Langsung ke konten utama

Biarkan Kuasa-Nya Bertitah

Beberapa hari yang lalu mengunjungi teman ngajar di sebuah sekolah terkenal di kota Makassar. Niatnya ingin silaturrahim bertemu dengan teman akrab sewaktu ngajar di sekolah itu. Entahlah sudah berapa purnama terlewati, namun baru kali ini akan bersua. Dan alhamdulillah akhirnya bertemu. Rindu pun terbayarkan.

Seperti biasa, yang ditanyakan lebih dahulu adalah kabar. Ya tentu dengan bisa nyampe ke sekolahnya dia, itu artinya kabarku baik-baik saja. Lalu selanjutnya, seperti biasa juga, keluarlah pertanyaan pamungkas: kapan ngasih undangan. hehehe.. saya hanya bisa tersenyum sambil sedikit cengengesan, sambil memberi jawaban paling pamungkas juga: Wallahua'lam. Mungkin itulah jawaban paling tepat yang bisa kuberikan sambil terus tersenyum. aduhai,.... saya datang tuk silaturrahim bukan tuk diintrogasi hehehe..... Lalu mengalirlah kalimat berikutnya: Mungkin terlalu pemilih ki? Atau terlalu tinggi standar ta? atau mungkin tidak mauki buka hati?. Hahaha... dari senyum saya pun tertawa renyah. Mungkin serenyah kalimat itu mengalir. sambil berucap: Insya Allah tidak seperti itu. Mungkin, dosa saya yang banyak. Atau mungkin tidak ada yang mau memilihku, atau mungkin jodohku lagi ngelayap. Atau mungkin jodohku tak di dunia. Ahhh.. pleasee... tak perlu dilanjutkan.

Alhamdulillah introgasi tetang jodoh berakhir. Lalu keluarlah pertanyaan populer selanjutnya. Sekarang netap dimana dan kerja apa?. Kujawablah dengan santai: di Palopo, kerjaannya menyapu, mencuci, bersih-bersih, dan kesana-kemari :D. Demi mendengar jawabanku, keluar lagi pertanyaan berikutnya: trus yang biasa berseliweran di fb itu kegiatan apa?. Ohhh.. itu kegiatan ngumpul-ngumpul dengan ibuk-ibuk kerenG, jawabku. Jadi ndak ngajarmiki?, tanyanya lagi. Hehehe... ngajarji dikit-dikit, jawabku tetap cengengesan. Kenapaki memang kemarin keluar dari sini? Padahal bagusnya kalau tetap disini. ndak capek-capekki kesana-kemari, dan nyamanji, katanya lagi. hehehehe....., tidakji, jawabku tetap dengan cengengesan. Cobanya masih disiniki, samaki lagi, dan lumayanmi disini nah, bla..bla..bla....., terangnya panjang lebar. hehehehe.... yang berlalu, janganmi dibahas. Semua telah berlalu, jawabku sambil memasang muka semanis mungkin. Kuharap jawaban itu mengakhiri introgasi pertanyaan pekerjaan. Alhamdulillah, ternyata sukses. Selanjutnya, mengalirlah cerita lain, lebih tepatnya saya jadi pendengar setia cerita teman-temanku tentang kondisi sekolah, manajemennya, aturannya dan orang-orangnya. Banyak yang berubah, utamanya aturannya, tetap masih banyak juga yang sama. (mungkin) orang-orangnya. Ehh... husnudzhon... 

Aduhai teman, entah sudah berapa kali kupikirkan hal ini. Bukan baru sekali ini pikiran tentang mengapa saya keluar? mengapa dulu memilih resign? Mengapa tidak bertahan saja? Mengapa begitu gegabah melepas tempat yang sudah lebih dari cukup memberi seperti yang diharapkan?. Bukan tak pernah merasa salah mengambil pilihan. Bukan tak pernah merasa menyesal. Bukan tak pernah merasa bodoh dalam bertindak. Pikiran itu telah pernah dan beberapa kali hadir. Tetapi tatkala pikiran itu hadir, saya pun melihat kembali kilas balik kehidupanku setelah keluar dari sekolah itu. Apakah semua yang kudapatkan dan kulalui adalah kesedihan dan kesalahan? apakah yang kulalui setelah itu semua adalah kesulitan? apakah orang yang kutemui setelah itu adalah orang yang salah dan tak memberi arti? Rasanya saya begitu naif jika berpikiran begitu. Mungkin benar, ada yang telah hilang setelah memilih keluar. Ada yang tak sama di alur kehidupanku setelahnya. Mungkin orang-orangnya pun juga berbeda. Tetapi saya tetap punya tawa, punya bahagia, punya cerita, punya orang, dan punya momen di setelah perjalanan itu. Mungkin benar, gaji tak sama dengan yang kudapatkan sebelumnya, tetapi bukankah hidup tidak diukur dengan gaji? Mungkin benar, tempatnya tak sebergengsi dengan tempat sebelumnya, tetapi siapa yang tahu berkahnya lebih banyak yang mana?. 

Dan ini yang seolah menohok nuraniku kala merasa menyesal dengan semua keputusan yang pernah kuambil dalam hidupku bahwa: Jika apa yang telah kuputuskan dan ditakdirkan kepadaku kusesali, membuat marah, tidak kuterima, sama artinya jika semua orang momen, dan hal baik yang kuterima dan kulalui di sepanjang perjalanan itu tidak kuhargai, tidak kusyukuri, dan tidak kuanggap. Singkatnya, semua kuanggap nol. Apakah benar seperti itu? apakah tak ada orang baik yang kukenal di perjalanan itu? Tak adakah momen membahagiakan?. Salah... Saya memiliki waktu yang lebih banyak menjalani kegiatan berorganisasi, lebih banyak waktu di rumah, lebih banyak waktu bersama keluarga, berada di lingkungan baru, punya teman baru, cerita baru, siswa baru. Kesemuanya adalah indah. Dan kesemuanya tetap bangga kusebut sebagai perjalanan membahagiakan. Karena keputusan itu, saya bertemu dengan guru-guru di pondok yang mengajarkan tentang kesabaran. merasakan hiruk-pikuk pondok dan menyaksikan kibaran jilbab setiap saat. Bertemu dengan santri yang sekaligus jadi teman, Mita, Amel, Suci, Mayang, Upi, Anis, dll. Mereka adalah teman disetengah perjalanan yang begitu bangga tuk selalu kukenang. 

Jadi teman, begitulah hidup... Adakalanya memang kita harus membuat keputusan. Bahkan keputusan tersulit. Jika suatu saat merasa salah mengambil keputusan atau menyesal, itu wajar, tetapi jangan pernah menggerutui atau merasa sial atau tak beruntung atas pilihan dan jalan itu. Sama halnya dengan segala takdir yang terjadi pada diri kita, mungkin ada yang tak sesuai dengan mau kita, mungkin ada yang membuat kita menangis, mungkin ada pula takdir yang seolah membuat kita terpuruk, tetapi yakinlah tak ada takdir yang "selalu" berjalan sesuai dengan mau kita, tetapi dalam setiap takdir Allah pasti memberikan banyak pelajaran, banyak ekspresi. Karena hidup tak selalu tentang sedih tapi juga bahagia. Dan bahwa hidup tak selalu tentang menerima tetapi juga memberi,. (juga) tak selalu tentang mendapatkan, tetapi mungkin juga kehilangan. Apapun dan bagaimana pun hidup kita teman, bersyukurlah... Tugas kita hanya mengikuti alur hidup dengan mengumpulkan sebanyak mungkin bekal, selebihnya biarkan kuasa Allah yang bertitah.

Makassar, 24 Desember 2019. 22.43 p.m.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap