Ketika rasa iri begitu pelan
merayapi. Apa yang mesti dilakukan?
Iri adalah ekspresi diri. Namun,
acapkali iri sering dikonotasikan negative oleh orang. Padahal ada juga iri
yang baik. Apakah itu? Ketika iri kepada orang lain yang melakukan amal
kebaikan, iri terhadap keberhasilan orang lain, dan iri terhadap kesuksesan
orang lain. Loh kok? Tapi, bukan berarti dengan iri itu membuatnya mencaci,
mengejek, menjatuhkan, atau hal lainnya. Tapi rasa iri yang dimiliki membuatnya
juga terpacu untuk melakukan hal yang sama atau lebih dari itu. Itulah iri yang
baik. Ketika melihat orang lain bersibuk ria dengan amal kebajikannya, maka
dibenaknya muncul rasa iri untuk juga melakukan amal kebajikan. Melihat orang
mendapatkan kesuksesan, juga terbetik iri padanya untuk meraih kesuksesan pula.
Bagaimana memenej agar iri yang dimiliki bermuatan positif?
Karena bukan hal yang mudah bahkan tanpa kita sadari, rasa iri itu muncul, dan
menjadikan seseorang berpikiran negative pada orang lain. “ah.. dia sukses karena
memang ada keluarganya yang menariknya sukses”. :dia bisa kaya karena korupsi”.
“dia menyumbang ke panti asuhan karena mau dibilang dermawan”. Pikiran-pikiran
begitu seringkali mampir. Apa yang mesti dilakukan?/
Dasar yang perlu kita ingat bahwa
Allah telah mengatur rejeki setiap orang. Tidak ada satu makhluk pun di dunia
ini yang diadakan tanpa jatah rejeki. Jadi tak perlu ragu bahwa rejeki kita
taka da atau allah tidak adil pada kita. Hewan saja yang tidak punya akal,
tetap saja tiap harinya tak pesimis dengan rejeki dari Allah. Mereka tetap saja
berkeliaran di muka bumi setiap harinya mencari rejeki. Bagaimana dengan
manusia yang punya akal? Punya cara untuk bekerja dan menghasilkan uang?
Mengapa masih ragu dengan nasibnya? Tidak yakin atas rejeki yang Allah bagikan
setiap harinya?
Karena tiap manusia telah mempunyai
rejeki masing, masing maka tak perlu khwatir, yang menjadi rejeki kita tak akan
diambil oleh orang lain. Namun, rejeki tak hanya duduk dam tuk mendapatkannya.
Ada yang namanya usaha. Lihatlah hewan, tetap saja berusaha mendatangi
rejekinya setiap hari, begitu pulalah manusia. Manusialah yang mesti menjemput
rejekinya. Bukan malah diam berpangku tangan. Karena rejeki itu tidak jatuh
sendiri dari langit, perlu tuk diusahakan. Bukankah Allah berkata:
“tidak akan berubah nasib suatu kaum,
sampai mereka sendri yang mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”
Artinya apa? Segala sesuatu punya
usaha. Ingin berubah? Perlu usaha. Ingin sukses, perlu usaha. Perlu bahagia,
perlu usaha. Perlu makan, perlu usaha. Perlu materi perlu usaha. Dan perlu
hidup pun perlu usaha. Tak ada makhluk yang bisa hidup tanpa usaha untuk
mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, rejekimu pun perlu usaha. Nah, sudah
sampai seberapa jauh. Seberapa keras, dan seberapa kuat usahamu? Jangan sampai
harapan tak berbanding lurus dengan usaha. Berharap mendapatkan sesuatu tetapi
tak punya usaha mendapatkannya. Itu namanya bagai pungguk merindukan bulan.
Sudah berusaha namun keadaan masih
saja sama? Coba koreksi diri. Bisa jadi, usaha kita yang belum maksimal. Atau bisa
jadi pengharapan kita yang belum kuat pada sang pemberi. Atau kita masih perlu
belajar bersabar.bersabar? sampai kapan? Sabar itu tak berbatas, jika berbatas,
maka belum dinamakan sabar. Bisa jadi, Allah masih menginginkan kita bersabar
untuk tetap tekun dengan usaha kita. Apakah Allah itu tidak adil? Memberikan
cobaan yang berlebihan kepada kita? Sedangkan ada orang lain yang cepat sekali
mendapatkan apa yang mereka inginkan. Allah sama sekali tidak pernah dzalim
pada hamba-Nya. Meskipun musibah sekalipun bukanlah hal yang akan membuat Allah ingin membeda-bedakan
hamba-Nya. Tiap orang punya cerita. Tiap orang punya jalan, tiap orang punya
kisah. Tiap orang punya rejeki. Jalan kita berbeda dari orang lain. Alur kita
berbeda dengan orang lain. Maka tak perlulah membandingkan diri dengan orang
lain, dan memaksa lan kita sama dengan mereka. Tentu kita punya jalan sendiri.
Punya rintangan sendiri. Punya masalah sendiri. Tinggal kitalah yang bergerak
melaluinya, apakah kita bisa keluar darinya dengan sukses atau malah kita
berlari akannya.
(mungkin) saat ini, hasil yang kita
peroleh belum sesuai dengan ekspektasi yang kita harapkan. Namun, sadarkah kita
bahwa tidak selalu yang kita harapkan akan menjadi yang terbaik untuk kita?
Sedangkan Allah memberi yang terbaik.
“boleh jadi kamu membenci sesuatu
namun menurut Allah itu yang terbaik untukmu. Dan boleh jadi kamu menyukai
sesuatu, nama tidak baik menurut Allah”
Nah, bisa jadi apa yang kita ekspektasikan
bukanlah yan terbaik untuk kita, makanya belum juga terwujud. Namun bukan
berarti jadi apatis loh ya. “ah, sudahlah.. Allah yang ngatur semuanya.. kalau
gitu saya tak perlu berbuat, tunggu saja terjadi maka terjadi”. Dan (mungkin)
pula, yang kita harapkan belum terwujud karena Allah masih ingin kita
berproses. Apakah kita bersabar dan tetap berpikir positif?
“Dan sungguh kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas" (Adh-Dhuha:5)
“Dan bersabarlah menunggu ketetapan Tuhanmu, karena sesungguhnya engkau berda dalam pengawasan Kami" (ath-Thur:48)
Penting juga untuk kita pikirkan,
selama ini, sampai sekarang ini, sudah berapa banyak keajaiban yang diberikan
oleh Allah kepada kita? Telah berapa banyak rejeki yang tak kita sangka
diberikan kepada kita? Telah berapa kesengan yang tidak kita sadari telah kita
dapatkan? Pernahkah kita menghitung semuanya? Alangkah banyaknya? Alangkah maha
pemurahnya Allah. Nikmat yang diberikan kepada kita termata sangat banyak dan
besar. Kita sajalah yang sering lupa, lalai dan tidak sadar. Terkadang di masa
lalu, ada hal yang tidak mungkin bagi kita menjadi kenyataan. Hal yang tak
terpikirkan menjadi bagian kita ternyata Allah berkenan menjadikan kita berhak
akannya. Sungguh, Nikmat Allah itu sangat banyak dan berlimpah.
“jika kamu ingin menghitung nikmat
yang diberikan oleh Allah, Bahkan jika seluruh air yang ada di lautan dijadikan
tinta untuk menulis segala nikmat yang diberikan oleh Allah, maka niscaaya kamu
tidak dapat menghitungnya.”.
Maka nikmat yang mana lagi yang akan
kita dustakan? Nikmat sehat? Nikmat hidup? Nikmat harta? Nikmat sabar? Nikmat
kesemptan? Nikmat iman?
“fabiayyi alaa irabbi kumaa
tukattsiban”
“maka nikmat Allah yang manalagi yang
akan kau dustakan?”
Masihkah kita ingin menyangkal
pemberiannya? Masihkah kita tidak terima dengan apa yang telah kita peroleh?
Hayya Nasykurullah..
21 Ramadhan 1436 H, @GIL
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar