Langsung ke konten utama

Blink (1): Thin Slicing, Bagaimana Tahu sedikit Bisa Berarti Banyak

Sepasang suami istri datang ke laboratorium Psikologi University of Washington. Mereka menemui Psikolog bernama John Gottman. Usia pernikahan mereka masih terbilang baru dan usia mereka masih muda, sekitar usia 20-an. Mereka datang menemui Gottman untuk berkonsultasi mengenai permasalahan dalam rumah tangga mereka. Terdengar sederhana: Memelihara Anjing di rumah. Bill seorang suami yang tidak menyukai Anjing, sedangkan Sue adalah istri yang sangat suka memelihara anjing. Mereka datang untuk berkonsultasi mengenai permasalahan mereka itu. Keduanya dipersilahkan duduk dengan jarak hampir 2 meter berjejer, sedang mereka dipasangi elektroda dan sensor di jemari dan telinga mereka, untuk mengukur denyut jantung cara berkeringat, dan temperatur kulit, serta sebuah alat Jiggle-o-meter untuk mengukur seberapa banyak mereka bergerak. Selain itu terdapat video untuk merekam apa yang mereka katakana dan perbuat. Selama 15 menit mereka diminta membicarakan apapun dalam pernikahan mereka yang membuat silang pendapat. Perbincangan mereka sebagaimana lazimnya. Taka da naik pitam, tidak ada marah, tidak ada ungkapan kebencian, dan tidak ada merjauk. Bahasan mereka mengenai anjing yang bau. Lalu apa yang bisa diambil dari rekaman tersebut? Apakah dalam 15 menit tersebut tidak banyak hal yang bisa disimpulkan? Akankah pernikahan mereka aman saja hingga beberapa tahun mendatang?.

Berbicara mengenai pernikahan, maka akan berbicara mengenai banyak hal mulai tentang pekerjaan, uang, anak, seks, mertua, dan kombinasi lainnya yang berubah-ubah. Kadang merasakan kebersamaan yang membahagiakan, kadang bertengkar, kadang merasa saling benci, saling bunuh, namun kemudian kembali tertawa bersama dan liburan bersama. Hal ini membuat kita berpikir seolah-olah harus mengamati mereka sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan dengan berbagai situasi; senang, marah, lelah, tersinggung, tertekan, bahagia, dsb. Hal ini agar bisa menyimpulkan apa masalah mereka dan bagaimana mereka. Kita pun berpikir harus mengumpulkan banyak informasi untuk konteks yang berbeda-beda. Akan semua itu dilakukan?

John Gottman sejak 1980-an telah melakukan eksperimen kepada ribuan pasangan suami-istri untuk membuktikan bahwa hal tersebut tidak perlu dilakukan. Gottman menganalisis pasangan tersebut dalam bentuk video seperti yang dilakukan kepada Bill dan Sue. Hasilnya dianalisis menggunakan analisis SAFF (Specific Affect), yaitu system pengkodean yang memiliki 20 kategori terpisah yang terkait emosi selama percakapan antar pasangan. Gottman tidak membuat kesimpulan sekejap (snap judgement), namun melalui analisa yang panjang dengan menganalisis rekaman video detik demi detik, hingga dapat membuat sebuah teori mengenai modus berpikir sadar dan disengaja. Hal ini kemudian melahirkan pemahaman cepat (rapid cognition) yang dikenal dengan penyangan/cuplikan tipis (thin slicing). Thin Slicing merujuk ke kemampuan bawah sadar kita untuk menemukan pola-pola dalam situasi-situasi dan perilaku berdasarkan cuplikan pengalaman yang sangat singkat. Bagaimana mungkin kita bisa menghimpun informasi yang diperlukan untuk sebuah penilaian atau pengambilan keputusan rumit dalam waktu sesingkat itu?. Jawabnya adalah ketika bawah sadar kita mengambil sayatan atau cuplikan tipis yang kita perbuat adalah sebuah versi sadar yang otomatis dan cepat. Apakah masalah pernikahan bisa dipahami dengan pengamatan sekilas?

Seorang mahasiswa pascasarjana yang bekerja di laboratorium Gottman, Tabares mengatakan bahwa dalam pengamatan mereka terhadap pasangan pengantin baru, yang sering terjadi pada pasangan tersebut yang berakhir dengan perceraian adalah bahwa ketika salah satu minta dihargai, sedang yang lainnya tidak bersedia memberikannya. Misal untuk pasangan yang bahagia, jika terjadi perbedaan pendapat maka salah satu dari mereka akan mendengarkan dan kemudian berkata benar atau mengangguk. Akan berbeda jika pada pasangan tersebut tidak ada yang mendengarkan ataupun membenarkan meski pada akhirnya memberikan pendapat. Jika salah satu pasangan ada yang kaku setiap kali menghadapi perbedaan pendapat, itulah salah satu hal yang bisa memicu petaka dalam jangka panjang. Sekilas perbincangan suami-istri seperti Bill dan Sue tampak biasa saja, sekilas mereka semua tampak positif, padahal "yang tampak positif terkadang tidak positif sama sekali". Salah satu temuan Gottman bahwa "agar sebuah pernikahan bisa bertahan, perbandingan antara emosi positif dan negative dalam satu perjumpaan harus setidaknya lima banding satu". Sederhananya pikiran Gottman bahwa semua pernikahan mempunyai pola khas, semacam DNA pernikahan yang muncul ke permukaan salam suatu interaksi yang cukup lama.

Perkataan Gottman mengenai pernikahan tersebut menggunakan analogi Kode Morse yang disebut Fist. Kode morse terdiri dari titik-titik dan garis-garis masing-masing dengan panjang dan kombinasi yang telah ditentukan. Tetapi tak seorangpun pernah mengulang panjang yang telah ditentukan dengan sempurna. Kode mOrse ini mirip dengan bicara dimana setiap orang mempunyai suara berbeda. Yang dimaksudkan oleh Gottman bahwa hubungan dua orang juga mempunyai Fist; semacam tanda tangan yang muncul secara alami dan otomatis. Dalam sebuah hubungan orang berada dalam satu dari dua keadaan. Yang pertama adalah positive sentiment override yakni ketika orang menjadi mudah tersinggung karena emosi positif. Fungsinya sebagai penyangga. Ketika pasangan mereka berbuat yang tidka baik, mereka akan berkata: oh, suasana hatinya sedang tidak baik. Dan kedua Negative Sentiment Override (NSO), yaitu bahkan sesuatu yang netral dalam perkataan dan perbuatan pasangan akan cenderung dianggap negative. Dalam keadaan NSO, orang mengambil kesimpulan yang sulit diubah tentang pasangan mereka. Jika pasangan mereka berbuat postif ia hanya orang egois yang sedang bebruat positif (untuk mengangkat nama sendiri). Keadaan ini sulit diubah dan inilah yang menentukan apakah bila salah satu pihak mencoba memperbaiki situasi, pihak lain memandangnya sebagai sebuah upaya perbaikan atau sebuah sikap permusuhan.

Bagaimana rahasia Gottman membuat prakiraan? Bagaimana ia menyederhanakan peramalan?. Dengan kajian yang dilakukan, Gottman telah terampil dalam membuat cuplikan tipis (thin slicing), khususnya dalam masalah pernikahan. Ia memperoleh sebagaian besar yang ia butuhkan cukup dengan memperhatikan 4 hal yang disebut 4 joki (Four Horsemen): Sikap Defensive (devensiveness), Tidak menjawab atau asal menjawab (stonewalling), sikap mencela (critism), dan sikap merendahkan (Contempt). Dari keempatnya ada satu emosi yang snagat berperan yaitu Sikap merendahkan (contempt). Apabila Gottman melihat salah satu atau kedua pasangan dalam satu perkawinan menunjukkan sikap merendahkan atau jijik kepada yang lain, baginya itu sudah cukup mengatakan bahwa perkawinan mereka bermasalah. Mungkin kita beranggapan bahwa sikap kritislah yang paling buruk karena sikap ini dimana-mana dipandang sebagai perbuatan yang tidak disukai. Namun merendahkan secara kualitatif berbeda dari mengkritik atau mencela. Memandnag rendah itu berbicara dari sisi superior. Ini jauh lebih merusak. Biasanya lahir dari kalangan lebih tinggi dalam wujud pelecehan. Sikap merendahkan erat kaitannya dengan rasa jijik (disgust), keduanya terkait dengan penolakan dan pengucilan. Dalam kaitanyya 4 Joki, perbedaan gender dalam hal emosi negatif bahwa perempuan lebih muda mencela (critism) dan laki-laki lebih suka diam atau menjawab seadanya (stonewall), tetapi tidak ada perbedaan gender dalam hal merendah. Kedua gender sama-sama berpeluang melakukan hal ini. Oleh karena itu, dengan mengetahui emosi negative ini, kita tidak lagi membahas banyak hal secara melebar, akan lebih focus ke hal ini.

Seperti inilah cara kerja bawah sadar kita. Saat harus mengambil keputusan atau firasat tentang sesuatu kita bekerja seperti yang dilakukan oleh Gottman, melakukan penayangan tipis dengan cara menyaring situasi, mengabaikan hal yang tidak perlu, kemudian memusatkan hal pada inti masalah. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa teori Thin Slicing sering menghadirkan jawaban yang lebih baik ketimbang proses berpikir lama dan melelahkan.

Analisis selanjutnya mengenai Kamar tidur kita. Apa yang tersembunyi dari kamar tidur? Dapatkah orang lain menggali informasi hanya dengan melihat kamar tidur?. Misalkan sedang diwawancarai untuk diterima menjadi seorang karyawan. Kemudian diberikan pertanyaan tentang kepribadian. Ada 2 opsi yang diberikan, 1) apakah bersedia bertemu dalam jamuan makan bersama selama setahun sebanyak hitungan tertentu agar bisa semakin akrab, atau 2) Datang ke tempat tinggal untuk melihat-lihat kamar selama kurang lebih 30 menit. Yang mana akan dipilih? Jika memilih opsi pertama berarti anda memilih penayangan tebal, karena itu membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk mengetahui lebih banyak informasi, akrab, dan mengetahui kepribadian. Sedangkan jika memilih opsi kedua berarti memilih penayangan tipis. Yang mana lebih akurat?

Seorang Psikolog Samuel Gosling melakukan eksperimen meneliti kepribadian 80 mahasiswa menggunakan Five Inventory, sebuah angket panjang mengukur kepribadian pada 5 dimensi: 1) Extraversion, Suka bergaul atau suka menyendiri, Senang menarik perhatian atau lebih sering diam?, 2) Agreeableness, apakah anda mudah percaya atau mudah curiga?, senang membantu atau enggan bekerjasama?, 3)Conscientiousness, apakah anda orang tertib atau urakan?, disiplin atau mudah dipengaruhi?, 4) Emotional Stability, Apakah anda mudah cemas atau tenang?, Merasa tidak aman atau percaya?, 5) Openness to New Experiences, apakah anda imajinatif atau praktis?, mandiri atau terikat peraturan?. Ada 2 tahapan dalam penelitian tersebut, pertama meminta teman dekat mahasiswa untuk mengisi angket. Hasilnya tentu saja hasilnya akurat, karena mereka mempunyai penayangan tebal dalam pengalaman bersama. Kemudian tahapkedua adalah meminta orang yang tidak mengenai mahasiswa tersebut. Mereka juga diminta mengisi angket dengan cara diminta berjalan menuju kamar mahasiswa selama 15 menit untuk melihat-lihat. Apa yang terjadi?. Bagaimana hasilnya?. Tentu para pemeriksa kamar tidak memiliki pengalaman terhadap mahasiswa, sehingga dalam mengukur extraversion dan agreeableness tidak lebih akurat dibandingkan penilaian teman dekat. Karena mengukur kedua hal tersebut dibutuhkan penayangan tebal kebersamaan. Namun untuk 3 dimensi lainnya : conscientiousness, emotional stability, dan openness to new experiment, pemeriksa kamar memiliki tingkat keakuratan yang lebih baik dibandingkan penilaian teman dekat. Kisah ini mengisyaratkan pelajaran kepada kita bahwa orang yang belum pernah bertemu dan hanya diberikan waktu beberapa menit untuk memikirkan kita, tidak mustahil dapat memberikan penilaian yang lebih baik tentang kita dibandingkan yang telah mengenal bertahun-tahun.

Menurut Gosling, Kamar tidur seseorang memberikan tiga macam petunjuk tentang kepribadian pemiliknya. Pertama, Jati diri yang diharapkan (identity claims): ekspresi yang disengaja tentang bagaimana seharusnya kita tampak oleh dunia. Misal pajangan ijazah, sertifikat, penghargaan, dsb. Kedua adalah ciri dasar perilaku (behavioral residue): petunjuk tak disengaja tentang sifat asli seseorang, misal cucian yang berserakan di lantai. Dan ketiga, pengatur pikiran dan perasaan (though and feelings regulators): perubahan-perubahan yang kita sengaja terhadap ruang-ruang paling pribadi kita untuk mempengaruhi perasaan kita sewaktu berada disana. Misal adanya pengharum ruangan, tatanan bantal yang rapi, dsb. Dan lebih penting lagi adalah informasi yang tidak diperoleh ketika memeriksa pribadi seseorang. Yang dihindari ketika berhadapan langsung dengan seseorang adalah semua potongan informasi yang membingungkan, rumit, dan pada akhirnya tidak terkait, yang justru dapat mengacaukan penilaian. Misal kita tidak mudah percaya kalau pemain sepakbola bertubuh besar kekar bisa cerdas matematika. Namun jika yang kita lihat adalah rak buku yang ditata di kamar, kita tidak punya masalah dengan hal itu. Selain itu yang dikatakan seseorang tentang diri sendiri juga bisa rancu, karena alasan sederhana bahwa kebanyakan kita tidak begitu objektif tentang diri sendiri.

Yang dilakukan oleh Gosling ini pada dasarnya sama dengan yang dilakukan oleh Gottman. Tiap mahasiswa mempunya Fist, dan itulah yang coba ditemukan dengan melakukan penayangan tipis dengan mengamati kamar tidur mereka. Cuplikan tipis ini merupakan jalan samping yang dilakukan untuk mengetahui seseorang, untuk menghindari kebingungan dan tidak relevan saat bertemu langsung.

Begitupula untuk kasus penilaian seorang dokter. Dalam bidang kedokteran, masalah yang sering muncul adalah kasus malpraktek. Kasus ini sering membuat seorrang dokter berhadapan dengan hokum karena laporan dari pasienatau keluarga pasien. Namun yang kemudian terjadi adalah tidak semua dokter yang secara teknis terkait langsung kasus tersebut diperkarakan. Ada yang memang diperkarakan, tetapi ada pula yang tidak diperkarakan sama sekali, justru puhak lain yang diperkarakan. Alasan yang sering didengarkan dari pasien bahwa, meskipun dia bersalah tetapi dia tidak ingin memperkarakannya karena dia baik, mendengarkan saat konsultasi, mendengarkan keluhan, memberi saran, dsb. Sedangkan alasan lain seorang dokter diperkarakan adalah karena cuek, hanya mengejar uang , tidak memperlakukan dengan baik. Orang cenderung tidak memperkarakan dokter yang mereka sukai. Sebuah penelitian dilakukan oleh Wendy Levinson dengan merekam pembicaraan para dokter dan pasien-pasiennya. Sekitar separuh dari mereka tidka pernah diperkarakan, sedang yang lainnya telah diperkarakan. Dari rekaman dapat diketahui perbedaan nyata bahwa dokter yang tidak diperkarakan memberikan lebih banyak waktu kepada pasien, mendengarkan secara aktif, mengatakan hal yang membuat paseien tertawa dan melucu selama pemeriksaan, dibandingkan dokter yang diperkarakan. Apakah ada perbedaan dari obat yang diberikan? Tidak ada, yang berbeda adalah cara menyampaikan informasi ke pasien.

Lebih lanjut mengenai ini, seorang psikolog Naliny Ambady melakukan penelitian yang lebih terpusat pada dialog antara dokter dan pasien dengan cara memotong video menjadi 40 detik dengan menghilangkan bunyi frekuensi yang tinggi, suara bicara yang memungkinkan kita mengenai kata. Yang tersisa adalah content filtering semacam rangkaian intonasi, titik nada, dan irama, tetapi isi telah dihapus. Kemudian dinilai tentang kehangatan, sikap permusuhan, sok kuasa, kecemasan. Hal-hal tersebut kemudian digunakan untuk memperkirakan dokter manakah yang akan diperkarakan dan tidak. Hasilnya sungguh menakjubkan. Jika suara dokter bedah tersebut dinilai bernada dominan, dokter tersebut masuk kelompok yang cenderung diperkarakan . Jika nada tidak begitu dominan dan perhatian, ia cenderung masuk kelompok yang tidak dituntut. Ini menyangkut cuplikan tipis. Cuplikan lebih tipis lagi bahwa cara termudah mengkomunikasikan sikap hormat adalah melalui nada suara, dan yang paling merugikan dalam suara seorang dokter adalah suara dominan. Jadi, entah saat kapan pergi ke dokter, duduk di ruang kerjanya, dan ia mulai berbicara, jika anda merasa ia tidak mendengarkan, tidak mengajak berbincang, tidak memperlakukan anda dengan hormat, dengarkan perasaan itu. Anda telah membuat cuplikan tipis dan menemukan bahwa ia tidak memenuhi syarat.

Pada akhirnya, kemampuan cuplikan tipis bukan bakat yang langka. Hal ini terkait erat dengan makna kita sebagai manusia. Kita melakukan cuplikan tipis setiapkali berjumpa dengan seseorang baru atau harus memahami sesuatu secara cepat atau harus berhadapan dengan sebuah situasi baru. Kita melakukan cuplikan tipis karena memang seharusnya demikian. Kita mengandalkan kemampuan tersebut karena banyak sekali informasi tersirat did alamnya. Perhatian yang cermat dan rinci terhadap cuplikan tipis apapun, bahkan yang tidak lebih dari satu atau dua detik, dapat bicara banyak sekali. Andaikan kita tidak mempunyai kemampuan membuat cuplikan tipis, jika anda harus mengenali seseorang berbulan-bulan agar bisa menghayatinya, maka Apollo 13 akan kehilangan unsur dramanya dan Splash tidak akan lucu. Dan andaikata kita tidka bisa menghayati situasi-situasi rumit sekejap. Pemain basket akan kacau. Sesungguhnya, kita tidak asing dengan cuplikan tipis (thin slicing).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap