Langsung ke konten utama

Media sosial, makin sosial atau individualis?

Media sosial sudah menjadi gaya pop sekarang ini. Hampir bisa dikatakan bahwa semua orang yang kenal dan berinteraksi dengan dunia maya mempunyai akun media sosial entah itu facebook, twitter, instagram, path, line, dll. Hingga dunia pun berubah. Kebisaaaan, pengetahuan, bahkan silaturrahim pun punya gaya baru. Meski tak ketemu di dunia nyata, ada dunia maya yang bisa jadi pelipur. Apa sih yang tidak saat ini? Bukan hanya mengandalkan sms atau telpon, sudah ada media yang semakin membuat dunia makin sempit, jarak makin dekat, dan pengetahuan makin mudah. Itulah keuntungan dari perkembangan teknologi.

Bukan hanya itu, sekarang janjian pun tak lagi khawatir tidak ketemu, kesasar atau apalah. Ada medsos bisa jadi media bertukar info dan tempat, ada map yang bisa jadi pemandu. Ingin tahu kabar teman pun tak lagi bersusah payah ngirim surat yang sampai berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Tinggal online, buka medsos, maka lihatlah status teman-teman kita. Teman yang terpisah dengan jarak, atau mungkin karena tuntutan hidup mudah ditemukan, search aja, beres. Bahan menunggu yang dulunya sangat membosankan, sedikit bergeser menjadi sesuatu yang bisa, ada medsos yang bisaa menemani berselancar chat and share dengan teman-teman kita. Ahh… dunia makin mudah saja.

Tetapi apa kelemahan dari makin maraknya media sosial?. Media sosial, dengan arti sederhananya seharusnya bisa membuat dunia individualistik semakin berkurang dan berganti dunia penuh sosialis. Yang berarti silaturrahim dengan teman, kerabat, kenalan semakin erat, luas dan berasa. Apakah seperti itu yang dirasakan oleh pengguna medsos? Mari diteliti di sekitar kita. Justru dengan kecanduan medsos membuat orang terlihat “autis” dengan dunianya sendiri. Asal lagi bermedsos ria, yang di sekitar tak perlu dipeduli. Asyik ketawa sendiri, senyum sendiri, serius sendiri. Ketemuan untuk meleburkan kerinduan, yang terjadi malah kerinduan jadi barang hambar. Mereka pada sibuk ria dengan gadget ditangannya, asyik chat and share. Mempunyai banyak teman di dunia maya, tapi sayang di dunia nyata teman dicuekin. Sibuk memperluas pertemanan di medsos, tapi silaturrahim dengan teman di dunia nyata malah jadi garing. Ber-say hello dengan temannya di dunia nyata, saling menyatakan kerinduan ingin bertemu, bersilaturrahim dengan masyghulnya di medsos, kangenlah, pengen ketemulah, ingin bercurhat ria-lah, eh.. pas ketemu keakraban malah menjadi aneh dan tak semesra di dunia maya. Bukankah arti sosial disini telah bergeser?.

Sosial mestinya tak memilah antara dunia nyata atau dunia maya. Dan mestinya pula diantara keduanya, dunia nyatalah yang bisa lebih dibuktikan karena disitulah kebenaran menjadi tampak dan tak memiliki sekat jarak dan ruang.

#silent @GIL Ramadhan 1436 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap