Langsung ke konten utama

Melengkapi dan Dilengkapi

Dunia ini tidaklah diciptakan untuk mendikotomikan antara perempuan dan laki-laki. Keduanya telah diciptakan dengan karakteristik masing-masing. Perempuan dengan kelemahlembutan dan penuh perasaan, sedangkan laki-laki dengan pemikiran logis dan ketegasan. Selalu saja ada bahan membicarakan tentang keduanya. Tidak ada yang lebih unggul antara satu dengan yang lainnya. Justru, diciptakan kedua jenis yang berbeda untuk saling melengkapi.

Bukan salah perempuan jika selalu terbawa perasaan dan mudah menangis, itulah caranya mengekspresikan dirinya sekaligus sebagai rem bagi laki-laki yang selalu memandang sesuatu secara logika. Dan bukan salah laki-laki jika selalu terlihat dingin dan tegas. Itulah sebagai patron bagi perempuan untuk tidak selalu terbawa dengan perasaannya. Lalu bagaimana keduanya bisa berjalan beriringan?. disinilah dibutuhkan keinginan dan pengetahuan untuk saling memahami. Tipikal yang berbeda tidak akan bisa saling memahami jika tak berusaha saling memahami. Berbeda pendapat pun bukan hal yang bisa dihindari. Begitulah proses saling melengkapi. Melengkapi berarti akan membuang sebahagian ego, mengesampingkan sedikit perasaan, dan mengabaikan sedikit kemauan. Tujuannya agar bisa saling memahami. Tak bisa jika ingin dilengkapi tapi tak bisa menerima. (pun) tak ada yang namanya melengkapi jika tak ingin memperbaiki. Semuanya lagi-lagi kembali ke keinginan untuk belajar dan berproses.

Bagaimana untuk belajar? Belajar tentu dengan ilmu. Dan ilmu tentu dengan dituntut. Ilmu mulai dituntut sejak kecil. Kita diajarkan tentang tata krama, kebiasaan, sopan santun, nilai-nilai agama, bahkan juga dengan membaca, menulis dan sebagainya. Masuk jenjang SD, SMP, dan SMA, bahkan sampai kuliah pun ilmu duniawi dan ukhrawi masih terus diperoleh. Meski memang dengan kondisi kurikulum saat ini, mengharuskan kita lebih banyak mencari ilmu ukhrawi melalui jalur lain; buku, kajian, komunitas, ta'lim, dsb. Yang jelas, berilmu itu penting. Apa sebenarnya inti dari sebuah ilmu? Bukankah justru ada yang mengambil konsentrasi ilmu tertentu tetapi tidak digunakan?. Bahkan ada yang berpendidikan tinggi justru ijazahnya tidak dipakai. Biasanya perempuanlah yang seperti ini. Inilah yang kemudian mengundang cuitan orang tuk berkomentar miring: sekolah tinggi-tinggi kok ijazah nggak dipakai?. Apakah memang pendidikan mengharuskan ijazah itu terlihat terpakai dengan adanya posisi dan jabatan?.

Beberapa kali, diskusi mengenai bagaimana sebaiknya perempuan memandang pendidikan. Dengan banyaknya asumsi yang melekat di masyarakat; Ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh nanti ujung-ujungnya ke dapur juga?. Atau asumsi yang lebih tajam lagi; Perempuan itu kalau pendidikannya tinggi, pasti mau menyaingi laki-laki deh. Nggak mau diperintah dan susah ngaturnya. Yang lebih ekstrim lagi nih, ada yang bilang: Perempuan, kalau sekolah tinggi-tinggi susah banget dapat jodoh. Secara lelaki itu tak mau kalau disaingi. Secara lelaki itu gimana gitu sama mereka. Asumsi Horor.

Laki-laki berpendidikan tinggi itu tidak salah, berarti perempuan berpendidikan tinggi pun tidak salah. Yang salah ketika menjadikan pendidikan sebagai bahan pengklasifikasian yang mana menang dan kalah. Atau dijadikan bahan unjuk diri bahwa pendidikannya tinggi, otomatis punya hak untuk tidak melakukan kewajibannya. Pendidikan pada dasarnya sebagai alat untuk menjadi lebih baik, entah ekonomi, sosial, ataupun pola pikir. Jika pun perempuan berpendidikan tinggi tetapi ijazahnya tidak terpakai, bukan sayang di ijazah. tetapi ilmu, pengetahuan, dan proses yang dijalani dalam menempuh pendidikan tersebut akan menempa pola pikirnya tuk menjadi lebih dewasa, mandiri, berfikir, dan juga bertindak. Ini aplikasi dan efek tidak langsung. Hanya saja banyak orang yang tidak menyadari dan mengakui itu. 

Mari keluar dari segala bentuk asumsi horor yang kerap muncul. Sudah selayaknya kita memposisikan antara perempuan dan laki-laki sesuai dengan fitrahnya. Perempuan dengan fitrah melahirkan, menyusui, mengasuh, lemah lembut, menjadi madrasah pertama bagi anaknya. Laki-laki sebagai kepala rumah tangga, mengayomi, memberi perlindungan, rasa nyaman, dan tegas.. Tetapi antara perempuan dan laki-laki dalam hal pendidikan tetap memiliki potensi yang sama untuk belajar, mengejar cita-cita, bekerja.

Perempuan memilih tidak bekerja karena ingin mengurus rumah tangga itu tidak masalah. itu artinya dia ingin berkarir di rumahnya, di wilayah domestiknya. Tetapi tatkala ada yang memilih bekerja juga di luar rumah, itu artinya dia ingin berkiprah tidak hanya di wilayah domestik tetapi juga di wilayah publik. Salahkah? Tidak salah, yang terpenting adalah menyadari fitrahnya sebagai perempuan, ada hal lain yang tetap menjadi tanggungjawabnya. Begitupun dengan laki-laki, mestinya bisa menyadari bahwa fungsi pendidikan dan pengasuhan dalam rumah tangga tidak hanya dibebankan kepada perempuan. Bukankah menjadi orang tua yang baik tatkala bisa bekerjasama, saling membantu dalam mengasuh anak?. Meski secara naluriah, anak lebih cenderung dekat dengan ibunya, tetapi sosok ayah tetap bisa melengkapi, membantu dalam proses pengasuhan itu. Yang salah kemudian adalah ketika seorang perempuan terjun di wilayah publik lalu melupakan dan mengabaikan kewajibannya di wilayah domestik. Apalagi jika berasumsi, "saya kan mencari uang, saya kan berpenghasilan, saya kan sibuk". 

Entah terjun di wilayah publik, atau hanya di domestik, tak ada yang sia-sia dalam pendidikan seorang perempuan. pendidikan yang dikenyam adalah energi yang dimiliki dalam memperbaharui kehidupan yang akan dihadapinya. Tak perlu memperhadap-hadapkan antara laki-laki dan perempuan mana yang lebih berhak mengenyam pendidikan. (pun) tak perlu menghadap-hadapkan sesama perempuan yang hanya di wilayah domestik atau yang juga masuk wilayah publik, lalu kemudian mengkambinghtamkan pendidikan atau ijazah. Meski tak ada jaminan mereka yang berpendidikan tinggi lebih baik, tetapi paling tidak proses itu telah menempa mereka harusnya menjadi lebih baik. Meski seperti itupun, tidak mesti jenjang pendidikan perempuan harus sama dengan laki-laki. Tidak ada parameter yang mengharuskan dan melarang. Intinya, pendidikan itu penting. Entah dia laki-laki atau perempuan. Entah dia berijazah SMA, S1, S2, S3 atau yang lainnya. Entah berakhir dengan berkarir di kantor atau di rumah. Semua kembali ke: "apakah kita menerima proses dilengkapi dan melengkapi".

Yaya Afifatunnisa
18 November 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap