Langsung ke konten utama

Blink (2): Pintu yang Terkunci, Rahasia Membuat Keputusan Sekejap


Kesimpulan Sekejap (Snap Judgement) berlangsung luar biasa sangat cepat. Kesimpulan ini mengandalkan cuplikan pengalaman setipis-tipisnya. Hal ini juga merupakan kerja di bawah alam sadar. Kesimpulan cepat (Snap Judgement) dan Pemahaman Cepat (Rapid Cognition) berlangsung di balik pintu terkunci. Rasanya kita tidak begitu pandai ketika harus berurusan dengan fakta di balik pintu terkunci. Kita harus mengakui ada sesuatu kekuatan dahsyat di balik kesmpulan sekejap dan cuplikan tipis namun di pihak lain tidka mudah bagi kita untuk percaya kepada sesuatuyang tampak misterius.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh John Bargh, melibatkan sekelompok mahasiswa yang dibagi menjadi 2 kelompok. Mereka diberikan permainan uji kalimat acak. Kelompok pertama diberikan kalimat yang cenderung sopan sedangkan kelompok kedua diberikan kata-kata yang kasar. Setelah permainan kalimat acak, mereka diminta menuju kantor menanyakan apa tahapan berikutnya. Sedangkan keadaan di atur sedemikian rupa dimana panitia tampak sibuk berbicang-bincang dengan orang lain, sibuk berbicara, dan ada juga anggota panitia yang sengaja berdiri di ambang pintu menghalangi jalan menuju kantor. Bargh ingin mengetahui apakah mahasiswa yang diberikan kata-kata santun bisa bersabar sampai tiba saat yang tepat untuk menyela pembicaraan, lebih besar disbanding mereka yang diberi soal penuh dengan kata-kata kasar. Bargh tahu tentang keistimewaan pikiran bawah sadar sehingga merasa bahwa sikap kedua kelompok tersebut akan berbeda, meskipun menurut pendapatnya pengaruh itu tidak terlalu besar. Mahasiswa yang menjadi objek eksperimen ini adalah mahasiswa dari New York, dimana diketahui bahwa orang New York bukan tipe penyabar. Hasil eksperimen menunjukkan hal yang menakjubkan. Mahasiswa yang diharapkan menjadi kasar memang akhirnya menyela perbincangan, rata-rata setelah 5 menit. Sedangkan mahasiswa yang diharapkan menjadi sopan hampir sebagian besar 82% tidak pernah menyela sama sekali. Kalau saja eksperimen ini tidak dibatasi dengan waktu, entah akan berapa lama mahasiswa yang diharapkan sopan akan berdiri di gang dengan wajah yang sopan dan senyuman yang ramah.

Priming tidak sama dengan Brain Washing (cuci otak). Namun pengaruh praming tidak bisa diremehkan. Contoh eksperimen lain adalah yang dilakukan oleh 2 orang peneliti belanda yang juga meneliti dua kelompok mahasiswa. Mereka harus menjawab 42 pertanyaan sulit di permainan yang disebut Trivial Pursuit. Kelompok pertama diminta 5 menit pertama berpikir tentang bagaimana mereka jika menjadi dosen, sedangkan kelompok lainnya diminta untuk memikirkan mereka sebagai kelompok perusuh sepakbola. Setelah diminta memikirkan mereka dalam posisi seperti apa, mereka selanjutnya mengerjakan soal. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok pertama 55,6% dari seluruh jawaban benar sedangkan kelompok kedua mendapatkan 42,6% dari keseluruhan jawaban yang benar. Mahasiswa kelompok pertama bukanlah mahasiswa yang lebih cerdas dari kelompok perusuh sepakbola (kelompok kedua). Mereka pun tidak lebih fokus, lebih tahu, ataupun lebih serius. Mereka hanya terpengaruh kerangka pikir menjadi “orang pintar” dan tentu jelas mereka menghubungkan diri dengan sesuatu yang cerdas, dalam hal ini adalah seorang dosen. Mereka menjadi lebih siap ketika harus menghadapi situasi-situasi tegang.

Versi lebih ekstream lagi, dilakukan oleh Claude Steele dan Joshua Aronson menggunakan mahasiswa kulit hitam dengan menggunakan pertanyaan dari Graduate Record Examination. Sebuah uji yang telah dibakukan untuk persyaratan masuk ke jenjang pascasarjana. Dalam daftar hadir, para mahasiswa tersebut diminta menyebutkan ras mereka. Taktik sederhana ini sudah cukup membuat mereka terpengaruh oleh sifat buruk yang biasa dihubungkan dengan orang Amerika keturunan Afrika, termasuk prestasi akademik, dan jumlah jawaban benar yang mereka peroleh berkurang separuh. Mahasiswa kulit hitam tersebut bekerja begitu buruk sesudah diingatkan perihal ras mereka. Ketika ditanya dalam wawancara pun mereka menolak bahwa alasannya karena mereka ditanya tentang Ras mereka. Mereka hanay berkata saya hanya merasa tidak cukup cerdas untuk uji tersebut. Hasil eksperimen ini sangat meresahkan. Eksperimen seperti ini mengatakan bahwa yang kita sebut kehendak bebas boleh jadi sebagian besar hanya sebuah ilusi: hampir sepanjang waktu, kita dioperasikan oleh sebuah pilot otomatis, dan cara kita berpikir serta bertindak. Juga seberapa baik kita berpikir dan bertindak berdasarkan dorongan sesaat, jauh lebih rentan terhadap pengaruh luar disbanding yang kita sadari.

Dalam situasi-situasi genting yang memerlukan keputusan cepat, kita tidak ingin menjadi orang yang kaku dan sangat rasional. Kita tidak ingin tetap diam dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak ada habisnya. Kadang-kadang kita harus meliburkan pikiran kita agar pikiran di belakang pintu yang tertutup bisa membuatkan keputusan bagi kita.

Imbalan yang harus kita bayar untuk manfaat yang begitu banyak dari sebuah pintu terkunci, ketika kita meminta orang bercerita tentang pemikiran mereka, khususnya pikiran di bawah alam sadar mereka, kita perlu cermat dalam menafsirkan jawaban mereka. Keampuhan pemberian petunjuk secara lisan atau tulisan mempunyai batas yang nyata. Namun, dalam aspek lain hidup kita, tidak yakin apakah kita selalu menghargai misteri-misteri di balik pintu terkunci ini serta menyadari bahaya dari cerita yang tidak sepenuhnya benar atau bahkan keliru. Adakalanya kita menuntut sebuah penjelasan ketika penjelasan itu mustahil diberikan. Hal ini bisa mengundang akibat-akibat yang serius. Siapapun berada dalam ruangan tertutup itu memiliki pikiran yang tidak hanya satu tetapi dua buah, dan ketika pikiran sadar menemui jalan buntu, pikiran bawah sadar terus bekerja memilah-milah berbagai kemungkinan, mengolah setiap petunjuk yang bisa membuahkan hasil. Dan ketika pikiran bawah sadar menemukan jawaban itu, ia sendiri yang akan menuntun ke pemecahan secara diam-diam namun pasti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keluarga Elhabashy

Tahu kan ya dia siapa Maryam, Hamzah, dan Mundzir Elhabashy?. Ada yang nggak kenal?. Wah harus kenalan sama dia. Sebenarnya bukan lebay atau gimana gitu. Cuma bener terkagum-kagum mengikuti perkembangan keluarga ini. Seperti pada tulisan sebelumnya bagaimana sosok Hamzah membuat saya terharu dan terkagum-kagum sampai saya kepo mau tahu nih anak dari mana, dan bagaimana bisa menjadi hafidz di negeri minoritas muslim dan juga terkenal dengan negeri yang anti islam. Bisa dibayangkan bagaimana menjadi muslim di negeri minoritas apalagi dengan suguhan kebebasan. Bagaimana tumbuh sosok remaja yang didik menjadi generasi Qur'ani. Keterkaguman saya semakin bertambah setelah tahu kakaknya ternyata juga seorang hafidzah (Maryam Elhabashy) dan adiknya (Munthir Elhabshy) pun bercita-cita sama dengan kakak-kakaknya. Aih... betapa bangganya orang tua mereka. Keterkaguman saya semakin lengkap dengan melihat bagaimana ayah mereka begitu perhatian dan telaten selalu ada untuk anak-anaknya. Aya

Hamzah Elhabashy

Who is He?. Mungkin masih banyak yang belum mengenalnya, bahkan mengetahui namanya. karena pada dasarnya memang dia bukanlah seorang aktor atau semacamnya yang membuat dia terkenal. Namun, sejak kemunculannya di depan khalayak pada kompetisi Dubai International Holy Quran Award (DIHQA) 2015, akhirnya sosoknya menyita banyak perhatian. betapa tidak, sosoknya memang akan mudah menarik perhatian, gaya yang mungkin tidak seperti ala seorang hafidz, rambut panjang, lebih pakai setelan jas padahal yang lain kebanyakan pakai jubah plus kopiah atau sorban, wajah imut, manis, dan cakep (hayo, siapa yang nolak kalau dia cakep? hehehehe....). Apalagi..? Karena dia berasal dari negara USA, Amerika Serikat. Bukankah Amerika serikat sudah lazim dianggap sebagai negara yang selalu anti islam, sepakat menyebut islam sebagai teroris, dan negara yang selalu saja rasis dengan islam. Disana, islam adalah agama minoritas, agama yang hanya dianut oleh segelintir orang saja. Dengan kebudayaan yang ala bar

Adab Bertamu

Momen lebaran adalah adalah waktu yang sudah menjadi tradisi untuk dijadikan ajang silaturrahim baik ke keluarga, kerbat, teman, ataupun kenalan. Bukan hanya sekedar datang bertamu, tetapi motivasi dasarnya adalah melekatkan kembali silaturrahim yang mungkin sebelumnya lama tidak terhubung, renggang, ataupun retak. Atau singkatnya disebut sebagai ajang maaf memaafkan. Meski sebenarnya meminta maaf dan memaafkan tidak harus menunggu lebaran. Acapkali berbuat salah selayaknya harus meminta maaf.  Dengan adanya moment silaturrahim tersebut, lalulintas pengunjung dari dan ke rumah seseorang akan meningkat. Maka tiap keluarga mesti bersiap menerima tamu yang tidak seperti biasanya. Hanya saja, masih ada tamu yang datang tidak menunjukkan etika yang baik saat bertamu. Bukannya membuat simpatik nyatanya membuat toxic. Kayaknya kita masih perlu belajar adab bertamu. Berikut beberapa hal yang perlu dihindari saat bertamu ataupun bersilaturrahim: 1. Tim penanya. Selalu bertanya status. "Kap