Bapak...
Bagaimana kabarmu di alam sana?. Semoga Allah selalu merahmati, menyayangi, dan menerangi kuburmu. Hari ini, tepat setahun sudah kepergianmu meninggalkan kami di dunia. Yah, tepat setahun yang lalu.
Kuingat rasa yang lalu. Saat untuk pertama kalinya naik ambulance mengantarkan jenazahmu balik ke rumah. Dan hari itulah entah berapa banyak tangisan kukeluarkan. Sedih, sesak, dan menyesal. Kupikir esok masih ada kesempatanku menjadi anak berbakti untukmu. Kupikir masih ada waktu untukku membahagiakan dan memperhatikanmu di dunia. Nyatanya, saya harus bisa menerima bahwa Allah jauh lebih menyayangimu. Mungkin juga sebagai alasan agar sakit tak lagi mengrogotimu.
Bapak, 3 hari lalu saya dan ibu mengunjungimu. Seperti biasa yang kami lakukan, langsung membersihkan kuburanmu sambil tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tak butuh waktu lama kami berdua larut dalam tangisan masing-masing. Saya tak tahu apa yang dipikirkan ibu. Saya hanya tak bisa melihatnya menangis dengan pilu sambil terus mencabuti rumput. Sedangkan saya? Apa yang kupikirkan?. Tiap kali mengingatmu, kenangan masa kecillah yang bermunculan. Bagaimana engkau mengajari kami huruf, membaca, menulis, membawakan kami kapur, membuatkan kami bubur kelor hampir tiap hari, mengangkat kami ke tempat tidur kala ketiduran karena bermain. Dan yang selalu kurindukan saat bersama menanam atau ke gunung.
Selalu ada pilu kala mengingatmu. Apalagi rasanya saya belum berbuat dan memberi apapun sepanjang hidupmu. Bukan karena tak ikhlas, sungguh mengenangmu hanyalah cara tuk merindukanmu. Apalagi yang bisa kami lakukan kalau bukan merindukanmu sambil mendo'akanmu?.
Bapak... Kami rinduš
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu
Palopo, 5 Desember 2018.
Bagaimana kabarmu di alam sana?. Semoga Allah selalu merahmati, menyayangi, dan menerangi kuburmu. Hari ini, tepat setahun sudah kepergianmu meninggalkan kami di dunia. Yah, tepat setahun yang lalu.
Kuingat rasa yang lalu. Saat untuk pertama kalinya naik ambulance mengantarkan jenazahmu balik ke rumah. Dan hari itulah entah berapa banyak tangisan kukeluarkan. Sedih, sesak, dan menyesal. Kupikir esok masih ada kesempatanku menjadi anak berbakti untukmu. Kupikir masih ada waktu untukku membahagiakan dan memperhatikanmu di dunia. Nyatanya, saya harus bisa menerima bahwa Allah jauh lebih menyayangimu. Mungkin juga sebagai alasan agar sakit tak lagi mengrogotimu.
Bapak, 3 hari lalu saya dan ibu mengunjungimu. Seperti biasa yang kami lakukan, langsung membersihkan kuburanmu sambil tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tak butuh waktu lama kami berdua larut dalam tangisan masing-masing. Saya tak tahu apa yang dipikirkan ibu. Saya hanya tak bisa melihatnya menangis dengan pilu sambil terus mencabuti rumput. Sedangkan saya? Apa yang kupikirkan?. Tiap kali mengingatmu, kenangan masa kecillah yang bermunculan. Bagaimana engkau mengajari kami huruf, membaca, menulis, membawakan kami kapur, membuatkan kami bubur kelor hampir tiap hari, mengangkat kami ke tempat tidur kala ketiduran karena bermain. Dan yang selalu kurindukan saat bersama menanam atau ke gunung.
Selalu ada pilu kala mengingatmu. Apalagi rasanya saya belum berbuat dan memberi apapun sepanjang hidupmu. Bukan karena tak ikhlas, sungguh mengenangmu hanyalah cara tuk merindukanmu. Apalagi yang bisa kami lakukan kalau bukan merindukanmu sambil mendo'akanmu?.
Bapak... Kami rinduš
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu
Palopo, 5 Desember 2018.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar