Aku rindu. entah beberapa hari ini selalu saja berteman derai. entah ketika berada di rumah kala menyadari sosokmu telah tak ada namun kerja tanganmu masih terasa. Ataupun kala segala yang kuhadapi rasanya makin berat. Aku tak pandai bercerita ayah. Kadang lidah ini kelu saat ingin bercerita pada ibu. Atau ketika ingin bercerita dengan kakak. Aku masih sama seperti biasanya, nampak tegar dan sok tegar, tetapi diam-diam di balik dinding dan sepinya malam, derai selalu saja menemani. Aku masih selalu ingin tampak sempurna dan mandiri. Ingin menyibukkan diri agar hari berlalu terus dan terus tanpa kusadari. Tapi, siapa yang tahu kalau sebenarnya diri ini sangatlah rapuh?
Masalah demi masalah. Kejadian demi kejadian. emosi demi emosi silih berganti. Tawa, sedih, bahagia, merana, tersenyum, marah, harap, kesal, yakin, hancur, bercanda, dicerca, bersama, tak dianggap, diterima, dipermalukan. Semua telah mewarnai hari demi hari. Kadang begitu pongah berkata bisa melalui semuanya. Kenyataannya, aku tetap saja jadi yaya yang amat sangat mudah menangis di balik tirai tanpa mata.
Ayah, bisakah mengulang waktu. Mari kembali saja ke masa aku kecil dulu. Kita duduk di bawah langit malam bertabur bintang sambil menunjuk bintang dan rembulan. Bercerita banyak hal. Duduk sampai malam benar-benar memaksa kita tuk beranjak karena dinginnya. Ataukah kala kita naik ke gunung bersama. Menjejaki rerumputan dan rimbun pepohonan. Kadang mengambil kayu bakar bersama, atau hanya sekedar duduk-duduk menikmati segarnya panorama pegunungan.
Ayah, semoga rinduku tersampaikan. Do'a terbaik selalu untukmu. Semoga Allah selalu merahmatimu. Mohon, mintalah kepada Allah agar anakmu ini bisa lebih kuat.
Palopo, 26 Maret 2019. 01.17 a.m.
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar