Langsung ke konten utama

Hijab I’m in Love

Bismillahirrahmanirrahim..........

Seorang anak kecil di sebuah kota kecil. Setiap hari nampak bersorak sorai, berlarian kesana-kemari. Saya adalah anak yang tomboy, mungkin karena keadaan yang membuatku seperti itu. Saya enam bersaudara, namun hanya dua yang perempuan, sedangkan saya dan kakak perempuanku terpaut lima tahun dengannya. Saat saya butuh teman untuk bermain, kakakku sudah mulai disibukkan sebagai anak gadis yang mesti membantu ibu mengurus rumah termasuk mengurus kami adik-adiknya. Makanya saya tidak punya teman bermain selain saudara laki-lakiku. Saya tidak tahu permainan anak perempuan seperti main tali, main rumah-rumahan, main bongkar pasang, main karet, karena yang saya tahu hanyalah permainan anak laki-laki, main tembak-tembakan, kasti, kelereng, do-mi-ka-do, dsb. Bahkan saya sampai ke hutan bersama saudara laki-lakiku dan teman-temannya hanya untuk mencari bambu untuk dijadikan tembak-tembakan, mencari bakal buah jambu untuk jadi pelurunya, mencari jambu monyet, berlarian di lapangan tembak tentara, bahkan sampai ke laut mencari kerang. Saya menikmati semua itu, sampai pada stigma oarng tuaku bahwa saya adalah anak yang tomboy.


Beranjak masuk SMP, saya menjadi sosok yang berubah. Nyaris tak pernah lagi saya bermain dengan anak lelaki, bahkan untuk menyapa pun tidak. Di sekolah, saya menjadi siswa yang sangat pendiam. Hanya orang-orang yang terdekat saja yang tahu bahwa sebenarnya saya itu tomboy dan rame. Jangankan teman lelaki, yang perempuan saja hanya beberapa orang yang dekat denganku. Saya pun mulai dikenal sebagai anak yang pendiam, lembut, dan kalem. Saya pun tidak mengerti dengan perubahan itu, namun semua berjalan seperti itu hingga saya masuk ke bangku SMA.

Saya mencoba masuk ke sekolah SMA yang berbeda dari sekolah kakak-kakakku. Kucoba mendaftar di sebuah sekolah favorit saat itu, dengan bermodal nekad mendaftar bersama teman SMP-ku, dan alhamdulillah saya lulus. Dan selanjutnya saya berpikir, apakah saya akan ikut dengan kakakku menggunakan jilbab?. Saya masih ragu. Orang tuaku tidak pernah menyuruhku untuk menggunakan jilbab, namun seperti hukum alam adik mesti ikut pada kakakknya. Jadilah saya mulai menggunakan jilbab ke sekolah.

Saat itu, jilbab belumlah menjadi pakaian yang banyak dipakai oleh orang. Bahkan di kota kecilku, orang yang berjilbab besar terkadang dianggap sebagai orang yang pembawa aib. Atau orang yang mepunyai aliran “lain” yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan. Dan saya saksikan jilbab hanya digunakan saat ke sekolah saja. Anak yang sekolah di madrasah Aliyah pun seperti itu, bahkan yang kuliah di sekolah Tinggi agama juga kusaksikan seperti itu. Jilbab hanya nyantol saat ke kampus saja, saat ke tetangga, ke rumah teman jilbab tak lagi nangkring di atas kepalanya. Itu yang saya tahu tentang jilbab. Jilbab hanya digunakan sebagai penutup kepala saat berada dalam situasi formal saja.

Saya tumbuh menjadi gadis sendirian. Kakak perempuanku, Aina sudah berhijrah ke Makassar, sebagai kota pendidikan bagi kami yang ada di daerah. Jadilah saya yang menggantikan posisinya membantu ibu mengurus rumah. Saya tetap menjadi anak yang pendiam bagi teman-temanku. Di sekitar rumah pun, saya mulai jarang keluar rumah walau hanya sekedar jalan-jalan atau ngobrol dengan tetangga. Apalagi rumahku di kelilingi oleh kost-kostan anak SMK dan rumahku sudah seperti markas bagi mereka untuk bersantai dan ngumpul. Tetapi mereka hanya asyik dengan keluargaku yang lain.

Saat liburan kuliah, kak Aina balik ke rumah. Saya sangat senang. Rasanya saya sudah sangat rindu dengannya, rindu untuk ribut bersama karena saya adalah adik yang tidak mau mengalah padanya. Ternyata bagimanapun kita tidak akur dengan saudara kita, jika berpisah disitulah kita sadar bahwa sebenarnya kita menyayanginya, kita merindukannya. Kak Aina datang membawa kejutan bagi keluargaku, dia semakin menjaga diri dan jarak dari yang namanya lelaki. Bukan itu saja, ada yang beda dengan jilbabnya. Kain penutup kepala itu sangat setia nyantol di kepalanya, walaupun di rumah dan ukurannya pun mulai besar dari sebelumnya. Saya tidak peduli dengan perubahan itu, karena bagiku itu tidak penting untuk dijadikan masalah. Namun tidak begitu dengan ibuku. Beliau risau melihat perubahan pada kak Aina, dia sampai berpikir kalau kak Aina sudah masuk dalam aliran aneh karena walaupun di rumah tetap menggunakan jilbab. Keheranan ibu makin bertambah karena jilbabnya kebanyakan warna gelap. Sudah panjang, gelap lagi. kalau keluar rumah pun mesti pakai kaos kaki. “ada-ada saja. ” itu kata ibu saat itu. Tidak hanya sampai disitu, kak Aina pun hanya asyik mendengarkan lagu-lagu nasyid dibandingkan lagu artis top saat itu, atau asyik dengan lantunan ayat-ayat sucinya. Dan kalau di rumah suara radio sangat keras dan hanya berisi lagu-lagu band, maka tunggu saja kak aina akan segera mengurangi volumenya sekecil mungkin bahkan tak segan ia mematikannya.

Mau tidak mau saya pun menjadi penasaran dengan kakakku. Bagaimana tidak, ibuku selalu ngomel-ngomel melihat kakakku seperti itu. Maklumlah, itu adalah hal yang baru di keluargaku. Pelan, saya cermati kakakku, saya lihat dia sudah banyak berubah dalam hal pergaulan. Kak Aina tidak seperti yang dulu lagi yang masih asyik ngobrol dengan lawan jenisnya. Dia makin khusyu dalam ibadahnya, sering saya dapati dia bangun tengah malam menunaikan shalat lail saat kami semua terlelap dalam mimpi. Diam-diam Saya kagum dengan perubahan itu. Namun satu hal yang masih tetap pada dirinya, yaitu sikap kerasnya. Apalagi dalam memegang teguh pendiriannya. Kak Aina terkadang bertengkar kecil dengan ibuku karena mempertahankan pemahamannya, ibuku pun orang yang keras maka wajarlah jika tidak ada yang mengalah. Saat pertengkaran kecil seperti itu, saya hanya bisa menjadi penonton, karena saya belum tahu apa-apa. Bahkan untuk menemani kak Aina dalam tangisannya pun saya tak bisa. Saya hanya memandanginya dalam diam, saya masih nol besar dalam pengetahuan agama. Dalam hati kecilku, saya membela kak Aina, saya kagum padanya, tetapi saya tak punya alasan kuat untuk membelanya.

Selama di kampung, kak Aina sering mengajakku ke rumah teman-temannya. Kak Aina menyebutnya sebagai “akhwat”. Di rumah itu saya diperkenalkan dengan banyak perempuan seperti kakakku, berjilbab besar, berkaos kaki, selalu baca Al-Qur’an dan amat penakut dengan lelaki. Itu yang saya simpulkan dari mereka. Bagaimana tidak, teman kak Aina mempunyai adik laki-laki, jika mau keluar kamar mesti izin pada orang yang ada di luar, ngobrol pun lewat kain yang katanya bernama “hijab”. Saya hanya manut saja, saya tidak mengerti dengan semuanya. Saat itu saya diberi hadiah buku oleh teman kakakku, buku cerpen karya Asma Nadia “Aisyah Putri”. Saya senang banget dengan pemberian itu. Tiba di rumah segera kulahap isi buku tersebut, dan citraku pada kakakku dan teman-temannya semakin baik. Tapi, masih banyak yang tak kumengerti dengan mereka. Tapi sudahlah, yang jelas saya tertarik dengan perilaku mereka.

Lebaran idul Fitri pun tiba, saya merindukan kak Aina, berharap ia pulang karena ingin kuberikan surprise padanya. Namun sayang kali ini dia tidak pulang. Lebaran pun kami lalui tanpanya. Pagi yang cerah diiringi suara takbir, kulangkahkan kakiku bersama ibu menuju lapangan Pesantren Modern Datuk Sulaeman. Keceriaan jelas terlihat di wajah orang-orang yang kutemui di jalan. Inilah hari kemenangan, hari penuh berkah, hari yang fitrah. Dalah hati, telah ada tekad yang kuukir. Tekad yang beberapa bulan ini kutata sedikit demi sedikit agar saya bisa siap dengan konsekuensinya. Usai shalat ku raih tangan ibuku, kucium dengan takzim sambil meminta maaf atas dosa dan kesalahan yang saya perbuat selama ini. Saya sedikit sadar bahwa selama ini saya masih sering tidak mendengar nasehat kedua orang tuaku terutama ibuku, karena ayah adalah orang yang pendiam, hampir tidak pernah ia memarahi kami apalagi memukul kami. Berbeda dengan ibu yang mendidik kami dengan displin, tegas dan keras.

Tiba di rumah, kami pun disibukkan dengan aktivitas rumah. saya membersihkan ruang tamu rumah kami yang kecil dan sederhana, maklum suasana lebaran biasanya tetangga atau teman akan lebih banyak datang. Selanjutnya saya lebih banyak membantu ibu di dapur. Di tengah kesibukanku membantu ibu, kutangkap tatapan aneh dari ibu, tetapi saya tetap saja menyibukkan diri hingga terdengar suara dari ibu

“suasana hari ini begitu panas. Udah, istirhat aja sana”
“iya bu, sebentar”
“ko dari tadi jilbabnya nggak dibuka-buka? Kan udah pulang dari shalat?”
“Nggak apa-apa bu”
“Tapi kan lagi panas banget?”

Saya hanya tersenyum mendengar perkataan ibu. Saya tidak mau berkata apa-apa dulu, biarlah tekadku ini terbaca dengan sendirinya oleh orang-orang yang ada di rumahku. Yah, sejak saat itu, saya sudah mulai mengenakan jilbab biarpun dalam rumah kalau lagi ada orang lain. Saya ingin seperti kakakku, dan dalam benakku “apa yang dikatakan orang kalau kakak pakai jilbab gede, sedangkan adiknya nggak. Pokoknya saya nggak mau dikatakan seperti itu”. Kutahu, ada resah dalam hati ibuku, entah karena apa. Apakah karena ia khawatir saya seperti kak Aini yang nyaris menutup semua tubuhnya?. Saya tidak pernah bertanya apapun kepada ibu. Intinya, saya masih merasa nyaman dengan jilbabku.

Tak terasa saya telah kelas dua SMA, dan saya bersyukur saya masih menggunakan jilbabku. Saya belum seperti kak Aini. Saya memang sedikit-sedikit ikut dalam kajian dengan temanku. Saat itu, ada dua organisasi yang sering mengajakku untuk bergabung dalam kajian. Tapi yah begitulah, saya masih saja diliputi rasa enggan untuk konsisten dan kontinu ikut kajian. Hanya kadang-kadang aja. Biar begitu, saya menambah wawasanku dengan melahap majalah-majalah islami, kalau lagi punya duit ya beli, tapi kalau tidak biasanya minjam sama teman, kebetulan dia juga suka banget dengan beli majalah. Saya pun akhirnya dekat dengan majalah Annida, Ummi, Tarbawi, dll.

Di kelas dua ini, kembali sekolah melakukan rolling kelas sesuai dengan prestasi di cawu ketiga. Saya harus menerima taqdir mesti turun kelas. Awalnya saya di kelas 1.2 namun karena di cawu 3 nilai fisika dan kimia anjlok, jadilah saya di kelas 2.3. gimana tidak anjlok, gurunya ngajar seperti tanpa suara biarpun duduknya paling depan. Gimana bisa ngerti?. Sedih rasanya, namun saya kembali bertekad untuk memacu diri jadi lebih baik.

Saat istirahat, kulihat salah salah seorang sahabatku, Lia sibuk sana-sini bersama pak Imran bapak pembina osis di sekolah kami. Sekilas kulihat mereka lagi berbicara serius, di samping mereka ada seseorang yang baru saya lihat di sekolah.dia menggunakan jas kuning. Saya yang awalnya ingin mengajak Lia ngobrol di depan kelasku, jadi mengurungkan niat. Bel masuk pun berbunyi, kami bergegas masuk ke dalam ruangan. Tak lama kemudian bapak pembina osis diiringi oarang yang berjas tadi masuk ke dalam kels kami. Saya pun bertanya-tanya dalam hati, ada apa gerangan?. Sejurus kemudian Pak Imran bersuara.

“anak-anakku, saya meminta waktunya sejenak untuk menyampaikan sebuah informasi penting. Semoga informasi ini bisa bermanfaat bagi kalian. “
“bersama saya, ada kakak kalian yang datang ingin mengajak kalian untuk mengikuti sebuah kegiatan. Kegiatan ini mirip dengan LDK. Kalau kalian berminat, silahkan mendaftarkan diri pada osis bagian kerohanian. Di kelas 2.2 ada Lia teman kalian bisa menjadi tempat kalian mendaftar. Kegiatan ini bernama Training Centre. Disini kalian akan mendapatkan banyak pelajaran berharga, sayang jika kalian lewatkan. Bapak sudah merasakan manfaatnya.”
“kegiatannya kapan pak?”
“hari sabtu nanti. Di SMA Muhammadiyah”
“apa yang mesti dipersiapkan pak”?
“perlengkapan menulis, pakaian, perlengkapan shalat. Seperti kalau LDK. kurang lebih begitu kan?” kata pak Imran sambil melirik orang berjas kuning tersebut.

Orang yang ditanya pun mengiyakan sambil tersenyum. Saya termasuk diantara orang yang tertarik ingin ikut kegiatan tersebut. Kedengarannya sih keren, ikut ahh..... katsaya dalam hati. Saya pun mengompori teman dekatku untuk ikut. Dan kelihatnnya banyak yang berminat. Namanya juga remaja, suka mencoba hal yang baru dan rasa penasarannya tinggi. He...he...

Hari sabtu, kami berkumpul di tempat itu. Walaupun masih satu kota dengan sekolahku, namun baru kali ini kuinjakkan kakiku disini. Kami berjumlah 12 orang. Semuanya adalah perempuan. Dalam hati, saya berkata “inilah petualangan baruku. Saya akan mendapatkan banyak hal yang baru”. Sore, kegiatan pembukaan pun dilangsungkan. Semua yang kulihat tak satupun yang kukenal. Ada banyak panitia, banyak pula kakak yang berjas sama dengan yang datang di sekolahku waktu itu. Setelah shalat maghrib, kami pun masuk ke dalam ruruangan yang katanya adalah “forum”. Walau nggak ngerti dengan istilah itu, tapi rasanya keren di telingsaya. “ahh.. benar-benar petualangan yang mengasyikkan” pikirku lagi.

Makan malam pun digelar. Tapi rasanya kok aneh gitu, kami dilarang makan dulu sebelum diperintahkan. Bukan hanya itu, kami hanya diberi waktu makan hanya 5 menit. Oh my GOD.. what happen..??. dan lebih mengerikan lagi adalah kami tidak boleh menyisakan sedikitpun nasi atau air minum. Kalau ada yang tersisa maka kami semua yang akan kena imbasnya, nasi digilir sampai habis. Wuuuahhhh.......... pikiran akan mendapatkan petualangan hebat tiba-tiba menjadi sirna.... tak ketinggalan pula kami dinasehati mengenai makanan. Cukup panjang penjelasan kakak itu, intinya “makanan adalah rezeki dari Allah, kita mesti bersyukur dengannya. Kita tidak boleh mubazzir karena itu sangat dibenci oleh Allah. Betapa banyak orang yang pengen makan tapi nggak punya makanan. Sedangkan kita yang punya makanan seenaknya membuang makanan yang ada di piring”. Saya mengiyakan dalam hati, tapi karena suasana yang tegang, membuat kata-kata itu tidak bisa kucerna dengan baik. Malam itu, menjadi malam pertama kami merasa dijajah. Makan diatur, tidur diatur, bersikap diatur, bahkan pakaian pun diatur. teman-temanku pada ngomel. Bahkan berencana untuk kabur dari kegiatan. Jadilah malam itu, kami bercurhat ria, dan kasuk-kusuk entah akan berbuat apa.

Kalau masalah pakaian, saya tidak begitu merasa canggung. Karena memang saya sudah terbiasa pakai jilbab di rumah. Cuma saja, tidak hanya jilbab yang mesi dipakai, tetapi juga rok lengkap dengan kaos kaki. Rasanya hidup ini ribet banget, wajar jika kami semua pada nggak betah dan pengen kabur. Malam itu, kami sudah berencana untuk kabur. Apalagi Ita yang sangat tomboy, sudah bertekad bulat untuk kabur. Kami menunggu sampai larut malam, sampai semuanya tertidur. Sekitar pukul dua dini hari, kami segera melaksanakan niat kami untuk kabur, dengan siasat yang duluan kabur adalah Ita, karena dialah yang paling pemberani diantara kami. Ita akhirnya keluar bersama Rahmah mengendap-endap keluar ruangan tempat kami beristirahat. Tujuannya adalah gerbang sekolah. Maksud kami, jika dalam beberapa menit Ita dan Rahmah tidak kembali maka dia sudah lolos dan kami yang lainnya akan kabur juga. Kami bersepuluh yang masih dalam ruangan menunggu dengan was-was sambil berdo’a semoga Ita dan Rahmah bisa kabur. Selang beberapa menit, terdengar suara riuh di luar, kami jadi panik lalu berpura-pura sedang tidur. Benar saja, pintu ruangan akhirnya dibuka.

“kenapa kamu mau kabur?. Apa tidak takut semalam ini berkeliaran seorang diri? Kamu kan gadis. Kalau diapa-apain sama orang gimana? Nggak takut? Pakai acara manjat pagar lagi?”
“tidak suka ya ikut kegiatan ini?”
“bukan begitu kak” jawab Ita dengan gugup
“lalu kenapa mau kabur?”
“saya hanya ingin pulang kak. Rindu dengan orang-orang di rumah” jawab Rahmah polos
“alasan... karena tidak suka kan dengan kegiatan ini?. Nantilah saya bilang sama kepala sekolah kalian, bahwa kalian kabur dari kegiatan ini. Biar diberikan peringatan”

Ita dan Rahmah hanya terdiam. Kami yang lainnya rasanya lama menarik nafas, kami merasa bersalah dan sekaligus takut. Dalam hatiku bergumam “inikah petualangan menyenangkan itu?. Ini menyenangkan apa menyeramkan sih?”. Belum selesai saya berdialog dengan diriku, terdengar suara yang membangunkan kami.

‘ayo.. semuanya bangun... sudah waktunya shalat lail...”
Apa......?? disuruh bangun..?? kami kan belum tidur...?? tapi apalah daya, mana berani kami membantah. Dengan malas dan mendongkol kami melangkahkan kaki menuju mesjid. Saya yakin saya sama dengan teman-temanku, ngantuk.. dan juga pengalaman pertama shalat lail.

Begitulah seterusnya yang kami jalani selama kegiatan itu. Ikhlas nggak ikhlas, mau nggak mau mesti dijalani semuanya walau hati mendongkol. Sudah aturannya banyak, nggak pake kompromi lagi.. ribet lagi... argghhhhhhhhhhh....... rasanya ingin segera menyelesaikan kegiatan ini. Kami yang tidak terbiasa menggunakan rok, kaos kaki, menghabiskan semua makanan di piring dengan bersih harus menjali semua itu. Bagiku, menggunakan jilbab terus-menerus saja sudahlah hebat, apalagi harus menggunakan rok yang lebar, kaos kaki, dan baju yang longgar. Sampai-sampai rahmah sempat nyelutuk

“kita nih kayak ondel-ondel aja. Dirias dikit lagi udah sama deh dengan ondel-ondel”.

Kami yang mendengarnya, serempak tertawa dan langsung melihat diri-diri kami. Orang yang slama ini nggak pernah berpakaian seperti itu tiba-tiba harus berpenampilan yang aneh bagi kami. Kalau saya, menggunakan jilbab sih sudah biasa, tetapi saya kadang masih pakai celana panjang. Dan kaos kaki? Yah, pake sih kalau ke sekolah aja...

Itulah yang kami jalani setiap harinya selama kegiatan. Hingga malam terakhir, saya dipanggil menuju sebuah ruangan lain. Disana sudah ada sosok yang duduk manis, tapi saya tidak mengenalinya karena ruangan itu hanya diterangi sebuah lilin kecil. Saya kemudian berpikir, saya mau diapain yah?. Ah.. bodo amat, karena saya disuruh ke sini, yah saya masuk saja. Belum beberapa langkah, terdengar suara keras seperti membentakku
“kalau masuk ke rumah orang, kayak gitu yah? Seperti sapi aja langsung nyelonong masuk”

Saya terkaget. Uupss... lupa, saya belum ngucapin salam. Yah, ketahuan deh kalau saya emang jarang ngucapin salam walaupun masuk rumah sendiri. Setelah kuucapkan salam. Saya disuruh duduk. Dan mulailah perjalanan rohaniku.

“apakah begitu setiap harinya jika masuk rumah tanpa memberi salam?”
Saya hanya terdiam. Kelu rasanya lidah ini menjawab sejujurnya.
“dek, rumah itu ibarat manusia, perlu untuk kita sapa setiap saat. Di dalam rumah, bukan hanya manusia saja yang menghuninya, tetapi ada makhluk lain di dalamnya. Adakah jaminan bahwa kita akan selalu terjaga dan terlindungi dengan sendirinya?. Kita perlu berlindung kepada Allah dari gangguan apapun, termasuk gangguan makhluk lain. Dengan mengucapkan salam ketika masuk rumah, itu sudah menjadi isyarat bahwa kita ingin berlindung kepada Allah, dengan meminta keselamatan kepada-Nya.”

Saya hanya terdiam menunduk, tiap kata kucerna dengan baik. Keheningan malam seperti melodi indah yang mengiringku khusyuk menikmati untaian nasehat itu. Walaupun, awalnya saya kaget dan merasa saya dibentak, tapi akhirnya nasehat itu bagaikan air jernih yang mengalir. Selanjutnya terdengar lagi pertanyaan untukku.

“apakah kamu nggak suka disuruh berjilbab? ”
“tidak kak”
“kamu berjilbab ke sekolah?”
“iya kak”
“di rumah?”
“iya kak”
“mengapa kamu berjilbab?”
“karena saya ingin megikuti kakakku?”
“karena itu?”
“iya”

Kudengar sosok di depanku menarik nafas panjang. Lalu kemudian dia mengamatiku. Lalu dengan pelan dia berkata.
“saya sangat senang karena kamu telah berjilbab. Itu artinya kamu sudah tidak merasa risih dengan jilbab yang kamu gunakan. Hanya saja, rasanya saya menangkap bahwa kamu berjilbab bukan ikhlas karena Allah, tetapi karena mau seperti kakakmu. Memangnya kakakmu dimana?”
“kakakku sekarang lagi kuliah, saya takjub padanya. Jilbabnya lebar indah tertiup angin. Dan saya tidak mau orang mengatakan saya beda dengan kakakku karena ia berjilbab sedangkan saya tidak, makanya saya juga harus berjilbab”
“apakah itu artinya kamu ikhlas berjilbab? Berjilbab karena tahu itu kewajiban?”

Saya hanya terdiam memaknai kata-katanya. Dalam hati kutanyakan diriku, ‘apa iya saya berjilbab karena itu kewajiban? Atau jangan-jangan karena memang saya jaim, nggak mau dibilang nggak seperti dengan kak Aini?. Ikhlaskah saya selama ini?”

“dek, jilbab itu adalah syariat dari Allah. Sudah menjadi ketentuan bahwa wanita manapun, kalau sudah baliq, wajib baginya menutup aurat. Namun, jilbab bukanlah gaya-gayaan, bukan jaim-jaiman, bukan main-mainan yang mudah saja dipakai dan akhirnya mudah pula dilepas. Jilbab adalah pakaian taqwa, menggunakannya adalah karena ikhlas kepada Allah dan sadar sesadar-sadarnya bahwa itulah syariat. Bukan karena keluarga kita berjilbab, maka kita ikut-ikutan, bukan karena kita bersekolah di tempat yang mesti berjilbab makanya kita berjilbab. Ingatlah dek, sesuatu yang baik tetapi dilakukan dengan jalan yang salah akhirnya menjadi tidak baik juga. Sesuatu yang baik tetapi dengan niat yang salah, kembalinya juga akan salah. Perbuatan itu tergantung niatnya. Ketika kita ikut-ikutan karena orang lain, maka yakinlah kita melakukan karena orang tersebut, bukan karena Allah.”

“perbaikilah niatmu. Pakailah jilbabmu karena memang engkau sadar bahwa itulah kewajibanmu. Hingga walaupun suatu saat orang yang menjadi alasanmu berjilbab berubah dan tidak berjlbab lagi, engkau tetap teguh menggunakan jilbabmu. Itu karena keimananmu.”

Tak terasa air mataku mengalir. Kata-kata itu seakan menghakimiku. Saya sangat malu. Malu sekali... malu pada diriku sendiri.. terlebih kepada Rabb-ku. Maafkan saya ya Rabb, saya telah melaksanakan perintah-Mu karena takut dengan omongan manusia, bukan karena kesadaran bahwa itu kewajibanku. Saya pun terisak.

“berjilbab itu bukan hanya sekedar memasang kain di atas kepala, tetapi untuk menutup aurat kita. Ingat ya dik, Allah itu memerintahkan untuk menutup aurat, bukan membungkus aurat. Makanya menutup aurat tidak hanya sekedar berjilbab, tetapi pakaian pun mesti kita ukur, sudah layak nggak disandingkan dengan jilbab?. Banyak orang berjilbab, tetapi tidak menutup auratnya dengan sempurnah. Itulah mengapa kami menyuruh kalian menggunakan rok, baju yang longgar, kaos kaki, agar kalian bisa menjadi muslimah yang sejati.”

“mungkin kalian menganggap bahwa kalian dipaksa menggunakan semua itu, tapi ketahuilah dik itu semua untuk kalain juga. Kami ingin melihat kalian pun berada pada barisan muslimah lainnya, terdepan dalam dakwah. Punya identitas bahwa memang kalian adalah muslimah. Semua yang kalian jalani saat ini hanyalah latihan. Bukan untuk memaksa kalian. Kami hanya ingin mengantarkan kalian untuk memahami apa yang kalian jalani. Toh, semua tergantung pada kalian. Janganlah berubah hanya karena kami. Karena kegiatan ini. Jadilah dirimu sendiri”.

Malam itu rasanya tak ingin kubiarkan berlalu. Saya ingin terus mendengar nasehat kakak itu. Sosok yang akhirnya akrab denganku. Kak Mala. Kata-katanya menjadi bahan renungan bagiku. Dan saya tidak sia-sia mengikuti kegiatan itu, karena saya menemukan makna dari banyak hal. Saya pulang dengan tekad bulatku, bahwa saya akan menjadi muslimah yang sejati. Saya tak akan berjilbab lagi hanya karena saya malu pada orang karena kakakku berjilbab sedangkan saya tidak. Insya Allah. Semoga Engkau selalu melimpahkan hidayah-Mu kepadaku..

Setelah Training Centre itu, bertambah heranlah ibuku. Saya yang sebelumnya hanya berjilbab saja, sekarang sudah ikut-ikutan sama dengan kak Aini. Keluar rumah mesti berkaos kaki, tak pernah lagi saya melirik celana panjangku untuk keluar rumah. Sedikit demi sedikit saya akan memperbaiki diriku menjadi muslimah yang kaffah. Saya pun ingin mengambil barisan dalam barisan dakwah. Saya pun semakin gencar ikut kajian, bahkan bukan hanya di satu tempat tetapi di 3 tempat. Rasanya saya haus dengan ilmu agama. Setiap pengajian tak ingin kulewatkan, amanah organisasi pun kusambut dengan baik. Hingga jadilah saya aktivis muda. Tak terlewatkan pula suara-suara sumbang tetangga yang membuat panas kuping ibuku. Mereka kok sewot kalau saya dan kakakku berjilbab di rumah, pakai kaos kaki, dll. Apa yang salah?. Mereka sampai ada yang ngomong, “biasanya kalau berjilbab besar, atau berjilbab terus, mesti dicurigai tuh, kali aja ada apa-apanya. Kan sudah banyak bukti, sampai yang tiba-tiba pakai cadar eh, cek percek... ternyata hamil di luar nikah. Pakai jilbabnya karena mau menutupi aib”. Wajar saja kalau telinga ibuku panas mendengar perkataan seperti itu. Sampai-sampai bawaannya selalu marah kalau melihat saya keluar rumah yang mesti pakai jilbab, lengkap dengan rok dan kaos kaki. Apalagi saya semakin sering keluar rumah untuk urusan organisasi. Bertambah lengkaplah kemarahan ibu kepadaku. Terkadang ibu marah-marah nggak jelas, urusan kecil langsung dibawa menjadi urusan besar dan tak lupa urusan jilbab dibawa-bawa. Tak jarang pula saya harus menangis ketika dimarahi oleh ibu, walaupun bukan karena urusan jilbab tetapi ujung-ujungnya disangkutpautkan dengan jilbab. Saya makin tak mengerti dengan ibu. Marah yang tidak jelas. Bahkan saya pun dilarang keluar rumah.

Siang itu, panas terik mentari di luar rumah terasa sampai ke dalam rumah. Saya yang baru saja pulang sekolah, setelah makan dan membersihkan dapur, saya masuk kamar dan membenahi buku sekolahku. Tiba-tiba ibu marah-marah. Saya tak tahu alasannya kenapa.

“banyak orang yang belajar agama, tetapi tidak sefanatik itu. Sampai kuliah di sekolah agama pun, biasa-biasa saja. Masih salaman dengan orang lain, tidak perlu pakai jilbab di sekitar rumah, masih juga pakai celana panjang. Mereka tidak merasa alim kok”

Saya yang mendengarnya kaget dan langsung merasa, yakin itu menyinggungku. Saya hanya diam saja mendengarnya.

“jangan karena baru kemaren sore belajar agama, sudah merasa bahwa tahu semuanya. Pakai jilbab itu wajar, tetapi pakai jilbab dalam rumah itu tidak wajar. Ke warung tetangga saja pakai jilbab, pakai rok, pakai kaos kaki pula. “

“bu, jilbab itu kan kewajiban. Dan punya syarat kapan digunakan. Memang seharusnya saya tak perlu makai jilbab dalam rumah, tetapi ibu tahu kan, rumah kita itu sering dikunjngi oleh teman-teman kakak. Semuanya laki-laki. Mereka bukan mahram bagiku, jadi wajar kalau saya pakai jilbab bu”

“ini kan sudah dalam rumah? Apa sih salahnya jilbabnya dilepas walaupun ada orang. Yang sekolah di IAIN saja nggak segitunya. Mana keluar mesti pakai kaos kaki, nggak ribet apa? Sudah seperti ninja. Lihat tuh, tetangga sudah banyak yang cerita”

“astaghfirullah bu.. tak ada jaminan orang yang sekolah di madrasah, kuliah di perguruan tinggi agama, yang bergelar S.Ag lebih ngerti tentang syariat. Saya bukan sok tahu ibu, saya hanya menjalankan apa hukum yang wajib bagiku. Saya pakai kaos kaki itu karena yang saya pahami, kaki pun adalah aurat, makanya saya mesti menggunakan kaos kaki menutupinya.”

“ibu,.. mungkin ibu marah karena banyak cerita tetangga yang nggak enak didengar, tapi bukankah itu penilaian manusia bu?. Biarkan saja mereka ngomong yang tidak-tidak, yang penting saya tidak seperti yang mereka katakan. Saya hanya melaksanakan apa yang kupahami sebagai kebenaran”

Mendengar penjelasanku, bukannya ibu mengerti, tetapi makin marah kepadaku. Nada suaranya makin meninggi. Mungkin ibu sudah bosan mendengar omongan orang-orang tentang kedua anak perempuannya yang lain dari yang lain. Ibu tidak mau mengalah dan mendengar penjelasanku. Sambil menangis kucoba memahamkan ibu, tetapi kayaknya ibu sudah sangat lama memendam kejengkelannya kepadaku. Kak Aini masih mendingan karena nggak tinggal bersama ibu, jadi nggak mendengar omelan ibu. Sayalah yang akhirnya menjadi sasaran kejengkelan ibu. Saya sangat sedih, saya tak tahu mesti mengucapkan apa lagi untuk membela diriku.

“kalau kamu masih mau seperti itu, lebih baik kamu pergi saja dari rumah. Cari rumah yang bisa menerimamu seperti itu. Silahkan pilih jilbabmu atau rumahmu!”

Saya kaget mendengar perkataan ibu. Setega itukah ibu padaku? Saya kan hanya menjalankan apa yang saya dapatkan sebagai kewajiban. Ya Rabb.. saya harus bagaimana? Kemana saya harus pergi? Saya punya teman, tapi manalah mungkin saya menumpang terus-menerus di rumah orang. Siapa yang akan membiayaiku?.

Air mataku makin mengalir deras. Entah saya harus berkata apa dan berbuat apa.

“lihat juga sekarang, kamu lebih memilih organisasimu daripada rumahmu sendiri. Selalu saja keluar. Pengajianlah, rapatlah. Inilah.. itulah... apakah kamu disuruh untuk seperti itu terus? Lihat saja sekolahmu akan hancur. Jarang orang yang aktif berorganisasi akan sukses di studinya.”
“yah, begitu saja. Kalau kamu mau memilih organisasimu, jilbabmu seperti itu, silahkan pilih antara itu dengan rumahmu”

Dari balik pintu kammarku, kakak pertamaku muncul. Dia heran mendapatiku sedang menangis dan melihat ibu yang sepertinya sangat marah kepadaku.
“ada apa ini? Ada apa lagi/”
“lihat ini adikmu, sudah merasa benar sendiri. Sudah lebih tahu dari ustadz. Yang dipikirkan hanya organisasi saja, mungkin sudah nggak peduli dengan sekolahnya.”

Kulihat kakakmu mengangguk pelan. Mungkin dia sudah mengerti persoalannya.
“bu,.. biarkan saja dia seperti itu. Toh dia juga tidak berbuat macam-macam. Tidak mempermalukan keluarga kita. Yang penting dia melaksanakannya dengan kemauannya sendiri” kata kakakku dengan pelan.
“masalah organisasi, kalau saya.. biarkan saja dia aktif organisasi. Diantara kami bersaudara, hanya dia yang aktif berorganisasi, tetapi diantara kami juga, dia yang bagus nilai rapornya. Jadi nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Yang dia lakukan itu kan baik, jadi biarkan saja.

Ibuku hanya terdiam. Diantara enam bersaudara, ibu paling mendengar perkataan kakakku itu. Ngomong apapun, selalu didengar, dan ibuku tidak pernah marah dengan setiap pendapat kakakku. Saya bersyukur, karena memiliki kakak seperti dia. Dia selalu menjadi penengah dalam keluarga kami. Dan untuk sementara saya merasa aman.

Ibu kemudian berlalu, sedang saya masih terisak di kamar sambil merenungi diriku yang begitu sulitnya hanya untuk melaksanakan syariat yang kupahami. Tapi, dalam hati saya akan bertekad bahwa, bagaimanapun ibu tidak setuju kepadaku, saya akan tetap menunjukkan sikap baik padanya. Saya akan menunjukkan bahwa saya bisa menjadi muslimah. Dan menjadi muslimah tidaklah menjadikan diri merasa menang sendiri. Saya akan selalu menghormati ibu, menyayanginya, berbakti padanya. Akan kutunjukkan bahwa apa yang saya gunakan tidaklah menghalangiku untuk menjadi lebih baik, lebih rajin. Dan organisasiku tidaklah menjadi penghalang bagiku untuk meraih prestasi di sekolah.

Sedikit demi sedikit, ibu akhirnya luwes kepadaku. Ibu melihat saya semakin rajin belajar, saya semakin rajin membantunya di rumah, saya semakin sopan padanya. Setiap saya pergi untuk urusan organisasi, saya selalu mengatakan kepadanya, dan ketika pulang saya menceritakan padanya apa yang saya alami. Saya menceritakan juga tentang teman-temanku, hingga walaupun teman-temanku nggak pernah datang ke rumah, tetapi mereka seperti sangat dekat dengan ibu. Itulah caraku menumbuhkan rasa percaya ibu kepadaku. Ibu tak lagi keberatan ketika saya mau bepergian, karena saya selalu mengatakan dengan jujur saya mau kemana, dengan siapa, dan dalam rangka apa. Saya pun menunjukkan kepada ibu, biarpun saya menggunakan jilbab, saya tetap rajin membantunya, prestasiku pun memuaskan. Saya senang dengan kepercayaan yang akhirnya kudapatkan dari ibu. Hingga akhirnya saya mesti meninggalkan kotaku untuk melanjutkan kuliah, ibu tidak masalah dengan itu, karena ibu telah percaya kepadaku. Ibu tidak pernah khawatir saya akan berbuat macam-macam. Ibu telah melihat selama ini saya bahkan tidak pernah membawa satu pun teman lelaki ke rumah, atau pernah mendengar saya bercerita tentang lelaki manapun, apalagi melihat saya berasyik ria dengan lelaki. Itulah yang membuat ibu yakin saya tidak akan berbuat yang macam-macam.

Tanggal 12 Desember 2012, adikku wisuda. Alhamdulillah ibuku datang untuk menghadirinya. Di kostan-ku, ibu asyik bercerita dengan teman-teman akhwat di pondokanku. Saya terhenyak pada kalimat ibu yang tak sengaja kudengar saat bercerita.

“saya sangat bersyukur. Saya punya dua anak gadis, tapi tak satupun yang membuatku risau. Saya tak pernah khawatir dengan mereka. Mereka bisa menjaga diri dengan baik, tidak seperti banyak anak gadis yang sukar dinasehati, sukar dijaga”

Alhamdulillah ya Rabb.. inilah buah dari sebuah kesabaran dalam melaksanakan perintah-Mu. Di setiap getirnya perjuangan, ada manisnya hikmah dibalut keindahan iman..

(Kisah yang pernah kutulis dan kukirim di sebuah lomba)
Ini Kisahku. Mana Kisahmu? whatever that.. always Say  Hijab I'm in Love

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap