Dunia ini tidaklah diciptakan untuk mendikotomikan antara perempuan dan laki-laki. Keduanya telah diciptakan dengan karakteristik masing-masing. Perempuan dengan kelemahlembutan dan penuh perasaan, sedangkan laki-laki dengan pemikiran logis dan ketegasan. Selalu saja ada bahan membicarakan tentang keduanya. Tidak ada yang lebih unggul antara satu dengan yang lainnya. Justru, diciptakan kedua jenis yang berbeda untuk saling melengkapi.
Bukan salah perempuan jika selalu terbawa perasaan dan mudah menangis, itulah caranya mengekspresikan dirinya sekaligus sebagai rem bagi laki-laki yang selalu memandang sesuatu secara logika. Dan bukan salah laki-laki jika selalu terlihat dingin dan tegas. Itulah sebagai patron bagi perempuan untuk tidak selalu terbawa dengan perasaannya. Lalu bagaimana keduanya bisa berjalan beriringan?. disinilah dibutuhkan keinginan dan pengetahuan untuk saling memahami. Tipikal yang berbeda tidak akan bisa saling memahami jika tak berusaha saling memahami. Berbeda pendapat pun bukan hal yang bisa dihindari. Begitulah proses saling melengkapi. Melengkapi berarti akan membuang sebahagian ego, mengesampingkan sedikit perasaan, dan mengabaikan sedikit kemauan. Tujuannya agar bisa saling memahami. Tak bisa jika ingin dilengkapi tapi tak bisa menerima. (pun) tak ada yang namanya melengkapi jika tak ingin memperbaiki. Semuanya lagi-lagi kembali ke keinginan untuk belajar dan berproses.
Bukan salah perempuan jika selalu terbawa perasaan dan mudah menangis, itulah caranya mengekspresikan dirinya sekaligus sebagai rem bagi laki-laki yang selalu memandang sesuatu secara logika. Dan bukan salah laki-laki jika selalu terlihat dingin dan tegas. Itulah sebagai patron bagi perempuan untuk tidak selalu terbawa dengan perasaannya. Lalu bagaimana keduanya bisa berjalan beriringan?. disinilah dibutuhkan keinginan dan pengetahuan untuk saling memahami. Tipikal yang berbeda tidak akan bisa saling memahami jika tak berusaha saling memahami. Berbeda pendapat pun bukan hal yang bisa dihindari. Begitulah proses saling melengkapi. Melengkapi berarti akan membuang sebahagian ego, mengesampingkan sedikit perasaan, dan mengabaikan sedikit kemauan. Tujuannya agar bisa saling memahami. Tak bisa jika ingin dilengkapi tapi tak bisa menerima. (pun) tak ada yang namanya melengkapi jika tak ingin memperbaiki. Semuanya lagi-lagi kembali ke keinginan untuk belajar dan berproses.
Bagaimana untuk belajar? Belajar tentu dengan ilmu. Dan ilmu tentu dengan dituntut. Ilmu mulai dituntut sejak kecil. Kita diajarkan tentang tata krama, kebiasaan, sopan santun, nilai-nilai agama, bahkan juga dengan membaca, menulis dan sebagainya. Masuk jenjang SD, SMP, dan SMA, bahkan sampai kuliah pun ilmu duniawi dan ukhrawi masih terus diperoleh. Meski memang dengan kondisi kurikulum saat ini, mengharuskan kita lebih banyak mencari ilmu ukhrawi melalui jalur lain; buku, kajian, komunitas, ta'lim, dsb. Yang jelas, berilmu itu penting. Apa sebenarnya inti dari sebuah ilmu? Bukankah justru ada yang mengambil konsentrasi ilmu tertentu tetapi tidak digunakan?. Bahkan ada yang berpendidikan tinggi justru ijazahnya tidak dipakai. Biasanya perempuanlah yang seperti ini. Inilah yang kemudian mengundang cuitan orang tuk berkomentar miring: sekolah tinggi-tinggi kok ijazah nggak dipakai?. Apakah memang pendidikan mengharuskan ijazah itu terlihat terpakai dengan adanya posisi dan jabatan?.
Beberapa kali, diskusi mengenai bagaimana sebaiknya perempuan memandang pendidikan. Dengan banyaknya asumsi yang melekat di masyarakat; Ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh nanti ujung-ujungnya ke dapur juga?. Atau asumsi yang lebih tajam lagi; Perempuan itu kalau pendidikannya tinggi, pasti mau menyaingi laki-laki deh. Nggak mau diperintah dan susah ngaturnya. Yang lebih ekstrim lagi nih, ada yang bilang: Perempuan, kalau sekolah tinggi-tinggi susah banget dapat jodoh. Secara lelaki itu tak mau kalau disaingi. Secara lelaki itu gimana gitu sama mereka. Asumsi Horor.
Laki-laki berpendidikan tinggi itu tidak salah, berarti perempuan berpendidikan tinggi pun tidak salah. Yang salah ketika menjadikan pendidikan sebagai bahan pengklasifikasian yang mana menang dan kalah. Atau dijadikan bahan unjuk diri bahwa pendidikannya tinggi, otomatis punya hak untuk tidak melakukan kewajibannya. Pendidikan pada dasarnya sebagai alat untuk menjadi lebih baik, entah ekonomi, sosial, ataupun pola pikir. Jika pun perempuan berpendidikan tinggi tetapi ijazahnya tidak terpakai, bukan sayang di ijazah. tetapi ilmu, pengetahuan, dan proses yang dijalani dalam menempuh pendidikan tersebut akan menempa pola pikirnya tuk menjadi lebih dewasa, mandiri, berfikir, dan juga bertindak. Ini aplikasi dan efek tidak langsung. Hanya saja banyak orang yang tidak menyadari dan mengakui itu.
Mari keluar dari segala bentuk asumsi horor yang kerap muncul. Sudah selayaknya kita memposisikan antara perempuan dan laki-laki sesuai dengan fitrahnya. Perempuan dengan fitrah melahirkan, menyusui, mengasuh, lemah lembut, menjadi madrasah pertama bagi anaknya. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga, mengayomi, memberi perlindungan, rasa nyaman, dan tegas.. Tetapi antara perempuan dan laki-laki dalam hal pendidikan tetap memiliki potensi yang sama untuk belajar, mengejar cita-cita, bekerja.
Perempuan memilih tidak bekerja karena ingin mengurus rumah tangga itu tidak masalah. itu artinya dia ingin berkarir di rumahnya, di wilayah domestiknya. Tetapi tatkala ada yang memilih bekerja juga di luar rumah, itu artinya dia ingin berkiprah tidak hanya di wilayah domestik tetapi juga di wilayah publik. Salahkah? Tidak salah, yang terpenting adalah menyadari fitrahnya sebagai perempuan, ada hal lain yang tetap menjadi tanggungjawabnya. Begitupun dengan laki-laki, mestinya bisa menyadari bahwa fungsi pendidikan dan pengasuhan dalam rumah tangga tidak hanya dibebankan kepada perempuan. Bukankah menjadi orang tua yang baik tatkala bisa bekerjasama, saling membantu dalam mengasuh anak?. Meski secara naluriah, anak lebih cenderung dekat dengan ibunya, tetapi sosok ayah tetap bisa melengkapi, membantu dalam proses pengasuhan itu. Yang salah kemudian adalah ketika seorang perempuan terjun di wilayah publik lalu melupakan dan mengabaikan kewajibannya di wilayah domestik. Apalagi jika berasumsi, "saya kan mencari uang, saya kan berpenghasilan, saya kan sibuk".
Entah terjun di wilayah publik, atau hanya di domestik, tak ada yang sia-sia dalam pendidikan seorang perempuan. pendidikan yang dikenyam adalah energi yang dimiliki dalam memperbaharui kehidupan yang akan dihadapinya. Tak perlu memperhadap-hadapkan antara laki-laki dan perempuan mana yang lebih berhak mengenyam pendidikan. (pun) tak perlu menghadap-hadapkan sesama perempuan yang hanya di wilayah domestik atau yang juga masuk wilayah publik, lalu kemudian mengkambinghtamkan pendidikan atau ijazah. Meski tak ada jaminan mereka yang berpendidikan tinggi lebih baik, tetapi paling tidak proses itu telah menempa mereka harusnya menjadi lebih baik. Meski seperti itupun, tidak mesti jenjang pendidikan perempuan harus sama dengan laki-laki. Tidak ada parameter yang mengharuskan dan melarang. Intinya, pendidikan itu penting. Entah dia laki-laki atau perempuan. Entah dia berijazah SMA, S1, S2, S3 atau yang lainnya. Entah berakhir dengan berkarir di kantor atau di rumah. Semua kembali ke: "apakah kita menerima proses dilengkapi dan melengkapi".
Yaya Afifatunnisa
18 November 2019
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar