebat. Namun jika sudah 30 masih idealis, itu TERLALU”
Kata itu pernah disampaikan oleh salah seorang teman ketika berdiskusi via BBM. Saat itu membahas tentang kekejaman mereka yang ada di dunia nepotisme. Bagi yang punya banyak kerabat, maka tak masalah. Jalan bagi mereka akan mulus. Beda dengan mereka yang tidak punya siapa-siapa dan hanya mengandalkan kemampuan diri. Mesti tahu diri. Mana ada yang mau melirik jika tak punya kekerabatan? Atau keakraban? Atau keuangan?. Kalau ketiganya tak punya, silahkan gigit jari saja. Orang yang bisanya melalui jalur yang biasa saja, jalur yang lurus-lurus saja, mengandalkan kemampuan diri akan tetap bergelut dengan idealismenya.
Saat itu, berdiskusi tentang runyamnya pelaksanaan cpns yang masih banyak dibayangi oleh nepotisme. Mereka yang punya pegangan di dalam-lah yang akan lulus. Ada yang lulus murni, jika saingannya tak ada orang dalam (punya tangan oarang dalam), kalau ada maka silahkan saja tahu diri dengan tidak begitu berharap. Sekarang masih banyak orang yang dengan mudah bahkan dengan tega dzalim terhadap orang lain. Dengan kemampuan link di dalam, mengambil hak orang lain yang seharusnya lulus. Bukankah itu berbuat dzalim? Bukankah itu memakan hak orang lain? Tapi sekarang mana ada yang peduli?. Berprinsip bahwa betapa pun, akan lulus dengan kemampuan sendiri, dengan jalan lurus, lulus murni, tidak menikung hak orang lain, dan tidak karena ada apa-apanya. Itulah idealis. Kata temanku, wajar jika idealis dengan umurmu yang masih segitu. Namun, jika sudah 30 masih juga idealis seperti itu, itulah namanya terlalu. Hahahaha.... temanku yang satu itu memang rada sadis sekali ngomong. Tetapi, rasanya kebanyakan orang berpikiran begitu. Seakan 30 adalah patokan seseorang bisa menopang leher tinggi2 untuk tetap idealis. Iyakah..?
Selanjutnya yang kudengar dari orang-orang dengan angka 30 berkaitan dengan jodoh. Hufftt... lagi-lagi masalah jodoh (tertampar lagi nih kayaknya wkwkwkwk..). sudah menjadi kesimpulan di masyarakat bahwa umur 30 adalah umur was-was. Why? Ini berkaitan dengan jodoh. Katanya jika sampai umur segitu belum juga menemukan jodoh, maka perlu was-was. Sudah warning katanya. Lagi, katanya kalau umur segitu sudah jarang laki-laki yang melirik wanita umur sebegitu. Iyakah? I don’t know that. But.. maybe it's really #kataorang. Mungkin ini ada kaitannya dengan masa reproduksi bagi seorang perempuan. Ahh... lagi-lagi orang terjebak pada diskriminasi status dalam masyarakat. Rasanya tidak ada orang yang ingin melajang di dunia ini. Jika ada yang dengan umur berapapun masih juga melajang, tentulah mereka punya alasan. Mereka memilih menkah, melajang bukankah itu adalah hak masing2?.
Namun masyarakat tetap saja mendiskriminasi status. Jadilah 30 sebagai parameter idealisnya seorang perempuan. Jika di bawah 30 masih idealis menentukan jodoh harus begini dan begitu, wajar... namun jika sudah 30 masih juga idealis harus begini dan begitu, itu namanya terlalu. Begitu katanya. Sehingga muncullah analogi begini: umur 18-21 tahun, siapakah saya? Belum jadi apa-apa, siapa yang mau?. Umur 22-27 tahun, siapa sih kamu berani-beraninya mau sama saya. Umur 28-30 tahun, siapa yang mau, asalkan..... umur 30 tahun keatas, siapa saja, asal mau sama saya. Bahkan lebih parahnya ada yang mengatakan begini: siapa saja, asalkan laki-laki. Wetzz.. sadis....
Selanjutnya yang kudengar dari orang-orang dengan angka 30 berkaitan dengan jodoh. Hufftt... lagi-lagi masalah jodoh (tertampar lagi nih kayaknya wkwkwkwk..). sudah menjadi kesimpulan di masyarakat bahwa umur 30 adalah umur was-was. Why? Ini berkaitan dengan jodoh. Katanya jika sampai umur segitu belum juga menemukan jodoh, maka perlu was-was. Sudah warning katanya. Lagi, katanya kalau umur segitu sudah jarang laki-laki yang melirik wanita umur sebegitu. Iyakah? I don’t know that. But.. maybe it's really #kataorang. Mungkin ini ada kaitannya dengan masa reproduksi bagi seorang perempuan. Ahh... lagi-lagi orang terjebak pada diskriminasi status dalam masyarakat. Rasanya tidak ada orang yang ingin melajang di dunia ini. Jika ada yang dengan umur berapapun masih juga melajang, tentulah mereka punya alasan. Mereka memilih menkah, melajang bukankah itu adalah hak masing2?.
Namun masyarakat tetap saja mendiskriminasi status. Jadilah 30 sebagai parameter idealisnya seorang perempuan. Jika di bawah 30 masih idealis menentukan jodoh harus begini dan begitu, wajar... namun jika sudah 30 masih juga idealis harus begini dan begitu, itu namanya terlalu. Begitu katanya. Sehingga muncullah analogi begini: umur 18-21 tahun, siapakah saya? Belum jadi apa-apa, siapa yang mau?. Umur 22-27 tahun, siapa sih kamu berani-beraninya mau sama saya. Umur 28-30 tahun, siapa yang mau, asalkan..... umur 30 tahun keatas, siapa saja, asal mau sama saya. Bahkan lebih parahnya ada yang mengatakan begini: siapa saja, asalkan laki-laki. Wetzz.. sadis....
Begitukah takaran idealis? Dibatasi oleh angka 30?
#tanyadiam
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar